Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Selasa, 08 September 2015

J, aku jatuh.

J kali ini aku datang kembali. Ada kata-kata yang berkali-kali menggema. Mampukah kita mempercayakan masa depan ditangan orang yang belum berdamai dengan masa lalunya?

J, aku mencintainya.
Aku mendambanya dengan sempurna. Dia seperti figur yang sedikitpun tanpa cela. Aku mencari-cari replikanya berharap bahwa mampu menemukan diantara yang lainnya.

Aku tidak menghargai diriku sendiri kan J? Aku masih saja terbangun dengan mimpi yang sama. Masih saja berdoa dengan nama yang sama. Aku ingin dia bahagia. Itu saja. Selebihnya aku membiarkan Tuhan yang mengaturnya. Sungguh. Percayalah padaku!

Lihat?
Aku hancur hingga kepangkalnya. Aku remuk, pecah dan sepertinya tidak bisa kembali menjadi utuh.

Langit masih biru. Beberapa kali pelangi muncul setelah hujan. Dan matahari masih tetap berkerja keras membuat aspal gersang dengan sempurna. Tapi aku tidak. Tidak dengan diriku J.

Orion.

Aku ingin menjadi sepertinya.

Aku ingin terlihat.

Aku ingin menjadi penunjuk arah bagi orang-orang yang tersesat dimasa lalunya.

Tapi bahkan, ada pun aku tak mampu. Orion tidak terang J. Tapi dia selalu ada untuk membuktikan kepada mereka yang membutuhkan bahwasannya dirinya tercipta untuk hal yang berguna. Sekarang kamu paham bukan? Aku tidak sanggup sepertinya.

Jelaskan padaku, mengapa sampai saat ini dengan segala kebodohan, aku masih ingin tetap seperti bintang dilangit?

Coba lihat lah aku J. Aku masih saja tersesat. Aku masih terombang-ambing di tengah pusaran badai. Aku.. belum benar-benar bisa kembali. Aku memang berdiri tegak, namun aku bisa limbung hanya karena sentuhan pelan.

Tataplah mata ku J. Lihatlah bibirku yang tersenyum. Bahkan orang awam pun mampu melihat tangis pecahku yang tersembunyi.

Aku lelah J.
Aku muak berpura-pura.
Aku bosan tersungkur kembali.
Aku jenuh harus jatuh cinta lagi dan ditinggal pergi.

Tolong aku J. Katakan padaku. Bagaimana caranya aku bisa bersinar meski dirinya membakarku habis-habisan hingga tak tersisa baranya lagi.

Dengarkan isak tangisku J. Berhentilah berpura-pura tuli. Aku serak bahkan mampu bersuara pun aku tak bisa.
Jangan dulu kamu muak. Aku berusaha, semampuku, sebisaku. Jangan dulu kamu jenuh mendengar keluhku yang tidak berkesudah.
Ku mohon. Jangan J.

Mau ku bawa kemana sakit yang berkepanjangan ini? Aku tak memiliki sedikit ruang untuk ditinggali. Aku tak punya sedikit waktu untuk mengatakan bahwa aku akan selalu ada ketika dia memilih kembali.
Aku bersedia menunggu.
Berapapun lamanya.
Semampuku, aku akan tetap ada.
Sebisaku, aku terus mendoakannya.
Sesanggupku, aku mencintainya.

Atas segala keMahaanNya. Aku akan tetap terjaga. Berharap kali-kali dia akan pulang ke tempat dimana aku meninggalkan hati. Tapi sekali lagi- aku bukan rumah untuknya J.

Berapapun lamanya aku menunggu dia tak akan pernah datang.
Semampu aku bersikeras tetap ada, dia enggan menoleh.
Sebisa aku terbangun dan terlelap kembali karena mendoakannya namaku tak pernah melantun dibibirnya.
Secintanya aku, dia tidak akan mau tahu.
Aku hanya bagian kesalahan masa lalunya J.
Aku yang terbusukan, tidak terselamatkan.
Aku yang terpojokkan tak akan mungkin lagi mampu berdiri, membusungkan dada di barisan depan.

Karena aku bukan orang yang dia harapkan.
Aku hanya debu yang menutupi benda-benda usang tak berharganya. Sekedar jeda nafasnya, itu bukan aku.
Tak pernah terhirup, tak pernah terdengar, terlihat ataupun teraba didunianya.

Aku hanya mencintai tanpa berbuah dicintai.

Jadi J. Sampaikan padanya, bahwa mataku masih saja memerah setiap kali namanya ku dengar. Kerongkonganku tercekat hanya karena hal sepele seperti deru mesin atau warung sederhana dipinggir jalan. Kenanganku tak pernah benar-benar terkubur.

Bilang padanya. Pulihku akan memakan waktu cukup lama. Dan bila suatu hari aku pulih, maka aku tak akan pernah benar-benar lupa bahwa dirinya salah satu sumber kebahagiaan yang menjatuhkanku ketitik terbawah.

Dan mohonkan padanya. Jika kelak dia berbahagia dengannya-
Rapal lah nama ku sesekali, untuk mampu tertawa lepas meski tanpa dirinya.

Aku ingin percaya pada masa depan J. Pernah aku berfikir- sudahi saja semua. Tapi ibu bilang, aku harus berjuang untuknya. Untuk mereka.

It's Okay.

Setelah patah kamu mungkin gak tahu lagi bagaimana caranya menulis kata-kata bahagia. Merancang masa depan, dan memupuk cita-cita dengan tinggi.

Mungkin awalnya kamu akan mengaku  "Aku lebih baik sendiri." Dan mungkin, mulanya kamu akan mengatakan- "Aku gapapah. Aku it's okay meski tanpa dia." Setelah itu masih dengan mungkin, kamu juga menegaskan bahwa gak akan pernah ada lagi air mata untuk orang yang gak pernah mau tahu kalau setiap di tengadah tangan, di sekitar mata sepet dan sujud panjang ada nama yang sampai saat ini masih tetap menggema dan terlafal dengan sempurna.
Beberapa kali- ada percobaan dimana satu orang, dua, tiga hingga yang kesekian menggandeng erat jemarimu. Sedikit menelaah apa genggaman jemarinya sehangat dia? Apa ada mata teduhnya dibalik mata orang yang saat ini, dengan gamblang memperjelas bahwasannya dia siap untuk menjadikanmu akhir dari segala tujuan. Kamu sampai sekarang masih tetap menyangkal dengan sempurna, meski hatimu tetap saja tergores kalau-kalau ada yang meyebut namanya. Seolah-olah namanya adalah salah satu mantra ajaib, racun terkuat atau sihir terbesar dalam hidup.

"Aku udah move on."

Mendelet segala kontaknya. Memblokir dan menghapus segala yang ada di ponsel lebar mu itu gak pernah banyak membuat perubahan besar. "Aku gak perduli. Mau dia mati atau hidup. Bodo amat!"

See?
Kamu belum move on. Orang yang mengatakan gak perduli adalah orang yang bener-bener perduli. Sama aja ketika kamu bilang aku baik-baik aja. Kata sihir seperti itu hanya ditujukan untuk orang yang gak pernah baik-baik aja.

Aku harus apa sebagai orang yang melihat kepura-puraanmu? Lihat deh temen-temen yang menatapmu disaat kamu menyembunyikan tawa di balik tangis kencang itu. Mereka sama sakitnya seperti kamu. Mereka sama-sama gak mau melihat orang yang menjadi salah satu sumber kebahagiaannya terhempas begitu aja karena baru aja di terbangin lalu dihempasin ketanah.

Balon yang diterbangin keatas langit- atau segala sesuatu yang pergi keatas sana akan tetap jatuh kebumi. Bawah ada atas. Pergi ada pulang. Begitu juga dengan perkenalan, sepaket sama yang namanya per-

Berapa kali mereka- para penulis, sahabat karibmu atau mungkin orang yang hanya sebatas kamu tahu nama bilang hal itu? Berapa banyak oranf yang mengutuknya, menyumpahinya karena udah ngebuat kamu terluka?

Kamu emang pernah ngalamin hal yang lebih sakit dari ini. I know that.

Kamu sama seperti ribuan atau jutaan orang diluar sana. Sama-sama munafik. Sama-sama memakai topeng untuk menutupi betapa dia dengan hebatnya menghancurkanmu hingga ke puing-puing terkecil. Hingga ke akar-akar terkuat yang udah kamu capek tanam dari jauh hari.

Coba sedikit bercermin.

Lihat kan?
Tuhan nyiptain kamu bukan untuk disakitin.

Coba kamu bernyanyi.

Sefalse suaramu Tuhan lebih senang mendengar kamu tertawa ketimbang mendengar isak tangismu karenanya.

Coba kamu lihat mamah papahmu.

Mereka mencintai-lebih dari yang kamu tahu.

Aku yakin mereka berdua pasti akan menjadikan dia samsak tinju kalau melihat anak yang susah payah dihidupinya, disayanginya, dijaganya dan dibesarkannya berkali-kali gak bisa tidur karena terlalu sibuk menangis.

Dan terakhir.
Lihat dia dengan kebahagiaannya.

Kamu harus bersyukur- kebahagiaan dia gak mampu membuat bibirmu itu berhenti terseyum atau tertawa dan memperlihatkan deretan gigimu.

Berdoa lah sekali lagi.
Untuk kebahagiaanmu.

Kamu udah terlalu lama mengenyampingkan kebahagiaanmu.

Berjanjilah pada dirimu- satu hal.

Kamu harus tetap bersinar. Sekalipun mereka yang kamu kasihi sedikit-sedikit pergi meninggalkan.

Tetaplah seperti bintang dilangit. Bersinar. Dan menjadi penunjuk arah untuk orang-orang yang membutuhkanmu.

Note: Jangan capek! Disana jodohmu lagi sibuk nyari uang karena gak mau ngeliat kamu menderita dalam kesusahan. Tuhan cuman mau ngasih tahu kamu- bahwa cinta yang salah membuat hambaNya bersyukur karena pada akhirnya mendapatkan cinta yang benar.

Rabu, 02 September 2015

Aletha (Satu)

Aletha sibuk merapihkan berkas-berkas yang menumpuk dimeja redaksinya siang ini. Sesekali dia mengunyah permen karet mintnya yang sudah terasa hambar. Alih-alih AC yang terpasang tidak membuat keringatnya berhenti mengucur. Dia sudah sibuk sana-sini sedari tadi. Ada banyak artikel, psycho-test dan beberapa jurnal yang menunggunya untuk di edit. Dia mendesah pelan, kalau saja mba Meylan tidak mengambil cuti nikahnya saat ini dia pasti tidak akan harus seribet dan seabsurd ini.

"Ada yang bisa gue bantu Tha?"

Aletha tersenyum miris kemudian duduk kembali dibangku kerjanya.

"Lo bisa ngedit naskah novel yang kemarin pak Regar bilang gak?"

"Novel karya si penulis baru itu ya?"

Perempuan berbehel itu mengambil sebungkus permen karet mint milik Aletha yang teronggok diatas tumpukan kertasnya lalu mengunyahnya dengan pelan.

"Iya. Cuman sedikit doang kok salahnya. EYDnya masih sedikit berantakan, tapi selebihnya oke-oke aja."

"Bukannya gue gak mau Tha. Tapi lo tau sendiri kan, gue juga gak paham soal EYD EYD-an begitu. Mungkin gue bisa bantu lo selain ngedit naskah atau skript."

"Kerjaan gue kan emang begitu non. Ngedit ini ngedit itu. Kalo gak lo bantu gue buat ngeprint jurnal sama  artikel yang udah gue edit aja deh, gimana? Pak Roy gak mau soft copy soalnya."

"Okedeh sip. Mana sini flashdisknya?"

Aletha mengangsurkan flashdisk kemudian tersenyum.

"Thank's Jey."

"U're wellcome honey."

Perempuan berbehel yang memiliki nama Jessica itu pergi sementara Aletha maelanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Dia mulai mengetik kembali pekerjaannya yang membuat pundaknya sedikit kesakitan. Sepertinya dia akan meminta ibunya untuk memanggil tukang pijat langganannya dirumah nanti. Dan sepertinya juga- dia harus meminta sedikit kenaikan gaji karena harus kerja ekstra minggu ini.
Tanpa terasa bunyi bel berdering, tanda istirahat berlangsung. Aletha mendesah pelan, kemudian menggambil telephone kantor disisi kanannya. Sepertinya dia lebih memilih memesan makanan siap antar ketimbang harus turun kebawah- bergabung bersama teman-teman redaksinya untuk makan dikantin yang kayaknya akan menghabiskan waktu banyak. Dia gak mau kalau nanti tugasnya harus membuatnya bergadang hingga pagi seperti kemarin-kemarin. Oh No! Bahkan kalau dilihat-lihat penampilan Aletha saat ini hampir menyerupai mayat hidup. Rambut curly yang biasanya dibiarkan tergerai rapih atau dikuncir satu di biarkannya terjepit asal. Dua lingkaran hitam muncul disekitar kedua bola matanya, dan dia bahkan gak sempet mengoles lipstick dibibirnya. Meski seperti itu tetap saja, Aletha Kusuma Dewina adalah salah satu perempuan tercantik yang dipunyai Gomedia. Tanpa hiasan apapun atau make up dia tetap kelihatan seperti barbie berjalan. Bola matanya bulat dan memiliki bulu mata lentik panjang yang lebat. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Kalo kata Pak Fian, Aletha itu salah satu jelmaan putri Cleopatra. Soalnya siapapun yang melihat dirinya pasti sepakat kalau dia punya wajah Arab.

****

Laki-laki berkemeja putih itu berjalan tergesa-gesa. Bahkan dia memarkirkan mobil sport hitamnya ke sembarang arah. Setelah memasuki bandara Soekarno Hatta matanya mencari-cari seseorang yang sudah begitu ia nantikan kehadirannya. Diliriknya berkali-kali jam arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

"Abi!"

Laki-laki itu mencari sumber suara yang baru saja menyebut namanya. Senyumnya merekah setelah di dapatinya orang yang baru saja memanggilnya. Setelah jarak tidak lagi memisahkan, keduanya berpelukan erat. Seolah-olah pelukan itu mampu menghilangkan rindu diantara keduanya.

"Lo apa kabar bro?"

Laki-laki berkaca mata itu menepuk pundak Abi pelan.

"Gue baik. Lo yang apa kabar? Ausie gak akan ngubah lo jadi orang yang gak gue kenal kan?"

Keduanya terkekeh pelan. Laki-laki dihadapannya mulai menarik koper hitam besarnya.

"Gue yang justru takut kalo lo berubah. Gimana? Lo udah punya calon belom?"

"Calon apa? Calon babu?"

"Lo belum move on ternyata ya man dari..."

"Gue sibuk bisnis rumah makan jepang. Lo mau ikut gabung?"

"Gue maunya gabung, tapi bokap nyuruh gue megang perusahaan tekstil dia juga bro. Katanya udah tua, udah capek ngurus begituan."

"Oh iya. Apa kabar om Adi? Gue udah lama banget gak main kerumah lo."

Abi mengalihkan pembicaraan, sementara laki-laki berkaca mata yang menyandang nama Diko itu tau bahwa dia sudah salah bicara.

"Papah setau gue baik-baik aja, dia bahkan dua hari yang lalu nelfon gue buat nanyain kabar disana. Eh iya, ngopi dulu yuk. Pait nih lidah gue."

Abi mengangguk. Kemudian keduanya berjalan menuju coffe shopp.

"Entar lo mau ke apartement adek lo apa langsung balik pulang Ko?"

"Gue langsung balik. Lagian udah seminggu ini kok dia tinggal dirumah soalnya apartement tuh anak dalam renovasian katanya sih."

Pesanan Abi dan Diko datang bersamaan. Abi menghirup harum lattenya sementara Diko menyesap moccanya dengan tenang. Keduanya memang sama-sama penggila kopi. Sejak SD mereka sudah ditakdirkan untuk bersahabat. Hanya setelah lulus SMA lah, mereka harus berpisah sekolah. Diko memililih kuliah di Ausie sementara Abi tetap tinggal di Indonesia. Tidak ada yang cacat dalam persahabatan mereka. Semua terasa transparant, telanjang dan begitu apa adanya.

"Om Farhan akhirnya ngizinin lo buat tetep buka usaha?"

Diko menatap sahabatnya itu setelah melepas kaca mata hitamnya dan menyelampirkannya dikaus hitam polosnya.

"Mau gimana lagi? Usaha gue berkembang. Dan gue bisa ngebuktiin kalo gue bisa hidup makmur tanpa duit Papah."

"Lo masih gak minat buat jadi dokter? Ya alih-alih kerja sampingan gitu."

Abi menggeleng tegas.

"Gue udah terlalu sibuk sama bisnis taman bunga di bandung. Belom lagi rumah makan dan beberapa outlet pakaian. Semua udah cukup nguras waktu, tenaga dan fikiran gue Ko."

Diko menyendok fruitcakenya sementara Abi kembali menyesap lattenya.

Abi lulus menjadi seorang sarjana kedokteran dengan umur yang muda. Dua puluh satu tahun. Paras tampan dan wibawanya terlihat sejak dia menjabat sebagai ketua OSIS di SMAnya dulu. Abi memiliki mata sipit dan hidung mancung, rahangnya terlihat kokoh dan lesung pipinya membuat siapapun sepakat bahwa dia salah satu laki-laki tertampan yang ada dibelahan dunia ini. Berbeda dengan Diko yang memiliki wajah timur tengah. Matanya bulat dengan bulu mata yang lebat- hidungnya bangir dan kulitnya agak kecoklatan. Terlalu sering bahkan orang-orang menganggap bahwa Diko memiliki darah Arab. Bahkan dulu waktu SD, Diko sempat di panggil dengan sebutan "anak Arab."

"Sebelum kerumah, anterin gue ke toko bunga dulu ya. Gue mau ngasih surprise buat mamah nanti. Dia kan penggila mawar."

Abi tersenyum kemudian mengangguk.

****

Aletha menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, perasaan dia meletakkan buku novel terjemahan yang baru di belinya itu disini. Tapi kenapa tiba-tiba buku itu raib begitu saja?

"Teeet. Teeet."

Bunyi bel dirumahnya terdengar nyaring. Siapa sih yang namu maghrib-maghrib begini? Gak tahu sopan santun banget! Dengan rutukan didalam hati Aletha melangkahkan kakinya kearah pintu. Dan...

"Holla adikku yang cantik."

"Mas Abi?"

Diko melirik sahabatnya sekilas dengan dahi yang mengerut.

"Tuk!"

Satu jitakan pelan mampir dipuncak kepala Aletha.

"Lo tuh yaaa. Bukannya kaget gara-gara masnya dateng. Malah kaget nyebut nama orang lain."

Aletha meringis. Kemudian memeluk Diko dengan kencang.

"Lo bukannya salam dulu kalo masuk eh malah godain gue."

Selepas pelukan itu. Diko ngeloyor masuk sementara Abi masih ngerasa canggung dihadapan Aletha. Dia benar-benar gak nyangka perempuan yang dulunya sering banget di gendong kesana-kemari udah menjelma jadi bidadari yang kasat mata.

"Ayo mas, masuk. Udah lama gak kemari ya? Jadi rada malu gitu mau masuk."

Aletha mempersilahkan laki-laki dihadapannya itu dengan ramah, di sertai senyum manis yang membuat gigi gingsulnya terlihat.

"Mamah mana?"

Tau-tau saja Diko sudah meminum jus kemasan dan berjalan menuju ruang tamu. Sementara Abi mengikuti Aletha yang duduk di sofa panjang berbahan beludru halus itu. Sementara koper besar hitam milik Diko teronggok tidak berdaya disamping TV LCDnya. Aletha menggeleng-geleng kepala, setelah dua tahun gak ketemu. Ternyata gak ada yang berubah dari kakak semata wayangnya ini.

"Lagi dirumah tante Mira. Kan anak tante Mira ngelahirin."

"Si Revi?"

Aletha mengangguk kemudian berjalan menuju dapur untuk menyiapkan minum.

"Lo nginep disini aja man."

Samar-samar terdengar suara kakaknya dari balik dapur. Aletha menghembuskan nafasnya dengan lega. Berdekatan dengan Abi bukan hal baik bagi dirinya. Setelah lima tahun gak ketemu ternyata dadanya masih aja gak mau diajak kompromi, masih aja berdetak gak karuan kaya selesai lari marathon. Abi-cinta pertama Aletha. Cinta yang membuat Aletha harus bersusah payah untuk kelihatan tegar. Cinta pertama yang bertepuk sebelah tangan. Kalo diingat-ingat lagi, Aletha gak habis fikir kenapa dirinya dulu bisa senekat itu nyatain cinta ke temen kakak laki-lakinya. Dan gak tahu juga sejak kapan Aletha bisa se deg-degan itu tiap kali ketemu Abi. Yang jelas, hal yang paling diingat dari kejadian memalukan itu adalah kakak laki-lakinya gak berhenti buat ngecengin dia. Gak habis fikir juga kenapa Abi bisa sejahat itu ngaduin ke Diko.

"Lo tuh ya mas, ngajak tamu bukannya di sediain minum atau apa kek. Malah di biarinin gitu aja."

Aletha meletakkan jus jeruk itu di meja tamu beserta dengan martabak manis yang baru aja dia beli sepulang kerja tadi.

"Kan ada lo. Ngapain gue kudu repot-repot?"

Aletha mengerucutkan bibirnya kemudian segera menaiki tangga.

"Lo mau kemana dek?"

"Ke kamar lah. Kemana lagi?"

"Ini malem minggu. Lo gak jalan sama pacar lo?"

"Gue gak punya pacar."

Seketika tawa Diko meledak.

"Cantik sih, sayang jomblo."

"Sialan lo!"

Aletha segera balik badan kemudian menaiki tangga dengan cepat.