Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Kamis, 09 Juli 2015

Just He. Just She.


Aku sibuk membuka buku novelku. Seolah-olah membiarkan laki-laki dihadapanku ini sibuk menyendiri dalam kegalauannya. Asap rokok tercium lewat indera penciumanku, aku beralih fokus pada laki-laki yang sibuk menyesap rokoknya.

"Sejak kapan lo ngerokok lagi?"

"Alya balik sama Fadil." Dia menatap lattenya dengan nanar. Aku mendesah pelan.

"Gue gak suka lo ngerokok di depan gue. Kalo mau mati jangan ngajak-ngajak!"

"Kira-kira dia bakal balik ke gue lagi gak ya Sha?" Dia menatapku penuh harap, berharap bahwa aku akan mengganggukan kepala seperti yang sudah-sudah. Damar perokok. Dan aku tahu, perempuan yang bisa berhenti membuatnya merokok hanya satu. Alya.

"Dia bahkan gak pernah ngehubungin gue lagi. Dia nge-remove contact person gue di bbm. Sebenernya yang sakit disini siapa sih? Lucu ya." Tawanya terdengar hambar.

Aku tak pernah tahu apa ada lagi wanita setolol Alya yang lebih memilih laki-laki brengsek macam Fadil dan menyia-nyiakan pria sesetia Damar. Atau justru aku tak habis fikir, mengapa laki-laki bodoh ini tetap memperjuangkan cintanya. Cinta yang membuat dia susah payah harus terguyur hujan hanya karena mendengar perempuan itu sakit. Cinta yang mengatas namakan tak pernah hilang harapan. Cinta bodoh yang begitu aku benci dengan amat teramat sangat hingga kini.

"Gue tahu semua emang salah gue. Harusnya gue bisa se-kaya Fadil. Harusnya gue bisa jadi mahasiswa PTN. Gue bego. Dan gue tahu Alya gak suka cowok bego macam gue." Dia tersenyum nanar.

Aku tak bersuara seperti yang sudah-sudah. Tak memberinya usapan kecil di kepalanya lagi. Aku membiarkan laki-laki yang biasanya tak banyak bicara sibuk menjelek-jelekan dirinya. Aku tak tahu lagi, usaha apa lagi yang mampu membuatnya sadar. Bahwa Alya bukan pintu yang seharusnya ia ketuk. Bukan tempat yang dijadikannya akhir dari tujuan.

"Gue emang gak pernah pantes buat dia ya Sha?" Kali ini tawanya terdengar begitu menyakitkan.

Aku tahu hatinya sedang menangis. Aku membiarkan dia kembali berpura-pura bahagia. Membiarkan dia menyesali keputusan-keputusan yang dia buat untuk tetap memperjuangkan cintanya.

"Please. Matiin rokok lo. Atau gue balik duluan, dan ninggalin lo disini sendirian!" Dia tidak mengalihkan fokus matanya ke arahku, seolah-olah latte yang ada di hadapannya lebih berharga dari wanita yang selalu menyembuhkan luka hatinya dengan susah payah. Damar mematikan rokoknya.

"Lo punya permen mint?" Aku merogoh tasku, lalu hanya menemukan permen-permen coklat kesukaanku.

"Gue punyanya ini." Dia tersenyum kecil. Lalu mengambil permen dari tanganku dan memakannya.

"Lo gak pernah berubah ya. Masih jadi penggila cokelat."

"Menurut para psikologi. Wanita yang menyukai cokelat cenderung bersikap hangat, ramah dan tulus."

"Kayanya itu riset salah. Buktinya lo enggak."

Aku menatapnya sinis. Sementara dia tergelak. Perlahan tawanya mereda. Hening yang panjang.

"Sha."

"Hem?"

"Apa yang harus gue lakuin lagi buat Alya supaya dia bisa balik sama gue?" Aku menatap mata elangnya. Pertanyaan puluhan kali yang sudah sering ku jawab dengan begitu naif.

"Lo gak bisa berenti buat suka sama dia? Dia udah nyakitin lo Mar."

"Gue yang mau sakit karena dia Sha. Dia gak pernah bikin gue sakit. Justru... dia yang ngebuat gue sembuh dari segala macam kebodohan di otak gue." Aku mendesah pelan. Bahuku merosot.

"Mana yang lebih lo pilih? Mencintai mereka yang mencintai orang lain atau mereka yang dicintai orang lain?"

"Gue milih mencintai, lalu berujung dicintai."

"Gimana kalo lo jadi orang yang mencintai dan gak dicintai? Lo bakal sakit, ngerengek-rengek sama Tuhan supaya dia cinta sama lo. Tapi waktu Tuhan bilang dia gak bakal cinta sama lo, apa iya lo masih mau mencintai dia? Apa lo gak bisa belajar mencintai orang lain? Apa satu-satunya perempuan di dunia ini cuman Alya yang bisa dan sanggup ngelengkapin lo?"

"Just she, Sha. Just she." Ia meratap. Aku menggeleng kuat.

"Bukan dia. Gue yakin." sahutku dengan semangat.

"Terus siapa?" Pertanyaannya menohok balik hati ku.

Aku Mar. Mungkin aku orangnya.

"Lo bisa belajar buat jatuh cinta sama orang lain Mar. Di antara milyaran manusia, gue yakin bukan Alya yang ditakdirin buat ngelengkapin lo." Aku menatap matanya dengan hangat. Berharap bahwa benteng dingin dibalik hatinya melunak.

Tapi kami sudah bertahun-tahun bersama, aku mengerti dia daripada Alya. Aku menyayangi dia lebih dari Farah, Siska atau belasan wanita lain yang berkali-kali mencoba memikat hatinya. Damar lebih tampan dari Fadil. Damar lebih hebat dari Fadil. Damar lebih tulus dari Fadil.

Tapi hati Alya tidak pernah bergetar setiap kali tangannya di gandeng, setiap kali dahinya di kecup, setiap kali tubuhnya dipeluk. Tangan Damar, bukan tangan yang Alya harapkan mampu menautkan jemarinya hingga ujung waktu. Sosok Damar, bukan sosok yang membuat Alya mampu menangis. Tidak dengan Damar. Alya satu-satunya wanita yang dia harapkan kelak menjadi ibu dari anak-anaknya. Meskipun Alya miskin, bodoh dan penyakitan. Damar tetap menjadikan dia sebagai sosok satu-satunya yang paling sempurna di bandingkan dengan belasan wanita-wanita lain yang tergila-gila kepadanya.

Aku menengguk latte ku dengan pelan.

"Apa ada sakit yang lebih parah dibanding mencintai orang yang gak pernah mencintai balik Sha?"
Aku menatap matanya lembut.

Ada. Mencintai seseorang yang tidak pernah tahu bahwa kita mencintai orang tersebut. Hanya untuk tidak membiarkannya menjauh dari dunia kita. Aku meraba-raba hati ku sendiri, sudah kah luka ini pulih? Sudahkah aku bisa berhenti mencintainya? Bisakah aku membuka hati untuk orang lain? Karena hingga saat ini. Damar tak pernah mau membiarkan aku masuk, dia lebih memilih mengunci pintunya rapat-rapat. Dia menempatkanku di tempat yang tidak aku inginkan. Persahabatan.

"Gue gak tahu."

Kerongkongan ku terasa tercekat. Aku berpura-pura sibuk kembali membaca novel. Sementara dia mulai memakan permen ketiganya. Cinta ini tidak pernah berkesudah. Tapi melupakannya pun begitu susah.