Aku menaruh novel yang sudah ku baca ke-30 kali. Novel yang
terisi beberapa cerita, yang dengan kehebatannya terselip satu cerita mewakili
perasaanku. Sejak menjadi mahasiswi, aku tak bisa lagi dengan leluasa membeli
berbagai buku novel yang akan aku habiskan beberapa jam dalam satu hari. Aku
tidak bisa lagi, dengan seenak udelnya membiarkan tugas menumpuk karena
terlarut dari banyaknya novel yang tertumpuk.
Jika mengingat, usia tujuh belas ini. Aku ingin menangis
kencang-kencang. Betapa seharusnya aku tidak ingin sedewasa ini. Betapa tidak
seharusnya, aku harus selalu serius menghadapi masalah perkuliahan dan
pekerjaan. Memang, kuliah dan kerjaku adalah hal kecil yang terbilang sepele-
tapi andai saja yang mengkritik merasakan bagaimana sulitnya setiap hari terburu-buru
pulang.
Jika yang menghina- sadar betapa aku membenci pukul tiga
sore. Mungkin mereka akan lebih mengerti- tentang frustasinya seorang gadis
yang semakin lama semakin bawel didunia maya, tapi memilih diam memendam di
dunia nyata. Aku membenci semua. Membenci fakta, bahwa tak ada satupun yang mau
mendengarkan keluhku. Yang dengan kerendahan hatinya, menemaniku berceloteh
panjang lebar- tanpa menyudutkan apalagi menyalahkan. Dan memang benar, tidak
ada.
Tuhan tidak menyiapkan orang seperti itu, tapi Dia
menggantinya dengan sebuah benda yang tak akan mendumel bila saat emosi meraja,
aku menggebrak-gebrakkan tutsnya tanpa ampun. Tuhan mungkin meminta agar aku
bisa lebih dekat kepadaNya. Ya, mungkin. Sesederhana itu Dia membuatku hancur,
keliru dan akhirnya memandang sinis ke segala arah. Namun mampu mengubahnya
kembali ke 360 derajat. Aku yang katanya dewasa dan lebih pendiam.
Dalam waktu sesepele ini, dalam masa sebobrok ini. Aku
bahkan tak bisa menjelaskan betapa nikmatnya membagi mawar ke jalan, meliput
berita ke rumah pak Wali kota, berhunting ria- sambil bercekikik dengan
kakak-kakak kelas yang kelihatannya mampu mebuatku tergelak. Aku juga bahkan
tak merasa sedikit perubahan dalam hidup, aku tidak bisa mendetailkan bagaimana
rasanya berorasi, bagaimana hebatnya berdemo dan menempelkan puluhan
cerpen-puisi di sekitar mading.
Aku tidak menjadi aktifis. Aku seorang kupu-kupu. Bahkan
ketika dosen dengan seenaknya lupa jadwal kapan dia harus berhenti mengajar -aku lebih dulu berani mengunjuk
jari- dan berizin pulang lebih dulu. Aku tidak menghiraukan betapa nilai D akan
terpampang dengan jelas di IP ku nanti. Aku tidak perduli, betapa para dosen
mungkin akan membicarakanku, sebagai mahasiswi paling tak tahu malu. Aku,
benar-benar tidak perduli.
Dalam tumpukan buku-buku yang sudah ku beli dengan susah
payah, mengantri tiket-berdesakkan dengan para penumpang-menangis dipinggir
jalan karena takut tersesat. Aku memilih untuk membuat buku-buku tebal itu
tersudut didalam meja, seolah-olah kesusahan dalam memperolehnya ku jadikan
kebencian yang menggelegar. Aku tak akan pernah mau, dan rela membacanya di jam
kosongku. Aku tak pernah sudi, membiarkan buku itu mengisi kekosongan jam tidur
panjang-ku.
Dalam lampu baca- yang semakin meredup di kamar pengapku.
Aku merasakan benci yang semakin hari, semakin bertambah. Dan itu justru
membuatku semakin patah hati.
29 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar