Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Selasa, 14 April 2015

Dosen? (Satu)



Saya terburu-buru memarkir motor, kemudian berlari-lari kecil  menuju lantai dua. Saya sudah terlambat hampir setengah jam lebih, semoga saja dosen baru saya kali ini tidak galak. Tepat didepan pintu, saya mengetuk ragu kemudian masuk perlahan dengan nafas yang terengah-engah. Sepertinya dosen Psikologi Kognitif saya belum datang, karena yang saya lihat hanya seorang kakak kelas laki-laki yang sibuk berdikusi dengan Naya- teman sekelas saya. Dia menatap saya sekilas, lalu tersenyum sementara saya melengos lalu segera duduk dibangku depan pojok kanan yang selalu menjadi tempat duduk saya. Mungkin dia pacar Naya, terlihat serasi memang. Mereka sama-sama memiliki wajah yang high-qulity.

“Dosennya belum dateng Grace?”

“Itu dosennya Nisha.”

Dia  melirik ke arah laki-laki- yang saya kira tidak jauh umurnya dengan saya. Kemeja putih, celana jins dengan sepatu kets berwarna hitam bergaris putih membuat saya menganga. Dia berbeda, tidak seperti dosen-dosen biasanya. Alis mata tebal dengan hidung yang mancung menambah ketampanannya. Ohow! Ternyata dia bukan pacar Naya, ada dosen ganteng juga dikampus ini. 

“Gak percaya ya?”

“Demi apa?”

“Namanya Pak Ikhsan. Ganteng ya.”

Saya mengangguk kemudian menelan ludah. Dia beralih ke laptop putihnya yang bertengger manis dimeja dosen, terdengar bisik-bisik teman sekelas saya yang mengagumi ketampanannya. Oh Tuhan, saya rasa senin selnjutnya tak akan telat kembali. Kali ini bibir mungilnya menjelaskan tentang aspek-aspek dari kognitif, beberapa para tokoh psikologi kognitif dan teori-teori yang hanya asal lewat didalam otak saya.

“Apa ada pertanyaan?”

Janti mengangkat tangan, dengan senyum yang merekah suaranya terdengar kencang.

“Bapak udah punya istri?”

Kontan sekelas tertawa, bising, terdengar siulan dan bahkan tidak beberapa yang menyoraki dirinya. Saya lihat laki-laki yang ditanya tersenyum, semburat merah muncul dipipi tirusnya. Hiyaa, dia semakin manis saja.

“Belum. Apa ada pertanyaan lain?”

“Umur bapak berapa?”

“Tiga puluh tahun.”

Jawabannya membuat kaum hawa dikelas bercat putih ini kembali berbisik-bisik, wajahnya tidak terlihat seperti umur tiga puluh. Dia pasti berbohong. Ya, saya yakin itu!

“Udah punya pacar belum pak?”

Kelas kembali riuh, sementara yang ditanya menampilkan deretan gigi rapihnya. Sambil menggeleng, dia mengatakan “Belum.” Masih ada kesempatan ternyata. Huwoo, I’m coming Pak Ikhsan.


Saya menuruni tangga beserta anak-anaknya dengan malas, seperti biasanya. Saya kekantin tanpa ditemani siapapun, bukan karena tak memiliki teman. Hanya saja, saya benci menunggu. Jadi daripada menunggu teman yang jajan juga, saya lebih memilih sendiri.

“Mba, Moccanya satu.”

Moccanya satu lagi ya mba.”

Saya menoleh, melihat siapa yang baru saja menimpali ucapan saya. Dan sepertinya Tuhan sedang berbaik hati dengan saya hari ini.

“Kamu anak psikologi kan?”

Saya mengangguk, kemudian membalas senyum kecilnya.

“Iya pak, saya anak semester dua.”

“Siapa namamu?”

“Annisha. Dibelakang huruf s ada ha.”

Dia tertawa kemudian mengangguk. Pesanan saya dan dia muncul berbarengan.

“Saya duluan ya Annisha.”

Dia membayar lebih dulu, kemudian memberi senyum tipis yang saya balas dengan anggukan. Setelah dia pergi senyum di bibir ini tak kunjung reda, sepertinya dia menancap pellet ditubuh saya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar