Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Rabu, 22 Agustus 2018

Sepotong Brownies


Hari itu hujan turun lebat, saya keluar dari kampus dengan gerutuan sebal. Beruntungnya ketika jaket rajut berwarna putih gading sempat saya tinggalkan di dalam ransel.


Sore itu, saya mendapatkan angkutan umum yang tidak begitu padat. Duduk di kursi yang menempel dengan kaca, ear phone yang terpasang di telinga dan bau tanah menyerembet ke indra penciuman, lengkap menghukum saya seketika.

Hari itu ada banyak masalah yang terjadi. Saya terlambat bangun, lupa mengisi saldo kartu multitrip, kereta yang terlambat hingga setengah jam, masalah administrasi yang membuat saya harus mengantri demi membutuhkan ‘satu klik’ dari mba-mba penjaga TU dan deretan masalah yang membuat hembusan nafas kesal berkali-kali keluar.

Ketika pulang, saya terbiasa melihat jadwal KRL, menyadari bahwa kereta baru saja berangkat, ada waktu satu jam lebih untuk menunggunya kembali. Saya memutuskan untuk mencari angkutan umum, dengan payung yang baru di beli ibu minggu lalu. Sore itu, seperti biasa, kemacetan terjadi begitu panjang. Entah dorongan darimana saya memutuskan untuk berhenti di satu persimpangan jalan, ada salah satu kedai yang ingin saya coba, dan membutuhkan waktu cukup lama untuk memutuskan masuk kedalamnya.

Ketika masuk kedalam kedai tersebut, air conditioner dengan wangi sirup vanilla menyambut saya, lengkap dengan bunyi dencing lonceng yang tergantung di handel pintu. Semua pelayan serempak menoleh dan mengucapkan ‘Selamat Datang’. Kali itu saya cukup kaget dan berseru girang di dalam hati. Kedai ini, persis seperti khayalan yang saya sukai. Ada banyak lampu gantung, berbagai poster kayu di dinding, meja bar bergranit, dan alat penggiling kopi yang menarik. Kedai ini, seperti kedai-kedai yang seringkali muncul di pencarian google. Not old-fashioned, charming and soothing.


Ah, saya harus menghabiskan uang bulanan untuk hari ini.

Pie susu almond menemani saya menghabiskan secangkir kopi pahit, dengan satu strip gula yang tidak berpengaruh sedikitpun.




Malam itu, saya menghabiskan banyak waktu untuk menangis, mata saya sembab dan waktu seolah begitu cepat berlalu sehingga saya begitu terburu-buru membiasakan diri dengan masalah yang baru saja terjadi. Hari itu, saya tidak bercerita dengan siapapun. Ada banyak ketakutan yang menghampiri saya, dan kejadian-kejadian buruk dimasa lalu membuat saya merasa semakin sulit untuk menenangkan diri.

Saya tahu, hari itu saya bisa berdamai dan baik-baik saja. Namun, ketika memutuskan bercerita kepada orang lain, saya kembali menjadi begitu memuakkan dan melepas semua amarah kepada orang-orang yang tidak terlibat sedikitpun. Setelah memalukan diri sendiri, lagi, saya menghabiskan banyak waktu untuk memakan makanan manis, meminum apapun yang saya sukai, dan membaca buku-buku yang sudah di baca berulang kali demi menghindari rasa bersalah.

Hari itu, apa yang saya pikirkan? Mengapa saya bisa meredam segalanya dengan baik? 

Saya mungkin hanya berpikir bahwa semua orang memiliki masalah yang lebih berat. Pasangan di ujung sana mungkin baru saja bertengkar karena salah satunya berselingkuh, laki-laki paruh baya yang baru saja mengelap meja mungkin baru bekerja di kedai ini karena kasus PHK, perempuan berambut ikal yang bersender pada salah satu kaca jendela mungkin baru saja patah hati karena tahu bahwa orang yang dicintainya bersama orang lain. Saya membuat banyak pengandaian, sehingga saya tidak merasa terlalu buruk karenanya.

Saya mengingat dengan jelas hari itu, tentang bayangan perempuan yang belum siap menggunakan seragam putih biru dengan lelehan tangis karena tersudut di salah satu dinding dengan orang-orang yang mengerumuninya dan mengutuknya, kata sumpah serapah, pukulan di pipi dan kepala oleh laki-laki yang lebih tinggi dan besar, cengkeraman di kerah baju oleh perempuan yang saya anggap ‘teman baru’ dan hukuman yang saya dapat karena ‘seorang teman’ mengambil topi merah setiap kali saya membelinya.

Pada beberapa kesempatan, saya pikir, itu cukup sepele. Mengapa ibu memasukkan kesekolah yang begitu saya benci, mengapa kakak mendukung penuh saya memilih jurusan, mengapa ayah marah ketika laki-laki datang kerumah. Saya pikir mereka memiliki alasan sendiri, alasan biasa seperti bagaimana ibu menginginkan anak gadisnya lebih kuat, kakak yang berharap adiknya tumbuh menjadi orang baik dan ayah yang tidak ingin kehilangan putri kecilnya.

Tapi saya pendendam. Saya masih mengingat kejadiannya dengan jelas, saya bahkan bisa bercerita kata-kata apa dari orang-orang yang menonton saya ketika dipermalukan. Juga tentang perempuan yang mencegat saya ketika ingin pulang, tentang segerombolan laki-laki yang menarik lengan saya, tentang kata-kata buruk yang mengubah saya menjadi lebih tidak perduli, dan tentang betapa saya terlihat begitu bodoh dan rendah dimata ‘sahabat’ yang saya punya.

Lalu kalau sudah seperti itu, mengapa saya tidak berubah menjadi apa yang mereka inginkan?

“Mba, karena hari ini Jum’at. Ada brownies gratis untung pelanggan kami.”


Ah sudahlah, biar saja orang-orang tumpahkan kopi panas itu dimanapun mereka inginkan. Saya masih memiliki sepotong kue manis di kantung, tak apa, segigitpun cukup menghilangkan pahitnya. Pada faktanya, saya tidak pernah bisa melupakannya, saya hanya cukup menyimpannya, dan tidak membiarkan seseorang pun mampu membukanya kembali.