Kamu tahu bukan, bahwa aku tak pernah benar-benar memimpikan
menjadi seorang guru. Tapi coba kamu tebak? Saat ini pun aku masih menjadi
seorang guru, meski hanya dengan gaji ‘seupil’. Ku kira mimpi besarku adalah
menjadi penulis terkenal, lalu menaik hajikan kedua orang tua dan tinggal di
apartement yang mewah. Ayolah, semua orang tentu mengharapkan kekayaan juga
kesuksesan.
Namun semua terasa salah ketika
seorang temanku berkata
“Gajinya puluhan juta, beuh
mantabs! Lagian kalo bisa sih gue nggak mau jadi ibu rumah tangga aja. I’ts
bad, kuno dan klasik. Gue pengen berkarir, punya duit banyak dan tempat
tinggal yang mewah.”
Awalnya kukira semua perempuan
akan berpikiran seperti itu, dan aku adalah salah satunya. Semua mencintai
kekayaan dan kemewahan, semua memimpikan kesuksesan dan karir yang gemilang. Begitu
juga aku yang benar-benar pernah bermimpi bodoh untuk bisa melanjutkan S2
diluar negeri dan mengirimi uang ratusan juta untuk orang tuaku karena bisa
bekerja disana. Semua makin terasa ambigu sayang, aku tak lagi mengharapkan
rumah megah bertingkat atau apartement yang harganya milyaran itu. Aku tak lagi
tertarik untuk tinggal diluar negeri, menetap dan bekerja disana lalu mengirimkan
uang yang banyak untuk ibu, aku tak lagi memimpikan mobil mewah yang berderet
dirumah kita, juga aku yang berpakaian rapih bekerja ‘ala kantoran’ dengan gaji
selangit. Tidak, aku tak lagi memimpikannya.
Aku mendadak memimpikan
kesederhanaan.
Aku mendadak menginginkan
berkecukupan dan tinggal dirumah yang hangat.
Kau tahu bahwa didekat rumahku ada
Sekolah Luar Biasa? Kau tahu betapa aku harus merasakan nyeri yang mendera
setiap aku melewati mereka. Saat aku menjadi guru TK, semester pertama mengajar
aku dikejutkan dengan kedatangan murid pindahan dari kelas lain. Dia mengidap wernicke
aphasia yang menyebabkannya sulit berbicara, aku tak benar-benar tau aphasia
apa yang dideritanya sebenarnya. Apakah dia juga menderita disleksia? Entahlah.
Muridku ada 16 asal kau tahu, membagi perhatian benar-benar terasa sulit
untukku. namun karena anak ini diberi keistimewaan hingga guru yang
memindahkannya, kepala sekolah serta orang tuanya meminta tolong padaku secara
pribadi aku benar-benar sedikit membedakannya dari anak-anak yang lain.
Aku tak memaksanya untuk membaca. Tak
memaksanya pula untuk cepat-cepat bisa menghitung atau menjumlahkan. Tapi dia
benar-benar pintar berhitung sayang, aku sempat tersenyum dan berkata dalam
hati bahwa dia benar-benar luar biasa. Dia mengalahkanku.
Semester selanjutnya, aku diberi
anak didik yang sama seperti dirinya. Bagiku dia tak begitu merepotkan, justru
anak-anak lain yang sering mengejeknya lah yang merepotkan. Mereka berdua tidak
manja dan menangis, tidak pernah menggelantung dipundakku saat aku sedang duduk
dan mengajari anak yang lain, tidak pernah meminta uang jajan meskipun ia lupa
membawanya, tidak pernah mengerecokiku makan disaat istirahat ataupun
menyalalahkan dan berkata ‘aku nakal’ bila tak menuruti kemauannya. Mereka lebih
polos dari anak seusianya. Senyumnya terasa sempurna, dan pelukan kecilnya
terasa hangat. Aku jatuh cinta pada mereka.
Aku jatuh cinta pada mereka bukan
karena keponakanku yang tiada memiliki kesamaan seperti mereka. Bukan karena
itu. Namun bila kau menjadikan itu salah satu penyebabnya, mungkin bisa jadi
iya ataupun tidak. Chaesar, aku tak benar-benar dekat dengannya bukan karena
rumahnya yang begitu jauh, bukan karena aku malu sebab dia berbeda, bukan pula
karena aku tak benar-benar ingin dekat dengannya. Kau pasti akan memahami itu
setelah aku menceritakannya kepadamu nanti.
Kau tahu, sesekali aku sering
berbelanja di warung ujung jalan, warung dimana anak-anak luar biasa seperti
mereka menjajankan uangnya. Menggantinya dengan mainan seribu rupiah, atau membeli
permen warna-warni meski pakaian putih abu-abu tersemat dibadan mereka. Kadang,
aku sering melihat betapa mereka tak benar-benar mengerti berapa uang yang
harus mereka keluarkan seperti keponakanku yang berusia tiga tahun. Dan aku
baru menyadarinya bahwa sosok ‘bocah kecil’ yang terperangkap didalam badan
besar itulah yang pantas mendeskripsikan mereka.
Dan aku merancang mimpi paling
besarku.
Terkutuklah aku yang tak
menjadikan mimpi menaik hajikan orang tuaku sebagai mimpi terbesarku.
Terhinalah aku yang tak menjadikan
kedua orang tuaku hal utama dalam hidupku.
Tapi ayolah, sebelum aku
memimpikan mereka aku pasti sudah tahu bahwa aku akan melakukan hal terbaik dan
berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakan mereka sayang. Pun membahagiakanmu
dan anak kita kelak.
Lalu kau tahu aku merancang mimpi
seperti apa?
Aku memimpikan rumah baca untuk
mereka. Bukan, bukan, namun sekolah luar biasa yang menampung anak-anak seperti
mereka tanpa biaya sepeserpun. Yakinku, orang-orang yang tidak mampulah yang
pastinya lebih banyak memiliki anak-anak anugerah seperti mereka.
Kau tentu
tahu bukan bahwa biaya menyekolahkan mereka selangit?
Apa daya bagi orang tua
yang hanya memiliki pekerjaan hanya untuk melanjutkan hidup?
Ya, tentu saja aku membutuhkan donator.
Itu sudah pasti. Maka dari itu saat ini aku mungkin akan lebih berbaik hati
dengan orang-orang yang kukenal. Aku tak lagi memblokir teman SMP ku karena dia
begitu berisik mengirimiku inbox, aku tidak lagi asal memblokir orang yang tak
kukenal padahal mereka hanya mengucapkan salam, aku tak lagi bersikap angkuh
pada orang-orang yang lebih ingin mendekatkan diri padaku. Ya, barangkali kelak
mereka sukses dan aku membutuhkan pertolongannya kan? namun kau jangan salah
kira, aku bukan perempuan genit atau murahan yang akan membalas chat laki-laki.
Ayolah, aku tak benar-benar punya waktu untuk meng-genitkan diri asal kau tahu.
Keinginanku untuk tak mau berkenalan dengan orang luar yang tak ku ketahui
identitasnya dengan jelas masih menjadi salah satu bagian dari prinsipku. Barangkali
kau akan sering mendengar kata ‘sombong’ untukku yang keluar dari mulut mereka.
Maka tentu kita harus sukses
sayang, bagaimana caraku menarik minat mereka? Oh ayolah, aku mantan anak
organisasi dan aku calon lulusan sarjana psikologi. Soal bujuk-membujuk adalah
keandalanku. Tapi bila kau benar-benar ingin tahu, aku akan membocorkan satu
cara…
Mungkin kau memiliki adik yang
kelak akan menikah, saudara atau pun kerabat dekat. Kalau perlu aku akan
merusak acara mereka dengan mengumumkan SLB gratisku agar mereka tertarik untuk
beramal. Ah tidak, tentu saja bukan begitu maksudku. Aku tak benar-benar akan
meminta mereka untuk menyumbangkan sejumlah uang kedalam rekeningku, namun
pastilah aku akan meminta mereka untuk datang kesekolah tersebut. Entah menyumbang
buku bekas yang mereka punya ataupun tenaga dan waktu untuk barang sekedar
memeluk anak-anak didikku kelak disana.
Percayalah sayang, pelukan kecil yang
hangat dari orang-orang asing yang tak mereka kenal adalah salah satu sumber
kebahagiaan untuk mereka. Rasa kasih yang para donator berikan untuk menatap
wajah-wajah lugu mereka adalah salah satu anugerah untuk hidup mereka.
Bila kamu tak menyukai anak kecil
tak masalah buatku. Akan ku pastikan kamu mencintai mereka. Mungkin aku akan
meminta maaf kepadamu bila sesekali mereka menjambak rambutmu, memukul perutmu
atau meneteskan air liur dibajumu. Percayalah, mereka tak benar-benar ingin
melakukannya. Maafkan bila sesekali mereka akan mengajakmu berbicara dengan
riang dengan suara yang tak jelas, maafkan bila mereka akan menyuruhmu menari
atau menyanyi berulang-ulang kali dan maafkanlah bila sesekali mereka akan
mengataimu dan menghardikmu dengan keras.
Percaya padaku, mereka tak
benar-benar mengerti apa yang sudah mereka lakukan terhadapmu.
Ah, rasanya sudah begitu panjang
surat yang ku buat. Aku masih ingin berceritamu tentang banyak hal, namun
tulisan ini sudah begitu benar benar dan benar panjang. Jadi akan kusambung lain
kali ceritaku selanjutnya ya…
ILY
Calon Istrimu Yang Cantik