Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Kamis, 24 Desember 2015

Perang Bintang (Satu)

Kafe Wish and D yang tergeletak di daerah Keranji, bernuansa biru laut dan cokelat pastel disetiap garis vertikalnya. Kalo kamu merhatiin lebih detail lagi, ada tulisan putih dan gambar macam aneka dibalik tembok hitam yang terdapat disetiap ujung sisinya. Aku gak bermaksud untuk mendeskripsikan bagaimana otak sengklek Geva berlabuh untuk tetap meneruskan usaha kuliner ini.

Kamis, 17 Desember 2015

Hujan Hingga Februari (Satu)

Janu berbeda dari yang lainnya. Dia tidak memiliki wajah tampan yang mencolok atau mobil mewah yang terparkir di halaman kampus. Ranselnya berwarna hitam, nyaris pudar. Buku-buku yang di keluarkan dari dalam ranselnya tak lebih dari karya Shakespears, Kafka, atau George Elliot. Asli jawa, berlesung pipi dan memiliki mata yang teduh. Kebanyakan orang mengira, dia adalah satu diantara banyak mahasiswa cerdas yang hanya berteman dengan tumpukan buku tebal.

Sekolah Terserah Murid

Waktu sebelum aku masuk STM. Aku sempet ngerengek untuk di masukin pesantren atau lebih memilih masuk SMA. Tapi ibu tetap memaksa dan pada akhirnya aku tetap tes disana.

"Aku mau ngambil teknik gambar bangunan kalo gitu."

Nope. Ibu dan bapak ngelarangku, mereka tetep nyuruh aku untuk masuk ke jurusan komputer dengan dalih "biar gampang nyari kerja kaya mas mu."
Padahal, setiap orang punya mimpi dan kesukaan yang berbeda.
"Do something because you love it, not because you want to look great doing it."
Kakak bilang, aku harus mencobanya. Seiring berjalannya waktu, semua pasti bakal baik-baik aja. Dan akhirnya bapak tetep ngambil map hijau, seberapa banyak pun aku bilang kalo aku sama sekali gak suka sama komputer.

Tes yang aku jalani dengan khidmat itu setengah asal aku kerjain.
"Nanti katanya kalo gak masuk komputer kamu bisa masuk bangunan." Tentu aja aku seneng. Yang harus aku lakuin hanya setengah ngasalin jawaban supaya gak masuk komputer, tapi Tuhan punya rencana lain. Aku masuk. Keterima.

Kalo ditanya what is your special talent? Tentu aja aku cuman bisa ngejawab, aku bisa baca novel empat ratus halaman cuman dalam beberapa jam. Aku lumayan bisa ngegambar. Dan aku suka banget nonton barbie. Tapi bukan itu yang waktu itu kakak minta. Dia nanya apa cita-cita ku. Aku mau jadi perawat atau enggak penulis novel. Kalo gitu bagus, komputer diperlukan untuk mengetik bukan? Hell yeah. Gak begitu juga kaliiii!

What is your biggest fear?
Dari dulu aku cuman punya temen deket perempuan, laki-laki sedikit membuatku gak nyaman. Dan STM yang jumlah laki-lakinya mendominasi adalah mimpi terburuk buat ku. MOPD pertama berlangsung, aku nyaris pingsan dua kali. Bagiku MOPD STM beda banget sama SMA atau SMEA. Gak ada senior jahat atau senior baik. Karena semua senior disana seolah-olah dibangkitin dari alam baka yang tugasnya nyiksa adik kelas.
Mimpi burukku semakin berlanjut. Awalnya aku mau masuk pramuka atau PMR tapi mengingat bahwa yang namanya baris berbaris itu mengerikan akhirnya aku justru melangkahkan kaki ke Rohis yang ternyata personil perempuannya cuman empat orang termasuk aku.

Setiap kali masuk gerbang STM ada perasaan aneh yang menggelitik. Tanganku berkeringat detak jantungku lebih cepat dari biasanya. Sekali lagi. Karena STM banyak cowok, sepanjang perjalanan di koridor aku cuman bisa nunduk dan setengah berlari. Karena gak tau kenapa beberapa kali namaku di panggil cuman barang buat godaan. Bukan. Bukan karena aku cantik, tapi mau sejelek apapun kamu sebagai perempuan. Kamu bakalan di jadiin objek ledekan.
Semester pertama ku gak berjalan dengan baik. Setiap hari aku ngerengek minta pindah dan nangis di depan ibu.

"Belum terbiasa. Lama-lama juga biasa."
"Gaapa-apa biar strong kalo temennya laki-laki semua kan?"

Aku cuman gak habis fikir kenapa kedua orang tuaku yang tahu kalo aku setengah takut sama laki-laki justru masukin aku kesana. Semakin berjalannya waktu aku terbiasa dengan ledekan senior dan milih alternative muterin jalan kalo ketemu "teteh-tetehan." Beberapa kali aku harus lompat jendela supaya gak ngelewatin kelas Teknik Permesinan yang berkali-kali suka ngusilin aku. Naik kelas dua, aku milih buat jadi anggota osis. Aku mulai di kenal banyak orang. Aku ngegalang dana di setiap jalan untuk korban banjir dan palestine. What I love to do matter much more than what I am good at; what makes me happy matters much more than what makes other people happy. Mampir di beberapa yayasan yatim piatu dan ngeliat korban banjir secara langsung nyadarin aku bahwa STM semakin lama terasa sebagai tempat terbaik untukku.

Meski, beberapa kali aku harus diejek temen rumah karena nebeng sama temen "cowok." Oh betapa mereka gak tau kalo di rohis itu cuman ada aku, Juli dan Laras yang bagusnya sama-sama gak bawa motor.

"Pacar lo banyak banget sih Nis."

"Lo mah sama kambing di bedakin aja mau ya?"

Kalo aja mereka tau betapa perbedaan STM dengan SMEA itu jauh mungkin kataan hina itu gak akan terlontar. Tapi, setiap orang berhak untuk nge judge. Gak perduli bahwa aku udah bersikeras untuk tetap jadi "Annisha yang baik." Semua berubah, menjelma menjadi sesuatu yang makin hari makin buruk. Dan sialnya, aku gak perduli. Aku justru menyukai pulang ba'da maghrib, sabtu dan minggu masuk sampai mabit. Aku menyukainya lebih dari apapun itu.

"Pulang maghrib mojok dulu ya Nis?"

"Itu siapa lagi Nis? Pacar yang keberapa?"

Makin hari omongan temen-temenku makin menjadi sampai kadang aku nangis dan curhat sama kakak. Just because you're think it's good, doesn't mean it is good for people. Kadang apa yang aku fikir nebeng sama temen lebih bagus ketimbang harus jalan kaki pulang sendirian ngebuat nilai diriku makin rendah.

Setelah perpisahan yang diadain di Jogja aku mulai sadar bahwa STM adalah tempat terbaikku. Di kenal ngebuat kamu semakin menjaga diri kamu untuk gak berlaku seenaknya. Beberapa kali aku mutusin untuk gak berpacaran karena tau bahwa aku di kenal sebagai Nisha yang baik seolah-olah jika aku berpacaran ngebuat pamor "baik" ku tercoret. And then- aku memiliki teman laki-laki yang menumpuk. Gak habis fikir aja kalo aku punya pacar berapa kali kami bakalan bertengkar hanya karena aku lebih sering main sama temen cowokku.

Be who for who you are, because someone wants to be like you and they might just lose their star.
Waktu itu aku sempet di tarik sama anak-anak cowok sekolah lain hanya karena pake seragam STM. Beberapa kali di hina "bau negeri" atau barang sekedar dikatain "cabe-cabean negeri" meski aku gak tau salahku apa sama mereka. Tapi makin hari aku makin merasa bangga sama seragam ini. Gak semua orang punya kesempatan untuk jadi anak satoe bekasi. Look for happiness. Life is meant to be enjoyed- but hard work and achievements are still necessary in order to gain respect from others.

Selasa, 01 Desember 2015

Selasa, 1 Desember

Sesuatu yang berasal dari bumi kelak akan tetap membumi.

Saya perempuan dengan banyak kakak, anak terakhir yang terlahir manja dan tidak mandiri. Satu-satunya dari sebuah keluarga yang masih sendiri. Menjadi seorang tante- bahkan sejak usia menginjak tiga tahun. Bulek kecil, begitu katanya.
Lima laki-laki dan lima perempuan. Mereka semua memanggil saya dengan panggilan yang sama. Menganggap saya sebagai salah satu bagian yang seharusnya memberikan amplop di hari raya.
Desember kali ini, hujan sudah mulai tiba. Tapi bukan masalah hujan yang menjadi pengantar dari cerita sedih kali ini.

Baiklah, saya akan memulai.
Jadi begini ceritanya,

Pagi ini, ibu dan bapak sibuk berdandan dan berkemas. Salah satu keponakan saya masuk ruang ICU. Begitu katanya.

Chaesar- keponakan saya yang kedua itu memang selalu berlangganan ke rumah sakit. Terhitung dari saya yang masih duduk di bangku SD dulu, yang lagi dengan jelas lebih memilih membolos karena harus menunggunya di ruang isolasi. Memory saya penuh dengan selang infus, jarum suntik, darah yang berceceran dan mata sembab kakak jika seseorang menyebut namanya kini.
Dia laki-laki bermata sipit, bertubuh gempal dengan suara bass yang berat.
Dia anak dari kakak pertama saya. Dari keluarga yang memiliki konflik klasik. Perceraian.

Jika kalian katakan ini adalah sebuah bentuk kesedihan seorang tante yang kehilangan keponakannya. Saya tak mengelak. Jika kalian katakan ini adalah bentuk suatu hukuman karena rasa tidak perduli. Saya terima.

Mungkin. Jika kali ini, Tuhan mengizinkan saya untuk bertemunya lagi. Setelah delapan tahun kami tak bertatap muka, dia pasti akan dengan polosnya mengatakan "Siapa teteh ini?"

Bukan. Saya mencintainya. Selalu. Sama seperti saya mencintai keponakan-keponakan saya yang lainnya. Tapi dia memang sedikit berbeda. Saya tak memiliki banyak cerita dengannya. Hanya rumah sakit, dan akan selalu rumah sakit sebagai latar saya mengingat dirinya.

Mungkin pula tak akan mengingat siapa yang menggandeng tangannya ketika dia merengek meminta perahu minyak dulu. Dia juga pasti tak mengingat soal peyek udang dan peyek kacang yang masuk kedalam daftar pokok makanannya. Dia tidak akan mengingatnya. Tentang seberapa banyak saya menggendong tubuh beratnya, menangis di saat ambulance membawanya, tertawa disaat suara seraknya mampu berbicara. Tidak dengan saya. Saya mengingat semuanya. Bahkan pada saat terakhir kali dia menginjakan kaki kerumah ini, saat dimana dia menatap saya dengan pandangan mata yang berbeda. Seolah-olah saya bukanlah orang yang menyayanginya. Seolah-olah kami adalah sepasang makhluk asing yang tak pernah berjumpa.

Jadi, kali ini. Dengan setengah tidak sadar, saya menuju stasiun. Menaiki salah satu kereta dengan modal info seadanya yang saya dapat. Saya tidak menangis. Belum. Setengah dari diri saya masih tidak menyadari bahwa kali ini dia memang benar-benar pergi.

Bahwa ruang IGD, UGD, Isolasi ataupun ICU tak mampu lagi mempertahankan detak jantungnya.

Mungkin. Saya masih bisa berdoa.
Mungkin juga. Saya masih bisa mengingat. Betapa dia akan selalu menjadi bagian penting dalam hidup saya. Sekeping puzzle berharga yang menjadi inti dalam sebuah gambar terbaik di dunia saya.

Kali ini saya membenci air mata, karena bacaan Yasin yang terpegang mulai memburam. Suara yang saya coba sebaik-baik mungkin terdengar dengan sempurna mendadak tersendat. Nama yang terpahat, tanah merah dan taburan bunga membuat kepala saya pening.

Ini bukan soal merelakan. Bukan juga tentang mengikhlaskan atau melepaskan. Dan tentu saja ini juga bukan sebuah perpisahan. Chaesar yang saya kenal akan tetap ada- berapapun lamanya. Kami hanya memiliki dunia yang berbeda saat ini. Karena kendati seberapa banyak pun saya memiliki ongkos untuk menaiki kendaraan bermobil, wajah dia tak akan pernah sampai kemari.