Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Senin, 24 September 2018

When I Was Born Same As The Others



Pagi itu panas cukup terik, saya dan teman saya memutuskan untuk mengajar di salah satu sekolah luar biasa yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah. SLB C, saya memutuskan untuk mengajar di SMP khusus untuk anak-anak penyandang tuna grahita. Seminggu telah berlalu, saya tetap ingat wajah-wajah yang menatap penasaran kearah kami berdua, tanpa tahu bahwa kami akan mengajar di kelas mana, mereka mencium tangan kami dengan senyum yang lebar. Saya ingat ‘koala mungil’ yang tiba-tiba datang kearah saya dan memeluk saya dengan erat, saya tertawa dan memeluknya kembali, ia mengalungkan kakinya dan mendongakan kepalanya, gigi taringnya muncul dari deretan gigi yang tak tersusun rapih. Saya tertawa, aneh, namun merasa begitu disambut.

Saat itu beberapa laki-laki dan perempuan yang memakai seragam SMP dan SMA berhambur kearah saya, dengan bahasa yang terkadang sulit di pahami dan intonasi suara yang terdengar kikuk mereka bertanya kelas mana yang akan saya ajar. SLB yang saya datangi terdiri dari TK hingga SMA, sekolah tersebut hanya menerima anak-anak tuna grahita, autism dan tuna rungu. Kelas yang saya tempati cukup besar untuk 10 orang siswa yang seringkali tidak lengkap setiap harinya, meski hanya disekat dengan sebuah papan kayu dan lemari besi besar untuk kelas SMA mereka tidak mempermasalahkan apa yang mereka dapat saat ini.
Pertama kali saya datiag, saya berbincang dengan seorang ibu muda yang memiliki anak penyandang tuna grahita berusia `10 tahun. Sekolah tersebut masuk pukul 8, namun sang ibu berkata bahwa ia sudah ada disana pukul setengah 7. Ketika adzan subuh berkumandang, sang anak meminta untuk segera mandi dan berangkat bersekolah. Saya tersenyum dalam hati, ah, betapa mereka begitu berbeda dengan anak kebanyakan.

Mungkin, bagi anak-anak luar biasa sekolah adalah tempat dimana mereka bisa bermain dan mendapatkan teman. Tempat dimana mereka tidak diharuskan di kurung didalam sangkar karena sang ibu atau ayah yang barangkali tidak mengizinkannya keluar rumah, tempat dimana mereka merasa dibutuhkan dan mengerti berbagai macam hal yang  tidak ketahui.
Beberapa kali saya berbincang dengan wali murid kelas saya mengajar, beberapa diantaranya sempat tinggal di sekolah negeri atau sekolah biasa lainnya. Dengan jelas, mereka mendapat pembullyan dari teman-teman sebayanya. Amarah dan emosi saya meluap ketika mendengar cerita tersebut, betapa mengerikannya kami, yang seringkali dianggap benar dan dianggap paling normal.
Ada seorang siswi  cantik yang saya ajak bicara saat itu, dia bercerita bahwa dirinya sempat sekolah di SMP negeri. Dia memang paling bisa diandalkan ketika saya kesulitan mencari informasi dan bertanya. Kali itu saya bertanya tentang dirinya, bagaimana perbandingan dengan sekolah yang dulu dia tempati dan sekolah ini. 

“Saya nggak ditemenin disana Bu, suka suka di kunciin didalam kelas. Kalau ada tugas kelompok nggak ada yang mau sama saya.”

Saya menatapnya, ada air mata yang dia tahan saat itu. Saya mengusap punuk kepalanya lembut.

“Gapapah. Orang hebat dilahirkan dengan cara yang berbeda.” Dan kali itu dia tersenyum sembari mengusap matanya yang mulai membasah. Hanya kata itu yang saya bisa ucapkan. Kali itu, saya merasa begitu berdosa, barangkali saya pernah menyakiti orang lemah seperti ini. Dengan mengabaikan mereka yang dikucilkan saat dulu.
Saya tidak tahu bagaimana mendeskripsikan betapa air mata saya seringkali ingin tumpah ketika mendengar cerita dari anak-anak luar biasa seperti ini. Kasus yang sama terjadi kepada siswa laki-laki, dia pemalu dan seringkali menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Saat istirahat, hanya dirinya yang tersisa didalam kelas. Saya bertanya dengan perlahan, mengapa dia tidak keluar, membeli sekotak mainan atau sebungkus makanan dan bermain dengan teman-teman.

“Malu”
Ah. Saya mendapat kasus lagi. Begitu otak memproses jawabannya.

Saya bertanya apakah dia tidak membawa uang jajan? Dan ia mengangguk. Saya bertanya kembali apakah ia ingin membeli jajanan? Ia menggeleng. Ia malu, dan saya mulai mencoba mendekatinya untuk tahu apa yang terjadi.
Selang beberapa waktu seorang perempuan paruh baya tiba ketika saya sibuk berbicara dengannya, ia tersenyum hangat dan mengenalkan diri. Ibu dari laki-laki pemalu ini membawa sebotol air dan seporsi makanan yang diwadahi plastik.

“Dia malu Bu, kalau saya kasih uang jajan pun nggak dijajanin. Malu katanya.”
Saya bertanya, apa yang membuatnya malu.
Sang ibu bercerita bahwa dirinya saat SD dahulu seringkali di letakkan dikelas karena tidak bisa memahami pelajaran oleh sang guru. Akibatnya ia dikenal sebagai murid yang bodoh. Ada seorang guru yang begitu tidak menyukainya karena bebal dalam belajar tanpa tahu penyebab yang terjadi.

“Pernah bajunya basah, diguyur pakai air pel lan sama temannya. Waktu itu juga pernah pulang telat, saya cariin terus saya tanya kenapa, katanya dikunciin dikamar mandi.”

“Bagaimana dengan gurunya Bu? Sudah dapat penjelasan?”

“Saya samperin ke sekolah Bu, kata gurunya namanya juga anak-anak. Tapi saya sakit hati, nggak ada sangsi yang dikasih sama gurunya, gimanapun juga itu kan udah jahat Bu.”

Saya mendengar dengan telinga yang berdenging, membayangkan pengalaman buruk yang ia dapatkan membuat saya marah. Betapa kejamnya anak-anak yang begitu saya sukai.

“Kalau dirumah bawelnya minta ampun Bu, tapi kalau udah keluar rumah merengut. Dia nggak mau keluar main, malu katanya.”

Saat itu, saya tahu bahwa anak-anak yang dilahirkan berbeda mengalami pengalaman yang berbeda dengan anak kebanyakan. Mengapa mereka diperlakukan seperti itu? Apa kesalahan mereka? Setiap manusia tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan seperti apa. Mengapa orang yang membanggakan dirinya ‘waras’ dan terlahir dengan fisik sempurna begitu tak tahu malunya merendahkan mereka yang kesulitan?