Ini sudah menjadi rokok ketiga yang di habiskannya, bibirnya
masih saja berceloteh panjang lebar meski dia tahu bahwa aku sama sekali tidak
tertarik untuk mendengar ceritanya. Kaca jendela di sampingnya terbuka lebar, membuat
asap yang keluar dari mulut dan rokok di sela jemarinya terbuang lewat celah
tersebut. Vanila latte yang dibelinya
sudah mendingin entah sejak kapan. Aku tak tahu mengapa laki-laki ini begitu
senang mengadukan banyak hal kepadaku.
“Cantik kan Ca?”
Aku mendelik sebentar, dia menyodorkan ponsel genggamnya
kepadaku. Cantik. Setidaknya begitulah pemikiranku.
“Lumayan.”
Aku kembali fokus pada tugas makalah yang harus dikumpulkan
besok. Bahasa kerennya, deadline.
Tapi bagiku tugas seperti ini sama saja membunuh mahasiswa secara perlahan. Apa
di fikiran bapak tua itu mata kuliahnya adalah satu-satunya yang harus di
kerjakan, satu-satunya yang harus di dahulukan, dan satu-satunya yang harus
dipusingkan? Oh, yang benar saja!
“Cuman lumayan? Dia ketua Padus, lo harus tahu kalo suaranya
berasal dari surga.”
Aku mendesah pelan, mataku bertemu tatap dengan mata
sipitnya. Dia memasang wajah menyebalkan. Tuhan, bolehkah aku menonjoknya
sekarang?
“Ya, cantik.”
“Just it?”
Aku melirik ke arahnya, tubuhnya terlalu mencondong ke
mejaku dan well aku benar-benar
membenci itu.
“Udah jadi pacar?”
“Lagi proses Ca, lo kira gampang
naklukin cewek kaya begini.”
Dia menyandarkan tubuhnya dan
dengan santai memainkan ponsel genggam yang sedari tadi tergeletak di atas
meja. Aku bahkan tidak pernah habis fikir kalau pun perempuan itu mau menerima
cintanya. Rayhan bukan satu-satunya cowok bagus di kampus ini, mengapa juga
primadona mau bersanding dengannya? Aku yang memiliki wajah rata-rata dan otak
pas-pasan saja harus berfikir dua kali.
“Lo boleh pamer, kalo dia udah jadi
pacar.”
“Bentar lagi juga jadi pacar kok
Ca. Lo liat aja ntar.”
Dia menaik turunkan alisnya,
sementara aku hanya bisa memutar ke dua bola mata ini atas tingkah angkuhnya
yang tidak tertolong.
“Lo sendiri, kenapa gak punya
pacar sih Ca?”
Oh, haruskah laki-laki ini tahu
betapa seharusnya aku tidak membiarkan waktuku terbuang sia-sia atas curhat
konyolnya? And then, sekarang dia
justru begitu ingin tahu masalah hidupku yang terbengkalai atas dasar
penyebab-penyebab tugas yang tidak bisa terselewengkan ini.
“Gak ada urusan di elo kan Kak?”
Ah ya, umurnya berbeda tiga tahun
denganku, dan aku tentu saja masih memiliki rasa sopan-santun yang tinggi untuk
memanggilnya dengan alih-alih kakak. Tapi memang benar, ini hanyalah sebuah
formalitas.
“Ya, bener juga sih. Mana ada
cowok tulen yang seneng sama cewek macam kutu kupret kaya lo.”
Tawanya menggelegar, hingga
beberapa anak di pojok belakang sana menoleh. Dan dia sukses
menjadi pusat
perhatian dalam beberapa detik. Aku menggebrak mejanya dengan kesal, sementara
dia justru menyesap kopi panasnya yang tidak lagi mengeluarkan asap.
“Gue mau jumatan dulu yah.
Bye.”
Dia melenggang pergi dengan
meninggalkan beberapa putung rokok dan gelas sterofoam yang kopinya sudah
tersisa separuh gelas dimejanya. Dan apa katanya? Jumatan? Yang benar saja.