Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Kamis, 26 Maret 2015

Untuk Satu Kali Lagi.



Untuk seseorang yang pernah meninggalkan saya karena saya terlalu buruk.

Malam ini saya berkaca, rambut saya yang keriting dengan kaca mata besar menggantung di pangkal hidung. Bibir lebar berstektur tebal dan hidung yang besarnya mengalahi kelereng jumbo membuat saya tersenyum miris. Berharap bahwa semua masih bisa di perbaiki. Berharap bahwa saya di ciptakan dengan keadaan yang lebih baik. Tapi kenyataan memang tidak berjalan bersama impian. Dan saya sudah tahu hal itu sejak lama.
Setiap lelah saya menggunung, saya menyempatkan diri untuk berkaca kembali. Sudah lebih baikkah saya? Apa saya masih bisa untuk menjadi bagian orang yang di perjuangkan? Apa saya tidak akan di tinggalkan lagi karena  hal konyol, seperti terlalu miskin atau terlalu bodoh. Apa saya sudah bisa dicintai tanpa harus menutupi segala kekurangan yang saya miliki.. nyatanya tidak ada jawaban yang bisa saya dapatkan, nyatanya tidak ada suara yang mengatakan bahwa saya sudah jauh lebih baik. Kenyataan memang membuat saya harus menekan kuat-kuat rasa kebencian.

Setiap kali saya pergi mengajar, saya berjuang keras-keras untuk melawan tangis karena tahu bahwa kata sepadan tidak bisa diartikan dengan penyatuan. Dan kali ini, saya jatuh sejatuh-jatuhnya. Saya patah sepatah-patahnya. Saya sadar sesadar-sadarnya. Kata-kata yang terlontar untuk saya kali itu sangat cukup menikam saya bahwa- menjadi perempuan yang tidak memiliki apa-apa tidak patut sama sekali untuk dicintai. Tidak wajar sama sekali untuk dikasihi. Tidak pantas sama sekali untuk dijadikan belahan jiwa.
Maka untuk kali ini, saya akan berjuang untuk menjadi perempuan yang hebat. Yang tidak akan ditinggalkan lagi karena tidak memiliki apa-apa. Yang tidak akan direndahkan karena bodoh dan miskin. Yang tidak akan disalahkan lagi karena buruk dan cengeng. Kalaupun saya harus menyerah, semua tak akan berhenti pada titik dimana saya patah.
Saya akan kembali tumbuh, saya akan kembali bermimpi. Untuk satu kali lagi.

Pukul Tiga Sore.



Aku menaruh novel yang sudah ku baca ke-30 kali. Novel yang terisi beberapa cerita, yang dengan kehebatannya terselip satu cerita mewakili perasaanku. Sejak menjadi mahasiswi, aku tak bisa lagi dengan leluasa membeli berbagai buku novel yang akan aku habiskan beberapa jam dalam satu hari. Aku tidak bisa lagi, dengan seenak udelnya membiarkan tugas menumpuk karena terlarut dari banyaknya novel yang tertumpuk.

Jika mengingat, usia tujuh belas ini. Aku ingin menangis kencang-kencang. Betapa seharusnya aku tidak ingin sedewasa ini. Betapa tidak seharusnya, aku harus selalu serius menghadapi masalah perkuliahan dan pekerjaan. Memang, kuliah dan kerjaku adalah hal kecil yang terbilang sepele- tapi andai saja yang mengkritik merasakan bagaimana sulitnya setiap hari terburu-buru pulang.
Jika yang menghina- sadar betapa aku membenci pukul tiga sore. Mungkin mereka akan lebih mengerti- tentang frustasinya seorang gadis yang semakin lama semakin bawel didunia maya, tapi memilih diam memendam di dunia nyata. Aku membenci semua. Membenci fakta, bahwa tak ada satupun yang mau mendengarkan keluhku. Yang dengan kerendahan hatinya, menemaniku berceloteh panjang lebar- tanpa menyudutkan apalagi menyalahkan. Dan memang benar, tidak ada.

Tuhan tidak menyiapkan orang seperti itu, tapi Dia menggantinya dengan sebuah benda yang tak akan mendumel bila saat emosi meraja, aku menggebrak-gebrakkan tutsnya tanpa ampun. Tuhan mungkin meminta agar aku bisa lebih dekat kepadaNya. Ya, mungkin. Sesederhana itu Dia membuatku hancur, keliru dan akhirnya memandang sinis ke segala arah. Namun mampu mengubahnya kembali ke 360 derajat. Aku yang katanya dewasa dan lebih pendiam.
Dalam waktu sesepele ini, dalam masa sebobrok ini. Aku bahkan tak bisa menjelaskan betapa nikmatnya membagi mawar ke jalan, meliput berita ke rumah pak Wali kota, berhunting ria- sambil bercekikik dengan kakak-kakak kelas yang kelihatannya mampu mebuatku tergelak. Aku juga bahkan tak merasa sedikit perubahan dalam hidup, aku tidak bisa mendetailkan bagaimana rasanya berorasi, bagaimana hebatnya berdemo dan menempelkan puluhan cerpen-puisi di sekitar mading.
Aku tidak menjadi aktifis. Aku seorang kupu-kupu. Bahkan ketika dosen dengan seenaknya lupa jadwal kapan dia harus berhenti  mengajar -aku lebih dulu berani mengunjuk jari- dan berizin pulang lebih dulu. Aku tidak menghiraukan betapa nilai D akan terpampang dengan jelas di IP ku nanti. Aku tidak perduli, betapa para dosen mungkin akan membicarakanku, sebagai mahasiswi paling tak tahu malu. Aku, benar-benar tidak perduli.

Dalam tumpukan buku-buku yang sudah ku beli dengan susah payah, mengantri tiket-berdesakkan dengan para penumpang-menangis dipinggir jalan karena takut tersesat. Aku memilih untuk membuat buku-buku tebal itu tersudut didalam meja, seolah-olah kesusahan dalam memperolehnya ku jadikan kebencian yang menggelegar. Aku tak akan pernah mau, dan rela membacanya di jam kosongku. Aku tak pernah sudi, membiarkan buku itu mengisi kekosongan jam tidur panjang-ku.
Dalam lampu baca- yang semakin meredup di kamar pengapku. Aku merasakan benci yang semakin hari, semakin bertambah. Dan itu justru membuatku semakin patah hati.

 29 November 2014

Berdamai dengan Masa Lalu.



Dulu kita sempat bersama-sama, berfikir bahwa  selamanya akan terus seperti itu. Bahagia dan hanya tawa yang mampu melengkapinya. Namun semua tiba-tiba saja berubah, kamu dan aku menjadi sosok yang sama-sama seperti tak saling kenal. Bahkan hanya sekedar menyapa “Hallo” pun begitu susah. Aku mengatakan bahwa semua masih baik-baik saja, aku berfikir bahwa aku masih menjadi aku yang dulu. Tapi penyangkalan memang tak selamanya berjalan mulus. Ada beberapa hal yang mungkin membuat ketenanganku musnah secara perlahan. Aku lelah menangis, juga terlalu letih untuk menyalahkan diri. Kepercayaan diriku yang mengatakan bahwa aku sanggup sendiri untuk berdiri tegak yang pada nyatanya tak sehebat itu. Aku masih lemah. Bahkan hanya untuk sekedar mengikhlaskan apa yang bukan menjadi milikku.

Aku tidak lagi mencintaimu. Tidak berharap bisa menjadi kita yang seperti dulu. Aku sudah bahagia dengan tanpa dirimu-atau orang lain yang katanya mencintaiku. Aku tak secepat itu melupakan- juga tak seceroboh itu dalam menaklukan. Bagiku mencintai sama sulitnya dengan melupakan apa-apa yang sudah begitu jauh untuk pergi. Hati bukan permainan yang semudah itu kamu coba lagi. Bisakah kita berdamai pada masa lalu? Jika kamu berfikir bahwa gandengan tanganmu membuatku menahan tangis agar tak tumpah, kamu mungkin salah. Aku sudah mempelajari banyak hal- termasuk kata move on atau move up didalamnya. Tidak ada artian penghapusan, hanya sebuah persamaan dengan penerimaan. Jadi bisakah kembali kita berteman?

Anggap saja segala yang terjadi, tentang baik atau buruknya adalah sebuah kamuflase bagaimana Tuhan memberikan banyak pelajaran untuk kita. Mari tawakan segala kenangan manis atau pahitnya! Kamu berbahagia dengan adanya dia di sisimu dan aku masih mampu tertawa gembira atas kesendirian dalam penganugerahan hidupku.