Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Minggu, 23 Juli 2017

Benefit Friend or Benefit Friend(s) ?



Kadang saya nggak mengerti dengan apa sih yang dimaksud dengan sahabat?
Manusia yang selalu berkumpul dan hangout makan makan di café denganmu? Atau yang memenuhi feed instagram kamu? Atau orang-orang yang namanya selalu kamu tag saat ada postingan menyenangkan yang mampir di berandamu?

Selama saya hidup. Di dunia ini, hanya ada satu teman yang saya cari di saat kondisi terdesak.
Dia bukan orang yang suka saya tag saat saya melihat caption-caption bagus, bukan orang yang akan memberi saya kado atau memenuhi feed instagram saya. Tapi, dia selalu menjadi orang yang nggak pernah melupakan untuk mengucapkan selamat dan berkah yang melimpah di saat saya berulang tahun. Eh, tunggu dulu. saya rasa dia sering melupakan hari ulang tahun saya, dan dengan seenak hatinya mengatakan ‘Sorry, gue lupa’ dengan tawa yang menyebalkan.

Kalau di pikir-pikir, saya dan dia sering kali bertengkar hanya hal sepele. Seperti ketika memutuskan untuk menonton film apa atau parahnya, ketika saya merasa bahwa tape dan peyeum sama sementara dia membuatnya benar-benar terlihat berbeda.

Namun, ada beberapa hal yang membuat saya merasa bahwa dia teman terbaik, yang sungguh, selalu saya syukuri keberadaannya. Kami tak pernah berdebat soal ketidak ikut sertaan ketika diantara kami berdua mengajak. Ketika dia mengatakan kata ‘Lihat besok ya?’ saya sudah mengartikan bahwa dia tidak bisa, apapun alasannya. Itu tetap menjadi haknya untuk menolak. Begitu pula dengan saya.
Kami juga tak pernah berdebat soal mengapa saya selalu memposting tulisan galau atau dia yang sering mempublikasikan kebahagiaanya dengan kekasihnya. Karena entah mengapa, saya merasa ini pertama kalinya saya merasa bahagia ketika teman yang saya sayangi bisa disayangi oleh orang lain.

Ngomong-ngomong soal ini, kemarin tukak lambung saya kambuh. Saya tidak bisa tidur hingga pagi, lucunya saya justru mengabarinya lebih dulu. Dan dia mengatakan sesuatu yang benar-benar membuat saya setidaknya merasa lebih baik ‘Kalau rumah lo disamping gue. Gue samperin lo’
Dan saya rasa, sesederhana itu lah sahabat. Saya nggak akan merasa malu bila menceritakan aib yang nggak satupun orang tahu. Saya nggak akan merasa di hina bila dia melontarkan kritikan pedas. Dan saya nggak merasa ditinggalkan, ketika dia lebih memutuskan untuk pergi dengan teman-teman yang lainnya.

Dan yang saya tahu, sahabat bukan seseorang yang membuatmu merasa bahwa kamu harus selalu ada, sehingga sering kali memaksa dirimu untuk melakukan hal yang tak kamu inginkan. Sahabat, juga bukan pula orang yang kamu perjuangkan dengan begitu sangat, hingga sering kali kamu merugikan dirimu sendiri.

Dia bukan orang yang membuatmu menangis karena ucapannya.
Tetapi dia, adalah orang yang membuatmu merasa bahwa kamu memerlukannya ketika kamu menangis.

Karena, saya menemukan sesuatu seperti itu dengannya. Maka saya memutuskan untuk menjadikan dia sahabat untuk diri saya.