Saya terburu-buru memarkir motor, kemudian berlari-lari
kecil menuju lantai dua. Saya sudah
terlambat hampir setengah jam lebih, semoga saja dosen baru saya kali ini tidak
galak. Tepat didepan pintu, saya mengetuk ragu kemudian masuk perlahan dengan
nafas yang terengah-engah. Sepertinya dosen Psikologi Kognitif saya belum
datang, karena yang saya lihat hanya seorang kakak kelas laki-laki yang sibuk
berdikusi dengan Naya- teman sekelas saya. Dia menatap saya sekilas, lalu
tersenyum sementara saya melengos lalu segera duduk dibangku depan pojok kanan
yang selalu menjadi tempat duduk saya. Mungkin dia pacar Naya, terlihat serasi
memang. Mereka sama-sama memiliki wajah yang high-qulity.
“Dosennya belum dateng Grace?”
“Itu dosennya Nisha.”
Dia melirik ke arah laki-laki-
yang saya kira tidak jauh umurnya dengan saya. Kemeja putih, celana jins dengan
sepatu kets berwarna hitam bergaris putih membuat saya menganga. Dia berbeda,
tidak seperti dosen-dosen biasanya. Alis mata tebal dengan hidung yang mancung
menambah ketampanannya. Ohow! Ternyata dia bukan pacar Naya, ada dosen ganteng
juga dikampus ini.
“Gak percaya ya?”
“Demi apa?”
“Namanya Pak Ikhsan. Ganteng ya.”
Saya mengangguk kemudian menelan ludah. Dia beralih ke
laptop putihnya yang bertengger manis dimeja dosen, terdengar bisik-bisik teman
sekelas saya yang mengagumi ketampanannya. Oh Tuhan, saya rasa senin selnjutnya
tak akan telat kembali. Kali ini bibir mungilnya menjelaskan tentang
aspek-aspek dari kognitif, beberapa para tokoh psikologi kognitif dan
teori-teori yang hanya asal lewat didalam otak saya.
“Apa ada pertanyaan?”
Janti mengangkat tangan, dengan senyum yang merekah suaranya
terdengar kencang.
“Bapak udah punya istri?”
Kontan sekelas tertawa, bising, terdengar siulan dan bahkan tidak beberapa
yang menyoraki dirinya. Saya lihat laki-laki yang ditanya tersenyum, semburat merah
muncul dipipi tirusnya. Hiyaa, dia semakin manis saja.
“Belum. Apa ada pertanyaan lain?”
“Umur bapak berapa?”
“Tiga puluh tahun.”
Jawabannya membuat kaum hawa dikelas bercat putih ini kembali berbisik-bisik,
wajahnya tidak terlihat seperti umur tiga puluh. Dia pasti berbohong. Ya, saya
yakin itu!
“Udah punya pacar belum pak?”
Kelas kembali riuh, sementara yang ditanya menampilkan
deretan gigi rapihnya. Sambil menggeleng, dia mengatakan “Belum.” Masih ada
kesempatan ternyata. Huwoo, I’m coming
Pak Ikhsan.
Saya menuruni tangga beserta anak-anaknya dengan malas,
seperti biasanya. Saya kekantin tanpa ditemani siapapun, bukan karena tak
memiliki teman. Hanya saja, saya benci menunggu. Jadi daripada menunggu teman
yang jajan juga, saya lebih memilih sendiri.
“Mba, Moccanya
satu.”
“Moccanya satu
lagi ya mba.”
Saya menoleh, melihat siapa yang baru saja menimpali ucapan
saya. Dan sepertinya Tuhan sedang berbaik hati dengan saya hari ini.
“Kamu anak psikologi kan?”
Saya mengangguk, kemudian membalas senyum kecilnya.
“Iya pak, saya anak semester dua.”
“Siapa namamu?”
“Annisha. Dibelakang huruf s ada ha.”
Dia tertawa kemudian mengangguk. Pesanan saya dan dia muncul
berbarengan.
“Saya duluan ya Annisha.”
Dia membayar lebih dulu, kemudian memberi senyum tipis yang
saya balas dengan anggukan. Setelah dia pergi senyum di bibir ini tak kunjung reda,
sepertinya dia menancap pellet ditubuh saya.