Sore ini hujan turun dengan deras, sama derasnya dengan air
mata yang tak bisa aku tahan karena hal-hal buruk yang menimpa kita saat ini.
Aku dan kamu pernah berjanji untuk sama-sama menjaga hati. Meyakini
hal-hal baik yang terus saja terjadi. Tapi sayang, aku terbutakan oleh
semuanya. Bagaimana bisa aku tak belajar dari kesalahanmu dimasa lalu. Kufikir permohonan
maaf dan janji ‘tak akan mengulangi’, sudah cukup membuat hari-hariku terasa
lebih tenang.
Tidak ada bayangan kehancuran, kekandasan ataupun orang
ketiga didalam hubungan kita.
Aku selalu jujur pada sebab-sebab kecil denganmu. Baik atau
buruk, ku fikir kau harus tau. Aku menjaga hati dari orang-orang yang berusaha
mendekati. Merapal namamu, membuatku merasa sudah cukup terpenuhi.
Tapi sayang, bagimana bisa hanya aku yang melakukan hal
tersebut sendiri? Kenapa hanya aku yang menyakralkan kata setia? Mengapa hanya
aku yang tak lagi mendusta?
Kamu takut untuk kehilanganku. Tapi bagaimana bisa pada
waktu yang sama, kamu juga ingin menggenggam erat tangannya?
Maaf. Aku tak bisa menjadi pilihan kedua.
Dengar, aku punya alasan yang masuk akal.
Kuceritakan padamu satu cerita,
Dahulu aku pernah mendekap sesuatu begitu erat. Menyombongkn
diri dengan pongah, bahwa hanya akulah akhir dari tujuannya. Dan kamu tentu
tahu lebih pasti siapa yang paling terluka pada akhirnya.
Aku tak biasa disakiti. Aku tak cukup hebat untuk
dikhianati. Karena bagiku, mencintai tak hanya sekedar untuk saling berjanji
lalu dengan mudah mengingkari.
Setiap kali pertemuan singkat, obrolan panjang lewat telephone
genggam, dumelan kecil karena hari yang tak sesuai atau perdebatan karena satu
hal yang diyakini, terasa benar-benar menyakiti – ketika aku tak lagi sanggup
untuk percaya padamu.
Jadi, tolong jelaskan padaku.
Bagaimana aku bisa bertahan bersamamu tanpa kepercayaan?
Hari-hariku semakin terasa buruk. Setiap kali waktu menjedakan
kita, aku merasa kalang kabut sendiri. Setiap kali telephone genggammu tak
aktif, namanya terasa mempalu kepalaku. Hingga aku berusaha untuk mengekangmu
semakin dalam, dan membuatku tutup mata untuk segala usaha yang kamu buat.
Cinta harusnya tak setakut ini.
Sepemikiranku, dia menangkan.
Tidak merusak hari-hari ku seperti lengan baju yang
kebesaran. Tidak juga membuat mataku perih seperti terkena sambal ulekan.
Maka sayang, pilihlah.
Aku berjanji tak akan marah lagi. Kamu berhak untuk bahagia.
Bila bersamaku saja tak cukup membuatmu merasa terpenuhi,
tinggalkan saja aku sendiri.
Kejarlah dia yang tak bisa kamu genggam sebelumnya.
Jangan mudah patah atau lelah karena dia menyuruhmu
menyerah.
Yakinkan pada dia bahwa kamu berhak untuk berjalan
disampingnya.
Aku akan membantumu sebisaku. Mendoakanmu. Tak perduli bila
tisu yang kubeli harus habis lebih dulu.
Sesekali mungkin aku akan memakimu. Tak apa. Karena kau
mungkin pun tak akan tahu.
Sesekali mungkin aku akan mengusikmu, dengan sapaan kecil
karena kekonyolan rindu yang menggebu. Tak masalah, karena aku akan berusaha menyelundupkannya.
Akan tetapi setelahnya, ku pastikan aku akan lenyap bersama
sisa-sisa kenangan yang ku bawa sepenuhnya.
Aku tak ingin kamu menderita lebih lagi, dan membuatku
merasa menjadi makhluk yang mendzolimi.
Jaga dia baik-baik.
Lebih baik dari saat engkau menjagaku dulu.