Pagi itu panas
cukup terik, saya dan teman saya memutuskan untuk mengajar di salah satu
sekolah luar biasa yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah. SLB C, saya memutuskan
untuk mengajar di SMP khusus untuk anak-anak penyandang tuna grahita. Seminggu
telah berlalu, saya tetap ingat wajah-wajah yang menatap penasaran kearah kami
berdua, tanpa tahu bahwa kami akan mengajar di kelas mana, mereka mencium
tangan kami dengan senyum yang lebar. Saya ingat ‘koala mungil’ yang tiba-tiba datang kearah saya dan memeluk saya
dengan erat, saya tertawa dan memeluknya kembali, ia mengalungkan kakinya dan
mendongakan kepalanya, gigi taringnya muncul dari deretan gigi yang tak
tersusun rapih. Saya tertawa, aneh, namun merasa begitu disambut.
Saat itu beberapa
laki-laki dan perempuan yang memakai seragam SMP dan SMA berhambur kearah saya,
dengan bahasa yang terkadang sulit di pahami dan intonasi suara yang terdengar
kikuk mereka bertanya kelas mana yang akan saya ajar. SLB yang saya datangi
terdiri dari TK hingga SMA, sekolah tersebut hanya menerima anak-anak tuna
grahita, autism dan tuna rungu. Kelas yang saya tempati cukup besar untuk 10
orang siswa yang seringkali tidak lengkap setiap harinya, meski hanya disekat dengan
sebuah papan kayu dan lemari besi besar untuk kelas SMA mereka tidak
mempermasalahkan apa yang mereka dapat saat ini.
Pertama kali
saya datiag, saya berbincang dengan seorang ibu muda yang memiliki anak penyandang
tuna grahita berusia `10 tahun. Sekolah tersebut masuk pukul 8, namun sang ibu
berkata bahwa ia sudah ada disana pukul setengah 7. Ketika adzan subuh
berkumandang, sang anak meminta untuk segera mandi dan berangkat bersekolah. Saya
tersenyum dalam hati, ah, betapa mereka begitu berbeda dengan anak kebanyakan.
Mungkin, bagi
anak-anak luar biasa sekolah adalah tempat dimana mereka bisa bermain dan
mendapatkan teman. Tempat dimana mereka tidak diharuskan di kurung didalam
sangkar karena sang ibu atau ayah yang barangkali tidak mengizinkannya keluar
rumah, tempat dimana mereka merasa dibutuhkan dan mengerti berbagai macam hal yang
tidak ketahui.
Beberapa kali
saya berbincang dengan wali murid kelas saya mengajar, beberapa diantaranya
sempat tinggal di sekolah negeri atau sekolah biasa lainnya. Dengan jelas,
mereka mendapat pembullyan dari teman-teman sebayanya. Amarah dan emosi saya
meluap ketika mendengar cerita tersebut, betapa mengerikannya kami, yang
seringkali dianggap benar dan dianggap paling normal.
Ada seorang siswi
cantik yang saya ajak bicara saat itu,
dia bercerita bahwa dirinya sempat sekolah di SMP negeri. Dia memang paling
bisa diandalkan ketika saya kesulitan mencari informasi dan bertanya. Kali itu
saya bertanya tentang dirinya, bagaimana perbandingan dengan sekolah yang dulu
dia tempati dan sekolah ini.
“Saya nggak
ditemenin disana Bu, suka suka di kunciin didalam kelas. Kalau ada tugas
kelompok nggak ada yang mau sama saya.”
Saya menatapnya,
ada air mata yang dia tahan saat itu. Saya mengusap punuk kepalanya lembut.
“Gapapah. Orang
hebat dilahirkan dengan cara yang berbeda.” Dan kali itu dia tersenyum sembari
mengusap matanya yang mulai membasah. Hanya kata itu yang saya bisa ucapkan. Kali
itu, saya merasa begitu berdosa, barangkali saya pernah menyakiti orang lemah
seperti ini. Dengan mengabaikan mereka yang dikucilkan saat dulu.
Saya tidak tahu
bagaimana mendeskripsikan betapa air mata saya seringkali ingin tumpah ketika
mendengar cerita dari anak-anak luar biasa seperti ini. Kasus yang sama terjadi
kepada siswa laki-laki, dia pemalu dan seringkali menutupi wajahnya dengan
kedua tangannya. Saat istirahat, hanya dirinya yang tersisa didalam kelas. Saya
bertanya dengan perlahan, mengapa dia tidak keluar, membeli sekotak mainan atau
sebungkus makanan dan bermain dengan teman-teman.
“Malu”
Ah. Saya
mendapat kasus lagi. Begitu otak memproses jawabannya.
Saya bertanya
apakah dia tidak membawa uang jajan? Dan ia mengangguk. Saya bertanya kembali
apakah ia ingin membeli jajanan? Ia menggeleng. Ia malu, dan saya mulai mencoba
mendekatinya untuk tahu apa yang terjadi.
Selang beberapa
waktu seorang perempuan paruh baya tiba ketika saya sibuk berbicara dengannya,
ia tersenyum hangat dan mengenalkan diri. Ibu dari laki-laki pemalu ini membawa
sebotol air dan seporsi makanan yang diwadahi plastik.
“Dia malu Bu,
kalau saya kasih uang jajan pun nggak dijajanin. Malu katanya.”
Saya bertanya,
apa yang membuatnya malu.
Sang ibu
bercerita bahwa dirinya saat SD dahulu seringkali di letakkan dikelas karena
tidak bisa memahami pelajaran oleh sang guru. Akibatnya ia dikenal sebagai
murid yang bodoh. Ada seorang guru yang begitu tidak menyukainya karena bebal
dalam belajar tanpa tahu penyebab yang terjadi.
“Pernah bajunya
basah, diguyur pakai air pel lan sama temannya. Waktu itu juga pernah pulang
telat, saya cariin terus saya tanya kenapa, katanya dikunciin dikamar mandi.”
“Bagaimana
dengan gurunya Bu? Sudah dapat penjelasan?”
“Saya samperin
ke sekolah Bu, kata gurunya namanya juga anak-anak. Tapi saya sakit hati, nggak
ada sangsi yang dikasih sama gurunya, gimanapun juga itu kan udah jahat Bu.”
Saya mendengar
dengan telinga yang berdenging, membayangkan pengalaman buruk yang ia dapatkan
membuat saya marah. Betapa kejamnya anak-anak yang begitu saya sukai.
“Kalau dirumah
bawelnya minta ampun Bu, tapi kalau udah keluar rumah merengut. Dia nggak mau
keluar main, malu katanya.”
Saat itu, saya
tahu bahwa anak-anak yang dilahirkan berbeda mengalami pengalaman yang berbeda
dengan anak kebanyakan. Mengapa mereka diperlakukan seperti itu? Apa kesalahan
mereka? Setiap manusia tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan seperti apa. Mengapa
orang yang membanggakan dirinya ‘waras’ dan terlahir dengan fisik sempurna begitu
tak tahu malunya merendahkan mereka yang kesulitan?