Hari
itu hujan turun lebat, saya keluar dari kampus dengan gerutuan sebal.
Beruntungnya ketika jaket rajut berwarna putih gading sempat saya tinggalkan di
dalam ransel.
Sore
itu, saya mendapatkan angkutan umum yang tidak begitu padat. Duduk di kursi
yang menempel dengan kaca, ear phone yang terpasang di telinga dan bau tanah
menyerembet ke indra penciuman, lengkap menghukum saya seketika.
Hari
itu ada banyak masalah yang terjadi. Saya terlambat bangun, lupa mengisi saldo
kartu multitrip, kereta yang terlambat hingga setengah jam, masalah
administrasi yang membuat saya harus mengantri demi membutuhkan ‘satu klik’
dari mba-mba penjaga TU dan deretan masalah yang membuat hembusan nafas kesal
berkali-kali keluar.
Ketika
pulang, saya terbiasa melihat jadwal KRL, menyadari bahwa kereta baru saja
berangkat, ada waktu satu jam lebih untuk menunggunya kembali. Saya memutuskan
untuk mencari angkutan umum, dengan payung yang baru di beli ibu minggu lalu.
Sore itu, seperti biasa, kemacetan terjadi begitu panjang. Entah dorongan
darimana saya memutuskan untuk berhenti di satu persimpangan jalan, ada salah
satu kedai yang ingin saya coba, dan membutuhkan waktu cukup lama untuk
memutuskan masuk kedalamnya.
Ketika
masuk kedalam kedai tersebut, air
conditioner dengan wangi sirup vanilla menyambut saya, lengkap dengan bunyi
dencing lonceng yang tergantung di handel pintu. Semua pelayan serempak menoleh
dan mengucapkan ‘Selamat Datang’. Kali itu saya cukup kaget dan berseru girang
di dalam hati. Kedai ini, persis seperti khayalan yang saya sukai. Ada banyak
lampu gantung, berbagai poster kayu di dinding, meja bar bergranit, dan alat
penggiling kopi yang menarik. Kedai ini, seperti kedai-kedai yang seringkali
muncul di pencarian google. Not old-fashioned, charming and soothing.
Ah,
saya harus menghabiskan uang bulanan untuk hari ini.
Pie
susu almond menemani saya menghabiskan secangkir kopi pahit, dengan satu strip
gula yang tidak berpengaruh sedikitpun.
Malam
itu, saya menghabiskan banyak waktu untuk menangis, mata saya sembab dan waktu
seolah begitu cepat berlalu sehingga saya begitu terburu-buru membiasakan diri
dengan masalah yang baru saja terjadi. Hari itu, saya tidak bercerita dengan
siapapun. Ada banyak ketakutan yang menghampiri saya, dan kejadian-kejadian
buruk dimasa lalu membuat saya merasa semakin sulit untuk menenangkan diri.
Saya
tahu, hari itu saya bisa berdamai dan baik-baik saja. Namun, ketika memutuskan
bercerita kepada orang lain, saya kembali menjadi begitu memuakkan dan melepas
semua amarah kepada orang-orang yang tidak terlibat sedikitpun. Setelah
memalukan diri sendiri, lagi, saya menghabiskan banyak waktu untuk memakan
makanan manis, meminum apapun yang saya sukai, dan membaca buku-buku yang sudah
di baca berulang kali demi menghindari rasa bersalah.
Hari
itu, apa yang saya pikirkan? Mengapa saya bisa meredam segalanya dengan
baik?
Saya
mungkin hanya berpikir bahwa semua orang memiliki masalah yang lebih berat.
Pasangan di ujung sana mungkin baru saja bertengkar karena salah satunya
berselingkuh, laki-laki paruh baya yang baru saja mengelap meja mungkin baru
bekerja di kedai ini karena kasus PHK, perempuan berambut ikal yang bersender
pada salah satu kaca jendela mungkin baru saja patah hati karena tahu bahwa
orang yang dicintainya bersama orang lain. Saya membuat banyak pengandaian,
sehingga saya tidak merasa terlalu buruk karenanya.
Saya
mengingat dengan jelas hari itu, tentang bayangan perempuan yang belum siap
menggunakan seragam putih biru dengan lelehan tangis karena tersudut di salah
satu dinding dengan orang-orang yang mengerumuninya dan mengutuknya, kata
sumpah serapah, pukulan di pipi dan kepala oleh laki-laki yang lebih tinggi dan
besar, cengkeraman di kerah baju oleh perempuan yang saya anggap ‘teman baru’
dan hukuman yang saya dapat karena ‘seorang teman’ mengambil topi merah setiap
kali saya membelinya.
Pada
beberapa kesempatan, saya pikir, itu cukup sepele. Mengapa ibu memasukkan
kesekolah yang begitu saya benci, mengapa kakak mendukung penuh saya memilih
jurusan, mengapa ayah marah ketika laki-laki datang kerumah. Saya pikir mereka
memiliki alasan sendiri, alasan biasa seperti bagaimana ibu menginginkan anak
gadisnya lebih kuat, kakak yang berharap adiknya tumbuh menjadi orang baik dan
ayah yang tidak ingin kehilangan putri kecilnya.
Tapi
saya pendendam. Saya masih mengingat kejadiannya dengan jelas, saya bahkan bisa
bercerita kata-kata apa dari orang-orang yang menonton saya ketika
dipermalukan. Juga tentang perempuan yang mencegat saya ketika ingin pulang,
tentang segerombolan laki-laki yang menarik lengan saya, tentang kata-kata
buruk yang mengubah saya menjadi lebih tidak perduli, dan tentang betapa saya
terlihat begitu bodoh dan rendah dimata ‘sahabat’ yang saya punya.
Lalu
kalau sudah seperti itu, mengapa saya tidak berubah menjadi apa yang mereka
inginkan?
“Mba,
karena hari ini Jum’at. Ada brownies gratis untung pelanggan kami.”
Ah
sudahlah, biar saja orang-orang tumpahkan kopi panas itu dimanapun mereka
inginkan. Saya masih memiliki sepotong kue manis di kantung, tak apa, segigitpun
cukup menghilangkan pahitnya. Pada faktanya, saya tidak pernah bisa
melupakannya, saya hanya cukup menyimpannya, dan tidak membiarkan seseorang pun
mampu membukanya kembali.