Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Kamis, 24 Desember 2015

Perang Bintang (Satu)

Kafe Wish and D yang tergeletak di daerah Keranji, bernuansa biru laut dan cokelat pastel disetiap garis vertikalnya. Kalo kamu merhatiin lebih detail lagi, ada tulisan putih dan gambar macam aneka dibalik tembok hitam yang terdapat disetiap ujung sisinya. Aku gak bermaksud untuk mendeskripsikan bagaimana otak sengklek Geva berlabuh untuk tetap meneruskan usaha kuliner ini.

Kamis, 17 Desember 2015

Hujan Hingga Februari (Satu)

Janu berbeda dari yang lainnya. Dia tidak memiliki wajah tampan yang mencolok atau mobil mewah yang terparkir di halaman kampus. Ranselnya berwarna hitam, nyaris pudar. Buku-buku yang di keluarkan dari dalam ranselnya tak lebih dari karya Shakespears, Kafka, atau George Elliot. Asli jawa, berlesung pipi dan memiliki mata yang teduh. Kebanyakan orang mengira, dia adalah satu diantara banyak mahasiswa cerdas yang hanya berteman dengan tumpukan buku tebal.

Sekolah Terserah Murid

Waktu sebelum aku masuk STM. Aku sempet ngerengek untuk di masukin pesantren atau lebih memilih masuk SMA. Tapi ibu tetap memaksa dan pada akhirnya aku tetap tes disana.

"Aku mau ngambil teknik gambar bangunan kalo gitu."

Nope. Ibu dan bapak ngelarangku, mereka tetep nyuruh aku untuk masuk ke jurusan komputer dengan dalih "biar gampang nyari kerja kaya mas mu."
Padahal, setiap orang punya mimpi dan kesukaan yang berbeda.
"Do something because you love it, not because you want to look great doing it."
Kakak bilang, aku harus mencobanya. Seiring berjalannya waktu, semua pasti bakal baik-baik aja. Dan akhirnya bapak tetep ngambil map hijau, seberapa banyak pun aku bilang kalo aku sama sekali gak suka sama komputer.

Tes yang aku jalani dengan khidmat itu setengah asal aku kerjain.
"Nanti katanya kalo gak masuk komputer kamu bisa masuk bangunan." Tentu aja aku seneng. Yang harus aku lakuin hanya setengah ngasalin jawaban supaya gak masuk komputer, tapi Tuhan punya rencana lain. Aku masuk. Keterima.

Kalo ditanya what is your special talent? Tentu aja aku cuman bisa ngejawab, aku bisa baca novel empat ratus halaman cuman dalam beberapa jam. Aku lumayan bisa ngegambar. Dan aku suka banget nonton barbie. Tapi bukan itu yang waktu itu kakak minta. Dia nanya apa cita-cita ku. Aku mau jadi perawat atau enggak penulis novel. Kalo gitu bagus, komputer diperlukan untuk mengetik bukan? Hell yeah. Gak begitu juga kaliiii!

What is your biggest fear?
Dari dulu aku cuman punya temen deket perempuan, laki-laki sedikit membuatku gak nyaman. Dan STM yang jumlah laki-lakinya mendominasi adalah mimpi terburuk buat ku. MOPD pertama berlangsung, aku nyaris pingsan dua kali. Bagiku MOPD STM beda banget sama SMA atau SMEA. Gak ada senior jahat atau senior baik. Karena semua senior disana seolah-olah dibangkitin dari alam baka yang tugasnya nyiksa adik kelas.
Mimpi burukku semakin berlanjut. Awalnya aku mau masuk pramuka atau PMR tapi mengingat bahwa yang namanya baris berbaris itu mengerikan akhirnya aku justru melangkahkan kaki ke Rohis yang ternyata personil perempuannya cuman empat orang termasuk aku.

Setiap kali masuk gerbang STM ada perasaan aneh yang menggelitik. Tanganku berkeringat detak jantungku lebih cepat dari biasanya. Sekali lagi. Karena STM banyak cowok, sepanjang perjalanan di koridor aku cuman bisa nunduk dan setengah berlari. Karena gak tau kenapa beberapa kali namaku di panggil cuman barang buat godaan. Bukan. Bukan karena aku cantik, tapi mau sejelek apapun kamu sebagai perempuan. Kamu bakalan di jadiin objek ledekan.
Semester pertama ku gak berjalan dengan baik. Setiap hari aku ngerengek minta pindah dan nangis di depan ibu.

"Belum terbiasa. Lama-lama juga biasa."
"Gaapa-apa biar strong kalo temennya laki-laki semua kan?"

Aku cuman gak habis fikir kenapa kedua orang tuaku yang tahu kalo aku setengah takut sama laki-laki justru masukin aku kesana. Semakin berjalannya waktu aku terbiasa dengan ledekan senior dan milih alternative muterin jalan kalo ketemu "teteh-tetehan." Beberapa kali aku harus lompat jendela supaya gak ngelewatin kelas Teknik Permesinan yang berkali-kali suka ngusilin aku. Naik kelas dua, aku milih buat jadi anggota osis. Aku mulai di kenal banyak orang. Aku ngegalang dana di setiap jalan untuk korban banjir dan palestine. What I love to do matter much more than what I am good at; what makes me happy matters much more than what makes other people happy. Mampir di beberapa yayasan yatim piatu dan ngeliat korban banjir secara langsung nyadarin aku bahwa STM semakin lama terasa sebagai tempat terbaik untukku.

Meski, beberapa kali aku harus diejek temen rumah karena nebeng sama temen "cowok." Oh betapa mereka gak tau kalo di rohis itu cuman ada aku, Juli dan Laras yang bagusnya sama-sama gak bawa motor.

"Pacar lo banyak banget sih Nis."

"Lo mah sama kambing di bedakin aja mau ya?"

Kalo aja mereka tau betapa perbedaan STM dengan SMEA itu jauh mungkin kataan hina itu gak akan terlontar. Tapi, setiap orang berhak untuk nge judge. Gak perduli bahwa aku udah bersikeras untuk tetap jadi "Annisha yang baik." Semua berubah, menjelma menjadi sesuatu yang makin hari makin buruk. Dan sialnya, aku gak perduli. Aku justru menyukai pulang ba'da maghrib, sabtu dan minggu masuk sampai mabit. Aku menyukainya lebih dari apapun itu.

"Pulang maghrib mojok dulu ya Nis?"

"Itu siapa lagi Nis? Pacar yang keberapa?"

Makin hari omongan temen-temenku makin menjadi sampai kadang aku nangis dan curhat sama kakak. Just because you're think it's good, doesn't mean it is good for people. Kadang apa yang aku fikir nebeng sama temen lebih bagus ketimbang harus jalan kaki pulang sendirian ngebuat nilai diriku makin rendah.

Setelah perpisahan yang diadain di Jogja aku mulai sadar bahwa STM adalah tempat terbaikku. Di kenal ngebuat kamu semakin menjaga diri kamu untuk gak berlaku seenaknya. Beberapa kali aku mutusin untuk gak berpacaran karena tau bahwa aku di kenal sebagai Nisha yang baik seolah-olah jika aku berpacaran ngebuat pamor "baik" ku tercoret. And then- aku memiliki teman laki-laki yang menumpuk. Gak habis fikir aja kalo aku punya pacar berapa kali kami bakalan bertengkar hanya karena aku lebih sering main sama temen cowokku.

Be who for who you are, because someone wants to be like you and they might just lose their star.
Waktu itu aku sempet di tarik sama anak-anak cowok sekolah lain hanya karena pake seragam STM. Beberapa kali di hina "bau negeri" atau barang sekedar dikatain "cabe-cabean negeri" meski aku gak tau salahku apa sama mereka. Tapi makin hari aku makin merasa bangga sama seragam ini. Gak semua orang punya kesempatan untuk jadi anak satoe bekasi. Look for happiness. Life is meant to be enjoyed- but hard work and achievements are still necessary in order to gain respect from others.

Selasa, 01 Desember 2015

Selasa, 1 Desember

Sesuatu yang berasal dari bumi kelak akan tetap membumi.

Saya perempuan dengan banyak kakak, anak terakhir yang terlahir manja dan tidak mandiri. Satu-satunya dari sebuah keluarga yang masih sendiri. Menjadi seorang tante- bahkan sejak usia menginjak tiga tahun. Bulek kecil, begitu katanya.
Lima laki-laki dan lima perempuan. Mereka semua memanggil saya dengan panggilan yang sama. Menganggap saya sebagai salah satu bagian yang seharusnya memberikan amplop di hari raya.
Desember kali ini, hujan sudah mulai tiba. Tapi bukan masalah hujan yang menjadi pengantar dari cerita sedih kali ini.

Baiklah, saya akan memulai.
Jadi begini ceritanya,

Pagi ini, ibu dan bapak sibuk berdandan dan berkemas. Salah satu keponakan saya masuk ruang ICU. Begitu katanya.

Chaesar- keponakan saya yang kedua itu memang selalu berlangganan ke rumah sakit. Terhitung dari saya yang masih duduk di bangku SD dulu, yang lagi dengan jelas lebih memilih membolos karena harus menunggunya di ruang isolasi. Memory saya penuh dengan selang infus, jarum suntik, darah yang berceceran dan mata sembab kakak jika seseorang menyebut namanya kini.
Dia laki-laki bermata sipit, bertubuh gempal dengan suara bass yang berat.
Dia anak dari kakak pertama saya. Dari keluarga yang memiliki konflik klasik. Perceraian.

Jika kalian katakan ini adalah sebuah bentuk kesedihan seorang tante yang kehilangan keponakannya. Saya tak mengelak. Jika kalian katakan ini adalah bentuk suatu hukuman karena rasa tidak perduli. Saya terima.

Mungkin. Jika kali ini, Tuhan mengizinkan saya untuk bertemunya lagi. Setelah delapan tahun kami tak bertatap muka, dia pasti akan dengan polosnya mengatakan "Siapa teteh ini?"

Bukan. Saya mencintainya. Selalu. Sama seperti saya mencintai keponakan-keponakan saya yang lainnya. Tapi dia memang sedikit berbeda. Saya tak memiliki banyak cerita dengannya. Hanya rumah sakit, dan akan selalu rumah sakit sebagai latar saya mengingat dirinya.

Mungkin pula tak akan mengingat siapa yang menggandeng tangannya ketika dia merengek meminta perahu minyak dulu. Dia juga pasti tak mengingat soal peyek udang dan peyek kacang yang masuk kedalam daftar pokok makanannya. Dia tidak akan mengingatnya. Tentang seberapa banyak saya menggendong tubuh beratnya, menangis di saat ambulance membawanya, tertawa disaat suara seraknya mampu berbicara. Tidak dengan saya. Saya mengingat semuanya. Bahkan pada saat terakhir kali dia menginjakan kaki kerumah ini, saat dimana dia menatap saya dengan pandangan mata yang berbeda. Seolah-olah saya bukanlah orang yang menyayanginya. Seolah-olah kami adalah sepasang makhluk asing yang tak pernah berjumpa.

Jadi, kali ini. Dengan setengah tidak sadar, saya menuju stasiun. Menaiki salah satu kereta dengan modal info seadanya yang saya dapat. Saya tidak menangis. Belum. Setengah dari diri saya masih tidak menyadari bahwa kali ini dia memang benar-benar pergi.

Bahwa ruang IGD, UGD, Isolasi ataupun ICU tak mampu lagi mempertahankan detak jantungnya.

Mungkin. Saya masih bisa berdoa.
Mungkin juga. Saya masih bisa mengingat. Betapa dia akan selalu menjadi bagian penting dalam hidup saya. Sekeping puzzle berharga yang menjadi inti dalam sebuah gambar terbaik di dunia saya.

Kali ini saya membenci air mata, karena bacaan Yasin yang terpegang mulai memburam. Suara yang saya coba sebaik-baik mungkin terdengar dengan sempurna mendadak tersendat. Nama yang terpahat, tanah merah dan taburan bunga membuat kepala saya pening.

Ini bukan soal merelakan. Bukan juga tentang mengikhlaskan atau melepaskan. Dan tentu saja ini juga bukan sebuah perpisahan. Chaesar yang saya kenal akan tetap ada- berapapun lamanya. Kami hanya memiliki dunia yang berbeda saat ini. Karena kendati seberapa banyak pun saya memiliki ongkos untuk menaiki kendaraan bermobil, wajah dia tak akan pernah sampai kemari.

Sabtu, 31 Oktober 2015

True or False?

Bagaimana kabarmu?
Masihkah memimpikan orang yang tidak pernah mengingatmu?
Masihkah kamu menderita diatas kebahagiaannya dengan orang "berarti" disisinya?

Sebut saja itu cinta, jika kamu masih dengan bodoh merapal namanya. Lalu mengatakan "Tak mengapa, asal dia bahagia." Tapi bukankah cinta selalu menuntut memiliki? Bukankah merelakan tidak pernah sepaket dengan kebahagiaan? Lalu mengapa dengan angkuhnya kamu mengatakan hal bodoh seperti itu?

Bagaimana dengan jalanmu?
Masihkah kamu mengharapkan bahwa kelak dia akan mengatakan "maaf." Lalu dengan lembut dia akan meminta kamu untuk tetap mencintainya. Cih!

Jalanmu bukan dengannya!
Jika membenci adalah cara terbaik untuk tak mengemis kasih sayangnya. Maka, belajarlah untuk membencinya. Belajar lah untuk menerima bahwa kamu sudah cukup untuk berjuang.

Tatap dia yang berbeda di belakangmu.
Bayang sosok tersebut memang tak setampan dia. Tentu saja.
Dia tidak lebih sempurna darinya.
Tapi dia yang berada di belakangmu. Yang sampai kapanpun rela menunggu kamu berhenti menangis lebih baik daripadanya.

Jumat, 30 Oktober 2015

Dari Saya. Untuk Kamu.

Waktu melihat kamu. Saya mensyukurinya. Terimakasih untuk tetap ada.

Semasa TK. Pertama kali saya mengingat tentang rumah sakit adalah ketika ibu dan bapak tergesa-gesa membawa saya kesana. Saya sempat merasa takut akan jarum suntik, tapi setelah itu semua membaik. Tidak sesakit yang saya kira. Dulu, ketika masih SD beberapa teman di kelas menjerit bahkan ada yang kabur ke kamar mandi karena suntik vaksin campak dan imunisasi rutin. Saya yang sering terkena jarum hanya menunggu giliran dengan tenang.

Sabtu, 17 Oktober 2015

Tak Berarti Apa-Apa

Kamu pernah memimpikan sesuatu?
Seperti ketika dia menggenggam erat jemarimu, semua akan terasa menjadi baik-baik saja. Atau ketika dia tertawa bersamamu, semua akan seperti ini selamanya.
Kamu sempat mengira akan memiliki keluarga kecil bersamanya. Menikah di pagi hari lalu memiliki rumah teduh yang menghangatkan.
Lalu tanpa di sengaja kamu berdoa agar Tuhan mau berbaik hati untuk menjadikan dia pendamping hidupmu. Sosok yang akan menabur benih kebahagiaan di dalam duniamu. Sampai akhir hayat nanti.

Lalu tiba-tiba semua berubah.

Seperti malam berbintang yang di sepak terjang badai. Seperti piring-piring kaca yang tersusun rapih dan tiba-tiba pecah berserakan.

Kamu berpisah dengannya, sebaik-baik mungkin.

Tapi nyatanya tak ada perpisahan yang baik.

Dan mimpi indahmu kemudian menjelma menjadi abu yang mudah menghilang hanya dengan satu tiupan saja.

Kamu masih menggenggam hatinya. Dengan cara yang berbeda. Dengan kenangan-kenangan yang tak pernah terkubur sempurna.
Sementara ia bahkan tak pernah memikirkan betapa hancurnya hidupmu saat ia tak lagi di sampingmu.

Cinta seharusnya tak sesakit ini.

Lantas kamu bisa apa?

Sesuatu yang pergi memang semestinya tak perlu kembali.

Saat ini duniamu terombang-ambing di tengah pusaran badai. Air matamu menjelma sebagai sebuah kesakitan dengan dalih pengkhianatan.

Sebelumnya. Bukankah dia mengatakan "Semoga kelak kamu mendapatkan yang lebih baik."?
Nyatanya kamu berfikir tak akan ada yang lebih baik darinya.

Kamu masih ingin berjuang. Sementara dia tak pernah menginginkannya. Seberapa lama pun kamu menunggunya, tak akan pernah ada pintu yang terketuk, langkah kaki yang berbalik atau barang sekedar sapaan hangat yang terjeda sekejap.

Cintanya sudah mati.

Dia tak lagi menghidupkanmu sebagai sosok yang berarti. Dasar cinta masih membuatmu tak mengapa di sakiti, asal dia bahagia. Asal dunianya sempurna.

Parasit.

Bisa di sebut apalagi perasaan sedih diantara kebahagiaan. Di panggil apa air mata dibalik tawa?

Sadarilah bahwa bintang yang kamu anggap sebagai penunjuk arah tak pernah menunjukan arah yang benar-benar sampai akhir. Dia bukan cahaya yang patut kamu tangisi ketika awan gelap malam menghapusnya.

Coba, hargailah dirimu. Seperti kali-kali yang terjadi ketika kamu mendapat nilai sempurna saat mengerjakan tugas. Cukupilah dengan kata "Tak ada dia pun tak berarti apa-apa."

Selasa, 08 September 2015

J, aku jatuh.

J kali ini aku datang kembali. Ada kata-kata yang berkali-kali menggema. Mampukah kita mempercayakan masa depan ditangan orang yang belum berdamai dengan masa lalunya?

J, aku mencintainya.
Aku mendambanya dengan sempurna. Dia seperti figur yang sedikitpun tanpa cela. Aku mencari-cari replikanya berharap bahwa mampu menemukan diantara yang lainnya.

Aku tidak menghargai diriku sendiri kan J? Aku masih saja terbangun dengan mimpi yang sama. Masih saja berdoa dengan nama yang sama. Aku ingin dia bahagia. Itu saja. Selebihnya aku membiarkan Tuhan yang mengaturnya. Sungguh. Percayalah padaku!

Lihat?
Aku hancur hingga kepangkalnya. Aku remuk, pecah dan sepertinya tidak bisa kembali menjadi utuh.

Langit masih biru. Beberapa kali pelangi muncul setelah hujan. Dan matahari masih tetap berkerja keras membuat aspal gersang dengan sempurna. Tapi aku tidak. Tidak dengan diriku J.

Orion.

Aku ingin menjadi sepertinya.

Aku ingin terlihat.

Aku ingin menjadi penunjuk arah bagi orang-orang yang tersesat dimasa lalunya.

Tapi bahkan, ada pun aku tak mampu. Orion tidak terang J. Tapi dia selalu ada untuk membuktikan kepada mereka yang membutuhkan bahwasannya dirinya tercipta untuk hal yang berguna. Sekarang kamu paham bukan? Aku tidak sanggup sepertinya.

Jelaskan padaku, mengapa sampai saat ini dengan segala kebodohan, aku masih ingin tetap seperti bintang dilangit?

Coba lihat lah aku J. Aku masih saja tersesat. Aku masih terombang-ambing di tengah pusaran badai. Aku.. belum benar-benar bisa kembali. Aku memang berdiri tegak, namun aku bisa limbung hanya karena sentuhan pelan.

Tataplah mata ku J. Lihatlah bibirku yang tersenyum. Bahkan orang awam pun mampu melihat tangis pecahku yang tersembunyi.

Aku lelah J.
Aku muak berpura-pura.
Aku bosan tersungkur kembali.
Aku jenuh harus jatuh cinta lagi dan ditinggal pergi.

Tolong aku J. Katakan padaku. Bagaimana caranya aku bisa bersinar meski dirinya membakarku habis-habisan hingga tak tersisa baranya lagi.

Dengarkan isak tangisku J. Berhentilah berpura-pura tuli. Aku serak bahkan mampu bersuara pun aku tak bisa.
Jangan dulu kamu muak. Aku berusaha, semampuku, sebisaku. Jangan dulu kamu jenuh mendengar keluhku yang tidak berkesudah.
Ku mohon. Jangan J.

Mau ku bawa kemana sakit yang berkepanjangan ini? Aku tak memiliki sedikit ruang untuk ditinggali. Aku tak punya sedikit waktu untuk mengatakan bahwa aku akan selalu ada ketika dia memilih kembali.
Aku bersedia menunggu.
Berapapun lamanya.
Semampuku, aku akan tetap ada.
Sebisaku, aku terus mendoakannya.
Sesanggupku, aku mencintainya.

Atas segala keMahaanNya. Aku akan tetap terjaga. Berharap kali-kali dia akan pulang ke tempat dimana aku meninggalkan hati. Tapi sekali lagi- aku bukan rumah untuknya J.

Berapapun lamanya aku menunggu dia tak akan pernah datang.
Semampu aku bersikeras tetap ada, dia enggan menoleh.
Sebisa aku terbangun dan terlelap kembali karena mendoakannya namaku tak pernah melantun dibibirnya.
Secintanya aku, dia tidak akan mau tahu.
Aku hanya bagian kesalahan masa lalunya J.
Aku yang terbusukan, tidak terselamatkan.
Aku yang terpojokkan tak akan mungkin lagi mampu berdiri, membusungkan dada di barisan depan.

Karena aku bukan orang yang dia harapkan.
Aku hanya debu yang menutupi benda-benda usang tak berharganya. Sekedar jeda nafasnya, itu bukan aku.
Tak pernah terhirup, tak pernah terdengar, terlihat ataupun teraba didunianya.

Aku hanya mencintai tanpa berbuah dicintai.

Jadi J. Sampaikan padanya, bahwa mataku masih saja memerah setiap kali namanya ku dengar. Kerongkonganku tercekat hanya karena hal sepele seperti deru mesin atau warung sederhana dipinggir jalan. Kenanganku tak pernah benar-benar terkubur.

Bilang padanya. Pulihku akan memakan waktu cukup lama. Dan bila suatu hari aku pulih, maka aku tak akan pernah benar-benar lupa bahwa dirinya salah satu sumber kebahagiaan yang menjatuhkanku ketitik terbawah.

Dan mohonkan padanya. Jika kelak dia berbahagia dengannya-
Rapal lah nama ku sesekali, untuk mampu tertawa lepas meski tanpa dirinya.

Aku ingin percaya pada masa depan J. Pernah aku berfikir- sudahi saja semua. Tapi ibu bilang, aku harus berjuang untuknya. Untuk mereka.

It's Okay.

Setelah patah kamu mungkin gak tahu lagi bagaimana caranya menulis kata-kata bahagia. Merancang masa depan, dan memupuk cita-cita dengan tinggi.

Mungkin awalnya kamu akan mengaku  "Aku lebih baik sendiri." Dan mungkin, mulanya kamu akan mengatakan- "Aku gapapah. Aku it's okay meski tanpa dia." Setelah itu masih dengan mungkin, kamu juga menegaskan bahwa gak akan pernah ada lagi air mata untuk orang yang gak pernah mau tahu kalau setiap di tengadah tangan, di sekitar mata sepet dan sujud panjang ada nama yang sampai saat ini masih tetap menggema dan terlafal dengan sempurna.
Beberapa kali- ada percobaan dimana satu orang, dua, tiga hingga yang kesekian menggandeng erat jemarimu. Sedikit menelaah apa genggaman jemarinya sehangat dia? Apa ada mata teduhnya dibalik mata orang yang saat ini, dengan gamblang memperjelas bahwasannya dia siap untuk menjadikanmu akhir dari segala tujuan. Kamu sampai sekarang masih tetap menyangkal dengan sempurna, meski hatimu tetap saja tergores kalau-kalau ada yang meyebut namanya. Seolah-olah namanya adalah salah satu mantra ajaib, racun terkuat atau sihir terbesar dalam hidup.

"Aku udah move on."

Mendelet segala kontaknya. Memblokir dan menghapus segala yang ada di ponsel lebar mu itu gak pernah banyak membuat perubahan besar. "Aku gak perduli. Mau dia mati atau hidup. Bodo amat!"

See?
Kamu belum move on. Orang yang mengatakan gak perduli adalah orang yang bener-bener perduli. Sama aja ketika kamu bilang aku baik-baik aja. Kata sihir seperti itu hanya ditujukan untuk orang yang gak pernah baik-baik aja.

Aku harus apa sebagai orang yang melihat kepura-puraanmu? Lihat deh temen-temen yang menatapmu disaat kamu menyembunyikan tawa di balik tangis kencang itu. Mereka sama sakitnya seperti kamu. Mereka sama-sama gak mau melihat orang yang menjadi salah satu sumber kebahagiaannya terhempas begitu aja karena baru aja di terbangin lalu dihempasin ketanah.

Balon yang diterbangin keatas langit- atau segala sesuatu yang pergi keatas sana akan tetap jatuh kebumi. Bawah ada atas. Pergi ada pulang. Begitu juga dengan perkenalan, sepaket sama yang namanya per-

Berapa kali mereka- para penulis, sahabat karibmu atau mungkin orang yang hanya sebatas kamu tahu nama bilang hal itu? Berapa banyak oranf yang mengutuknya, menyumpahinya karena udah ngebuat kamu terluka?

Kamu emang pernah ngalamin hal yang lebih sakit dari ini. I know that.

Kamu sama seperti ribuan atau jutaan orang diluar sana. Sama-sama munafik. Sama-sama memakai topeng untuk menutupi betapa dia dengan hebatnya menghancurkanmu hingga ke puing-puing terkecil. Hingga ke akar-akar terkuat yang udah kamu capek tanam dari jauh hari.

Coba sedikit bercermin.

Lihat kan?
Tuhan nyiptain kamu bukan untuk disakitin.

Coba kamu bernyanyi.

Sefalse suaramu Tuhan lebih senang mendengar kamu tertawa ketimbang mendengar isak tangismu karenanya.

Coba kamu lihat mamah papahmu.

Mereka mencintai-lebih dari yang kamu tahu.

Aku yakin mereka berdua pasti akan menjadikan dia samsak tinju kalau melihat anak yang susah payah dihidupinya, disayanginya, dijaganya dan dibesarkannya berkali-kali gak bisa tidur karena terlalu sibuk menangis.

Dan terakhir.
Lihat dia dengan kebahagiaannya.

Kamu harus bersyukur- kebahagiaan dia gak mampu membuat bibirmu itu berhenti terseyum atau tertawa dan memperlihatkan deretan gigimu.

Berdoa lah sekali lagi.
Untuk kebahagiaanmu.

Kamu udah terlalu lama mengenyampingkan kebahagiaanmu.

Berjanjilah pada dirimu- satu hal.

Kamu harus tetap bersinar. Sekalipun mereka yang kamu kasihi sedikit-sedikit pergi meninggalkan.

Tetaplah seperti bintang dilangit. Bersinar. Dan menjadi penunjuk arah untuk orang-orang yang membutuhkanmu.

Note: Jangan capek! Disana jodohmu lagi sibuk nyari uang karena gak mau ngeliat kamu menderita dalam kesusahan. Tuhan cuman mau ngasih tahu kamu- bahwa cinta yang salah membuat hambaNya bersyukur karena pada akhirnya mendapatkan cinta yang benar.

Rabu, 02 September 2015

Aletha (Satu)

Aletha sibuk merapihkan berkas-berkas yang menumpuk dimeja redaksinya siang ini. Sesekali dia mengunyah permen karet mintnya yang sudah terasa hambar. Alih-alih AC yang terpasang tidak membuat keringatnya berhenti mengucur. Dia sudah sibuk sana-sini sedari tadi. Ada banyak artikel, psycho-test dan beberapa jurnal yang menunggunya untuk di edit. Dia mendesah pelan, kalau saja mba Meylan tidak mengambil cuti nikahnya saat ini dia pasti tidak akan harus seribet dan seabsurd ini.

"Ada yang bisa gue bantu Tha?"

Aletha tersenyum miris kemudian duduk kembali dibangku kerjanya.

"Lo bisa ngedit naskah novel yang kemarin pak Regar bilang gak?"

"Novel karya si penulis baru itu ya?"

Perempuan berbehel itu mengambil sebungkus permen karet mint milik Aletha yang teronggok diatas tumpukan kertasnya lalu mengunyahnya dengan pelan.

"Iya. Cuman sedikit doang kok salahnya. EYDnya masih sedikit berantakan, tapi selebihnya oke-oke aja."

"Bukannya gue gak mau Tha. Tapi lo tau sendiri kan, gue juga gak paham soal EYD EYD-an begitu. Mungkin gue bisa bantu lo selain ngedit naskah atau skript."

"Kerjaan gue kan emang begitu non. Ngedit ini ngedit itu. Kalo gak lo bantu gue buat ngeprint jurnal sama  artikel yang udah gue edit aja deh, gimana? Pak Roy gak mau soft copy soalnya."

"Okedeh sip. Mana sini flashdisknya?"

Aletha mengangsurkan flashdisk kemudian tersenyum.

"Thank's Jey."

"U're wellcome honey."

Perempuan berbehel yang memiliki nama Jessica itu pergi sementara Aletha maelanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Dia mulai mengetik kembali pekerjaannya yang membuat pundaknya sedikit kesakitan. Sepertinya dia akan meminta ibunya untuk memanggil tukang pijat langganannya dirumah nanti. Dan sepertinya juga- dia harus meminta sedikit kenaikan gaji karena harus kerja ekstra minggu ini.
Tanpa terasa bunyi bel berdering, tanda istirahat berlangsung. Aletha mendesah pelan, kemudian menggambil telephone kantor disisi kanannya. Sepertinya dia lebih memilih memesan makanan siap antar ketimbang harus turun kebawah- bergabung bersama teman-teman redaksinya untuk makan dikantin yang kayaknya akan menghabiskan waktu banyak. Dia gak mau kalau nanti tugasnya harus membuatnya bergadang hingga pagi seperti kemarin-kemarin. Oh No! Bahkan kalau dilihat-lihat penampilan Aletha saat ini hampir menyerupai mayat hidup. Rambut curly yang biasanya dibiarkan tergerai rapih atau dikuncir satu di biarkannya terjepit asal. Dua lingkaran hitam muncul disekitar kedua bola matanya, dan dia bahkan gak sempet mengoles lipstick dibibirnya. Meski seperti itu tetap saja, Aletha Kusuma Dewina adalah salah satu perempuan tercantik yang dipunyai Gomedia. Tanpa hiasan apapun atau make up dia tetap kelihatan seperti barbie berjalan. Bola matanya bulat dan memiliki bulu mata lentik panjang yang lebat. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Kalo kata Pak Fian, Aletha itu salah satu jelmaan putri Cleopatra. Soalnya siapapun yang melihat dirinya pasti sepakat kalau dia punya wajah Arab.

****

Laki-laki berkemeja putih itu berjalan tergesa-gesa. Bahkan dia memarkirkan mobil sport hitamnya ke sembarang arah. Setelah memasuki bandara Soekarno Hatta matanya mencari-cari seseorang yang sudah begitu ia nantikan kehadirannya. Diliriknya berkali-kali jam arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

"Abi!"

Laki-laki itu mencari sumber suara yang baru saja menyebut namanya. Senyumnya merekah setelah di dapatinya orang yang baru saja memanggilnya. Setelah jarak tidak lagi memisahkan, keduanya berpelukan erat. Seolah-olah pelukan itu mampu menghilangkan rindu diantara keduanya.

"Lo apa kabar bro?"

Laki-laki berkaca mata itu menepuk pundak Abi pelan.

"Gue baik. Lo yang apa kabar? Ausie gak akan ngubah lo jadi orang yang gak gue kenal kan?"

Keduanya terkekeh pelan. Laki-laki dihadapannya mulai menarik koper hitam besarnya.

"Gue yang justru takut kalo lo berubah. Gimana? Lo udah punya calon belom?"

"Calon apa? Calon babu?"

"Lo belum move on ternyata ya man dari..."

"Gue sibuk bisnis rumah makan jepang. Lo mau ikut gabung?"

"Gue maunya gabung, tapi bokap nyuruh gue megang perusahaan tekstil dia juga bro. Katanya udah tua, udah capek ngurus begituan."

"Oh iya. Apa kabar om Adi? Gue udah lama banget gak main kerumah lo."

Abi mengalihkan pembicaraan, sementara laki-laki berkaca mata yang menyandang nama Diko itu tau bahwa dia sudah salah bicara.

"Papah setau gue baik-baik aja, dia bahkan dua hari yang lalu nelfon gue buat nanyain kabar disana. Eh iya, ngopi dulu yuk. Pait nih lidah gue."

Abi mengangguk. Kemudian keduanya berjalan menuju coffe shopp.

"Entar lo mau ke apartement adek lo apa langsung balik pulang Ko?"

"Gue langsung balik. Lagian udah seminggu ini kok dia tinggal dirumah soalnya apartement tuh anak dalam renovasian katanya sih."

Pesanan Abi dan Diko datang bersamaan. Abi menghirup harum lattenya sementara Diko menyesap moccanya dengan tenang. Keduanya memang sama-sama penggila kopi. Sejak SD mereka sudah ditakdirkan untuk bersahabat. Hanya setelah lulus SMA lah, mereka harus berpisah sekolah. Diko memililih kuliah di Ausie sementara Abi tetap tinggal di Indonesia. Tidak ada yang cacat dalam persahabatan mereka. Semua terasa transparant, telanjang dan begitu apa adanya.

"Om Farhan akhirnya ngizinin lo buat tetep buka usaha?"

Diko menatap sahabatnya itu setelah melepas kaca mata hitamnya dan menyelampirkannya dikaus hitam polosnya.

"Mau gimana lagi? Usaha gue berkembang. Dan gue bisa ngebuktiin kalo gue bisa hidup makmur tanpa duit Papah."

"Lo masih gak minat buat jadi dokter? Ya alih-alih kerja sampingan gitu."

Abi menggeleng tegas.

"Gue udah terlalu sibuk sama bisnis taman bunga di bandung. Belom lagi rumah makan dan beberapa outlet pakaian. Semua udah cukup nguras waktu, tenaga dan fikiran gue Ko."

Diko menyendok fruitcakenya sementara Abi kembali menyesap lattenya.

Abi lulus menjadi seorang sarjana kedokteran dengan umur yang muda. Dua puluh satu tahun. Paras tampan dan wibawanya terlihat sejak dia menjabat sebagai ketua OSIS di SMAnya dulu. Abi memiliki mata sipit dan hidung mancung, rahangnya terlihat kokoh dan lesung pipinya membuat siapapun sepakat bahwa dia salah satu laki-laki tertampan yang ada dibelahan dunia ini. Berbeda dengan Diko yang memiliki wajah timur tengah. Matanya bulat dengan bulu mata yang lebat- hidungnya bangir dan kulitnya agak kecoklatan. Terlalu sering bahkan orang-orang menganggap bahwa Diko memiliki darah Arab. Bahkan dulu waktu SD, Diko sempat di panggil dengan sebutan "anak Arab."

"Sebelum kerumah, anterin gue ke toko bunga dulu ya. Gue mau ngasih surprise buat mamah nanti. Dia kan penggila mawar."

Abi tersenyum kemudian mengangguk.

****

Aletha menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, perasaan dia meletakkan buku novel terjemahan yang baru di belinya itu disini. Tapi kenapa tiba-tiba buku itu raib begitu saja?

"Teeet. Teeet."

Bunyi bel dirumahnya terdengar nyaring. Siapa sih yang namu maghrib-maghrib begini? Gak tahu sopan santun banget! Dengan rutukan didalam hati Aletha melangkahkan kakinya kearah pintu. Dan...

"Holla adikku yang cantik."

"Mas Abi?"

Diko melirik sahabatnya sekilas dengan dahi yang mengerut.

"Tuk!"

Satu jitakan pelan mampir dipuncak kepala Aletha.

"Lo tuh yaaa. Bukannya kaget gara-gara masnya dateng. Malah kaget nyebut nama orang lain."

Aletha meringis. Kemudian memeluk Diko dengan kencang.

"Lo bukannya salam dulu kalo masuk eh malah godain gue."

Selepas pelukan itu. Diko ngeloyor masuk sementara Abi masih ngerasa canggung dihadapan Aletha. Dia benar-benar gak nyangka perempuan yang dulunya sering banget di gendong kesana-kemari udah menjelma jadi bidadari yang kasat mata.

"Ayo mas, masuk. Udah lama gak kemari ya? Jadi rada malu gitu mau masuk."

Aletha mempersilahkan laki-laki dihadapannya itu dengan ramah, di sertai senyum manis yang membuat gigi gingsulnya terlihat.

"Mamah mana?"

Tau-tau saja Diko sudah meminum jus kemasan dan berjalan menuju ruang tamu. Sementara Abi mengikuti Aletha yang duduk di sofa panjang berbahan beludru halus itu. Sementara koper besar hitam milik Diko teronggok tidak berdaya disamping TV LCDnya. Aletha menggeleng-geleng kepala, setelah dua tahun gak ketemu. Ternyata gak ada yang berubah dari kakak semata wayangnya ini.

"Lagi dirumah tante Mira. Kan anak tante Mira ngelahirin."

"Si Revi?"

Aletha mengangguk kemudian berjalan menuju dapur untuk menyiapkan minum.

"Lo nginep disini aja man."

Samar-samar terdengar suara kakaknya dari balik dapur. Aletha menghembuskan nafasnya dengan lega. Berdekatan dengan Abi bukan hal baik bagi dirinya. Setelah lima tahun gak ketemu ternyata dadanya masih aja gak mau diajak kompromi, masih aja berdetak gak karuan kaya selesai lari marathon. Abi-cinta pertama Aletha. Cinta yang membuat Aletha harus bersusah payah untuk kelihatan tegar. Cinta pertama yang bertepuk sebelah tangan. Kalo diingat-ingat lagi, Aletha gak habis fikir kenapa dirinya dulu bisa senekat itu nyatain cinta ke temen kakak laki-lakinya. Dan gak tahu juga sejak kapan Aletha bisa se deg-degan itu tiap kali ketemu Abi. Yang jelas, hal yang paling diingat dari kejadian memalukan itu adalah kakak laki-lakinya gak berhenti buat ngecengin dia. Gak habis fikir juga kenapa Abi bisa sejahat itu ngaduin ke Diko.

"Lo tuh ya mas, ngajak tamu bukannya di sediain minum atau apa kek. Malah di biarinin gitu aja."

Aletha meletakkan jus jeruk itu di meja tamu beserta dengan martabak manis yang baru aja dia beli sepulang kerja tadi.

"Kan ada lo. Ngapain gue kudu repot-repot?"

Aletha mengerucutkan bibirnya kemudian segera menaiki tangga.

"Lo mau kemana dek?"

"Ke kamar lah. Kemana lagi?"

"Ini malem minggu. Lo gak jalan sama pacar lo?"

"Gue gak punya pacar."

Seketika tawa Diko meledak.

"Cantik sih, sayang jomblo."

"Sialan lo!"

Aletha segera balik badan kemudian menaiki tangga dengan cepat.

Kamis, 09 Juli 2015

Just He. Just She.


Aku sibuk membuka buku novelku. Seolah-olah membiarkan laki-laki dihadapanku ini sibuk menyendiri dalam kegalauannya. Asap rokok tercium lewat indera penciumanku, aku beralih fokus pada laki-laki yang sibuk menyesap rokoknya.

"Sejak kapan lo ngerokok lagi?"

"Alya balik sama Fadil." Dia menatap lattenya dengan nanar. Aku mendesah pelan.

"Gue gak suka lo ngerokok di depan gue. Kalo mau mati jangan ngajak-ngajak!"

"Kira-kira dia bakal balik ke gue lagi gak ya Sha?" Dia menatapku penuh harap, berharap bahwa aku akan mengganggukan kepala seperti yang sudah-sudah. Damar perokok. Dan aku tahu, perempuan yang bisa berhenti membuatnya merokok hanya satu. Alya.

"Dia bahkan gak pernah ngehubungin gue lagi. Dia nge-remove contact person gue di bbm. Sebenernya yang sakit disini siapa sih? Lucu ya." Tawanya terdengar hambar.

Aku tak pernah tahu apa ada lagi wanita setolol Alya yang lebih memilih laki-laki brengsek macam Fadil dan menyia-nyiakan pria sesetia Damar. Atau justru aku tak habis fikir, mengapa laki-laki bodoh ini tetap memperjuangkan cintanya. Cinta yang membuat dia susah payah harus terguyur hujan hanya karena mendengar perempuan itu sakit. Cinta yang mengatas namakan tak pernah hilang harapan. Cinta bodoh yang begitu aku benci dengan amat teramat sangat hingga kini.

"Gue tahu semua emang salah gue. Harusnya gue bisa se-kaya Fadil. Harusnya gue bisa jadi mahasiswa PTN. Gue bego. Dan gue tahu Alya gak suka cowok bego macam gue." Dia tersenyum nanar.

Aku tak bersuara seperti yang sudah-sudah. Tak memberinya usapan kecil di kepalanya lagi. Aku membiarkan laki-laki yang biasanya tak banyak bicara sibuk menjelek-jelekan dirinya. Aku tak tahu lagi, usaha apa lagi yang mampu membuatnya sadar. Bahwa Alya bukan pintu yang seharusnya ia ketuk. Bukan tempat yang dijadikannya akhir dari tujuan.

"Gue emang gak pernah pantes buat dia ya Sha?" Kali ini tawanya terdengar begitu menyakitkan.

Aku tahu hatinya sedang menangis. Aku membiarkan dia kembali berpura-pura bahagia. Membiarkan dia menyesali keputusan-keputusan yang dia buat untuk tetap memperjuangkan cintanya.

"Please. Matiin rokok lo. Atau gue balik duluan, dan ninggalin lo disini sendirian!" Dia tidak mengalihkan fokus matanya ke arahku, seolah-olah latte yang ada di hadapannya lebih berharga dari wanita yang selalu menyembuhkan luka hatinya dengan susah payah. Damar mematikan rokoknya.

"Lo punya permen mint?" Aku merogoh tasku, lalu hanya menemukan permen-permen coklat kesukaanku.

"Gue punyanya ini." Dia tersenyum kecil. Lalu mengambil permen dari tanganku dan memakannya.

"Lo gak pernah berubah ya. Masih jadi penggila cokelat."

"Menurut para psikologi. Wanita yang menyukai cokelat cenderung bersikap hangat, ramah dan tulus."

"Kayanya itu riset salah. Buktinya lo enggak."

Aku menatapnya sinis. Sementara dia tergelak. Perlahan tawanya mereda. Hening yang panjang.

"Sha."

"Hem?"

"Apa yang harus gue lakuin lagi buat Alya supaya dia bisa balik sama gue?" Aku menatap mata elangnya. Pertanyaan puluhan kali yang sudah sering ku jawab dengan begitu naif.

"Lo gak bisa berenti buat suka sama dia? Dia udah nyakitin lo Mar."

"Gue yang mau sakit karena dia Sha. Dia gak pernah bikin gue sakit. Justru... dia yang ngebuat gue sembuh dari segala macam kebodohan di otak gue." Aku mendesah pelan. Bahuku merosot.

"Mana yang lebih lo pilih? Mencintai mereka yang mencintai orang lain atau mereka yang dicintai orang lain?"

"Gue milih mencintai, lalu berujung dicintai."

"Gimana kalo lo jadi orang yang mencintai dan gak dicintai? Lo bakal sakit, ngerengek-rengek sama Tuhan supaya dia cinta sama lo. Tapi waktu Tuhan bilang dia gak bakal cinta sama lo, apa iya lo masih mau mencintai dia? Apa lo gak bisa belajar mencintai orang lain? Apa satu-satunya perempuan di dunia ini cuman Alya yang bisa dan sanggup ngelengkapin lo?"

"Just she, Sha. Just she." Ia meratap. Aku menggeleng kuat.

"Bukan dia. Gue yakin." sahutku dengan semangat.

"Terus siapa?" Pertanyaannya menohok balik hati ku.

Aku Mar. Mungkin aku orangnya.

"Lo bisa belajar buat jatuh cinta sama orang lain Mar. Di antara milyaran manusia, gue yakin bukan Alya yang ditakdirin buat ngelengkapin lo." Aku menatap matanya dengan hangat. Berharap bahwa benteng dingin dibalik hatinya melunak.

Tapi kami sudah bertahun-tahun bersama, aku mengerti dia daripada Alya. Aku menyayangi dia lebih dari Farah, Siska atau belasan wanita lain yang berkali-kali mencoba memikat hatinya. Damar lebih tampan dari Fadil. Damar lebih hebat dari Fadil. Damar lebih tulus dari Fadil.

Tapi hati Alya tidak pernah bergetar setiap kali tangannya di gandeng, setiap kali dahinya di kecup, setiap kali tubuhnya dipeluk. Tangan Damar, bukan tangan yang Alya harapkan mampu menautkan jemarinya hingga ujung waktu. Sosok Damar, bukan sosok yang membuat Alya mampu menangis. Tidak dengan Damar. Alya satu-satunya wanita yang dia harapkan kelak menjadi ibu dari anak-anaknya. Meskipun Alya miskin, bodoh dan penyakitan. Damar tetap menjadikan dia sebagai sosok satu-satunya yang paling sempurna di bandingkan dengan belasan wanita-wanita lain yang tergila-gila kepadanya.

Aku menengguk latte ku dengan pelan.

"Apa ada sakit yang lebih parah dibanding mencintai orang yang gak pernah mencintai balik Sha?"
Aku menatap matanya lembut.

Ada. Mencintai seseorang yang tidak pernah tahu bahwa kita mencintai orang tersebut. Hanya untuk tidak membiarkannya menjauh dari dunia kita. Aku meraba-raba hati ku sendiri, sudah kah luka ini pulih? Sudahkah aku bisa berhenti mencintainya? Bisakah aku membuka hati untuk orang lain? Karena hingga saat ini. Damar tak pernah mau membiarkan aku masuk, dia lebih memilih mengunci pintunya rapat-rapat. Dia menempatkanku di tempat yang tidak aku inginkan. Persahabatan.

"Gue gak tahu."

Kerongkongan ku terasa tercekat. Aku berpura-pura sibuk kembali membaca novel. Sementara dia mulai memakan permen ketiganya. Cinta ini tidak pernah berkesudah. Tapi melupakannya pun begitu susah.

Kamis, 18 Juni 2015

Nisa. Nisha.


Untuk perempuan yang sudah menjadi mahasiswi negeri di ujung sana. Tolong baca pesan ini baik-baik ya.

"Hey, apa kabar Nisss? Ini ramadhan yang entah keberapa kita gak pernah bisa buka puasa bersama ya. Terakhir kali aku kerumahmu kalo gak salah pas kita lagi sama-sama berjuang buat ikut Sbm kan? Emang gak lama-lama banget sih. Tapi waktu segitu kok berasa kurang yah bagi aku. Haha
Kamu kangen aku gak?
Aku kangen kamu loh.
Waktu ngeliat kamu masih endut dan punya rambut panjang, aku yakin berapa tahun lamanya pun pasti masih bisa ngenalin kamu.
Nama kita sama.
Tapi nasib kita beda.
Disitu kadang aku mau cerita ke kamu. Terakhir ketemu. Kamu sedikit kalem. Atau mungkin aku yang semakin bawel?
Jadi, kapan kita nonton bareng?
Kapan kamu balik dari Jogja sana?
Kapan kamu mau ngabarin aku. Nge-smsin aku dengan kata-kata ga jelasmu.
Kapan kamu nyampah lagi di inbox ku?

Aku udah yakin banget kalo kamu udah dewasa sekarang.
Udah bukan jadi perempuan yang tergila-gila sama artis luaranmu itu. Meski yang aku liat emang masih begitu. Tapi kayanya kadar udah mulai berkurang ya?

Nis. Percaya gak kalo suatu hari nanti aku bakal jadi psikolog dan kamu jadi menteri kehutanan? Meski kita beda, tapi ada masa dimana kita ngerasa kalo pertemuan kita adalah alasan Tuhan ngasih tau kalo nama yang sama mungkin juga bisa ngebuat ikatan batin yang kuat. Haha gak nyambung ya.

Tapi diantara milyaran manusia yang ada di muka bumi ini. Aku yakin kamu jadi salah satu alasan yang ngebuat aku harus bersyukur karena udah pernah dikasih sahabat hebat kaya kamu.

Okeh. Lain waktu ku sambung ya. Jaaa."

Rabu, 17 Juni 2015

Candu, Setelah Kamu Tiba.

Kamu
Seperti kopi yang membuatku mencandu
Bagai vitamin yang setiap kali ku telan
Setiap pagi, saat mata ku terjaga

Kamu
Seperti rintik hujan yang menenangkan
Melebur menjadi satu bersama angin yang terhempas
Lembut
Dan begitu ku gilai

Kamu
Nama yang sering ku rapal
Wajah yang sering ku ingat
Tatap yang sering ku jaga
Makhluk yang selalu ku cinta

Kamu
Mengenalkanku pada rindu
Yang tak mau tahu
Yang tak perduli waktu
Dan membuatku memohon selalu

Kamu
Karya Tuhan
Yang selalu ku perbincangkan
Tak hentinya terfikir dibalik benak
Seperti tiap huruf yang ku ketik di setiap detik

Kamu
Bintang malamku.

Seminggu

Pagi yang berbeda
Seperti kamu yang ku percayai selalu setia
Meski pada nyata kamu berkali-kali mendua

Ku gantungkan sepucuk doa
Agar kelak kita bersama dan bahagia
Agar kelak ku yakini hati yang merana
Meminta, semoga saja cinta ini tak berbuah luka

Seminggu
Aku masih saja tetap menunggu
Berharap cemas agar kamu menjadi sosok yang dulu
Yang penuh kasih, kehangatan dan kepedulian selalu

Seminggu
Belum pupus juga perjuanganku kepadamu
Belum sirna juga air mata ini mendoakanmu
Belum usai juga penantian ini mempercayaimu

Jumat, 12 Juni 2015

Perbaikan Diri. Just it!



Pertama kali ngedenger temen sesenggukan, sedikit kaget, sedikit juga bingung. Manusia yang nyatanya keliatan tegar, baik-baik aja, oke-oke aja ternyata malah lagi dalam kondisi yang bobrok banget. Waktu dulu, sempet dibilang jadi manusia yang gak perdulian. Yang katanya selalu nyepelein perasaan orang lain, pintar bermain hati lalu meloncat kesana-kemari. Penggalau hebat, yang di dunianya selalu ada aja yang nyemangatin. Kalo dulu, cuman bisa diem. Lalu sering banget nanya ke diri sendiri, apa iya sih? Perasaan aku ini udah cukup banget kok ngurusin hidup orang, meski kadang aku suka mikir hal-hal yang gak mempengaruhi dunia yang aku jalanin gak mesti ditengok. Setelah makin dewasa, setelah aku sadar kalo aku itu manusia yang mestinya harus memanusiakan manusia. Aku berusaha gak lagi jadi orang yang banyak cerita, banyak curhat, banyak nangis dan kebanyakan hal-hal lain yang ngebuat orang-orang disamping aku terbebani. Kalo disuruh diem, ngamatin, gak ngomong kalo ditanya itu sih kesannya bukan aku banget! Tapi mau gimana lagi? Mesti ada sesuatu yang harus diperbaiki.

Waktu kakak bilang, kalo kamu mau mendapatkan sesuatu kamu harus mau mengorbankan sesuatu. Gak jarang juga kakak bilang. Kamu itu harus rajin! Entah rajin apapun, pokoknya kamu harus rajin. Biar Tuhan itu baik sama kamu. Diwaktu-waktu tertentu kaya gitu cuman bisa ngelengos, pura-pura gak perduli. Banyak banget kata-kata dia yang nyelekit banget dihati. Gak jarang juga jadi hal yang ngebuat aku bebenah diri. Karena setiap kali ada hal-hal yang terbilang aneh, satu-satunya tong sampah terbaik yang gak bakal nyebarin cerita kemana-mana ya kakak. Perumpamaan tong sampah emang jelek banget, nyakitin banget, parah banget, tapi mau digimanain lagi? Coba pikir deh kalo gak ada tong sampah didunia ini, mau jadi apa tempat-tempat yang katanya paling indah di dunia itu? Setiap orang pasti butuh tong sampah didalam hidupnya.

Seseorang yang sebenernya cukup nyediain telinga dan nyediain mulut waktu ditanya doang. Sisanya rasa empati itu dikembangin, supaya orang yang cerita ke kita, nangis ke kita sampe jejeritan ke kita itu bener-bener terbantu. Karena gak tau kenapa akhir-akhir ini sering aja denger orang curhat, orang mewek, orang yang bilang gapapah-gapapah, tapi nge-apdet status galau didunia maya, orang yang biasanya gak bakal ngomong kalo ga ditanya justru cerita tanpa bisa di stop. Tapi sisa dari semuanya ada rasa bahagia didalam diri aku sebenernya. Perasaan bahwa aku masih dibutuhkan, dipercaya dan dicari.

Syukurku. Allhamdulillah.



Udah delapan belas nih. Gak kerasa kalo tiba-tiba aja aku udah gak bisa lagi pake seragam putih abu-abu, udah susah buat ngumpul bareng temen-temen, dan katanya juga sih udah mulai tau mana yang namanya cowok ganteng. Loh kalo itu sih udah dari dulu ya.

Selasa, 14 April 2015

Dosen? (Satu)



Saya terburu-buru memarkir motor, kemudian berlari-lari kecil  menuju lantai dua. Saya sudah terlambat hampir setengah jam lebih, semoga saja dosen baru saya kali ini tidak galak. Tepat didepan pintu, saya mengetuk ragu kemudian masuk perlahan dengan nafas yang terengah-engah. Sepertinya dosen Psikologi Kognitif saya belum datang, karena yang saya lihat hanya seorang kakak kelas laki-laki yang sibuk berdikusi dengan Naya- teman sekelas saya. Dia menatap saya sekilas, lalu tersenyum sementara saya melengos lalu segera duduk dibangku depan pojok kanan yang selalu menjadi tempat duduk saya. Mungkin dia pacar Naya, terlihat serasi memang. Mereka sama-sama memiliki wajah yang high-qulity.

“Dosennya belum dateng Grace?”

“Itu dosennya Nisha.”

Dia  melirik ke arah laki-laki- yang saya kira tidak jauh umurnya dengan saya. Kemeja putih, celana jins dengan sepatu kets berwarna hitam bergaris putih membuat saya menganga. Dia berbeda, tidak seperti dosen-dosen biasanya. Alis mata tebal dengan hidung yang mancung menambah ketampanannya. Ohow! Ternyata dia bukan pacar Naya, ada dosen ganteng juga dikampus ini. 

“Gak percaya ya?”

“Demi apa?”

“Namanya Pak Ikhsan. Ganteng ya.”

Saya mengangguk kemudian menelan ludah. Dia beralih ke laptop putihnya yang bertengger manis dimeja dosen, terdengar bisik-bisik teman sekelas saya yang mengagumi ketampanannya. Oh Tuhan, saya rasa senin selnjutnya tak akan telat kembali. Kali ini bibir mungilnya menjelaskan tentang aspek-aspek dari kognitif, beberapa para tokoh psikologi kognitif dan teori-teori yang hanya asal lewat didalam otak saya.

“Apa ada pertanyaan?”

Janti mengangkat tangan, dengan senyum yang merekah suaranya terdengar kencang.

“Bapak udah punya istri?”

Kontan sekelas tertawa, bising, terdengar siulan dan bahkan tidak beberapa yang menyoraki dirinya. Saya lihat laki-laki yang ditanya tersenyum, semburat merah muncul dipipi tirusnya. Hiyaa, dia semakin manis saja.

“Belum. Apa ada pertanyaan lain?”

“Umur bapak berapa?”

“Tiga puluh tahun.”

Jawabannya membuat kaum hawa dikelas bercat putih ini kembali berbisik-bisik, wajahnya tidak terlihat seperti umur tiga puluh. Dia pasti berbohong. Ya, saya yakin itu!

“Udah punya pacar belum pak?”

Kelas kembali riuh, sementara yang ditanya menampilkan deretan gigi rapihnya. Sambil menggeleng, dia mengatakan “Belum.” Masih ada kesempatan ternyata. Huwoo, I’m coming Pak Ikhsan.


Saya menuruni tangga beserta anak-anaknya dengan malas, seperti biasanya. Saya kekantin tanpa ditemani siapapun, bukan karena tak memiliki teman. Hanya saja, saya benci menunggu. Jadi daripada menunggu teman yang jajan juga, saya lebih memilih sendiri.

“Mba, Moccanya satu.”

Moccanya satu lagi ya mba.”

Saya menoleh, melihat siapa yang baru saja menimpali ucapan saya. Dan sepertinya Tuhan sedang berbaik hati dengan saya hari ini.

“Kamu anak psikologi kan?”

Saya mengangguk, kemudian membalas senyum kecilnya.

“Iya pak, saya anak semester dua.”

“Siapa namamu?”

“Annisha. Dibelakang huruf s ada ha.”

Dia tertawa kemudian mengangguk. Pesanan saya dan dia muncul berbarengan.

“Saya duluan ya Annisha.”

Dia membayar lebih dulu, kemudian memberi senyum tipis yang saya balas dengan anggukan. Setelah dia pergi senyum di bibir ini tak kunjung reda, sepertinya dia menancap pellet ditubuh saya.