Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Kamis, 26 Maret 2015

Pukul Tiga Sore.



Aku menaruh novel yang sudah ku baca ke-30 kali. Novel yang terisi beberapa cerita, yang dengan kehebatannya terselip satu cerita mewakili perasaanku. Sejak menjadi mahasiswi, aku tak bisa lagi dengan leluasa membeli berbagai buku novel yang akan aku habiskan beberapa jam dalam satu hari. Aku tidak bisa lagi, dengan seenak udelnya membiarkan tugas menumpuk karena terlarut dari banyaknya novel yang tertumpuk.

Jika mengingat, usia tujuh belas ini. Aku ingin menangis kencang-kencang. Betapa seharusnya aku tidak ingin sedewasa ini. Betapa tidak seharusnya, aku harus selalu serius menghadapi masalah perkuliahan dan pekerjaan. Memang, kuliah dan kerjaku adalah hal kecil yang terbilang sepele- tapi andai saja yang mengkritik merasakan bagaimana sulitnya setiap hari terburu-buru pulang.
Jika yang menghina- sadar betapa aku membenci pukul tiga sore. Mungkin mereka akan lebih mengerti- tentang frustasinya seorang gadis yang semakin lama semakin bawel didunia maya, tapi memilih diam memendam di dunia nyata. Aku membenci semua. Membenci fakta, bahwa tak ada satupun yang mau mendengarkan keluhku. Yang dengan kerendahan hatinya, menemaniku berceloteh panjang lebar- tanpa menyudutkan apalagi menyalahkan. Dan memang benar, tidak ada.

Tuhan tidak menyiapkan orang seperti itu, tapi Dia menggantinya dengan sebuah benda yang tak akan mendumel bila saat emosi meraja, aku menggebrak-gebrakkan tutsnya tanpa ampun. Tuhan mungkin meminta agar aku bisa lebih dekat kepadaNya. Ya, mungkin. Sesederhana itu Dia membuatku hancur, keliru dan akhirnya memandang sinis ke segala arah. Namun mampu mengubahnya kembali ke 360 derajat. Aku yang katanya dewasa dan lebih pendiam.
Dalam waktu sesepele ini, dalam masa sebobrok ini. Aku bahkan tak bisa menjelaskan betapa nikmatnya membagi mawar ke jalan, meliput berita ke rumah pak Wali kota, berhunting ria- sambil bercekikik dengan kakak-kakak kelas yang kelihatannya mampu mebuatku tergelak. Aku juga bahkan tak merasa sedikit perubahan dalam hidup, aku tidak bisa mendetailkan bagaimana rasanya berorasi, bagaimana hebatnya berdemo dan menempelkan puluhan cerpen-puisi di sekitar mading.
Aku tidak menjadi aktifis. Aku seorang kupu-kupu. Bahkan ketika dosen dengan seenaknya lupa jadwal kapan dia harus berhenti  mengajar -aku lebih dulu berani mengunjuk jari- dan berizin pulang lebih dulu. Aku tidak menghiraukan betapa nilai D akan terpampang dengan jelas di IP ku nanti. Aku tidak perduli, betapa para dosen mungkin akan membicarakanku, sebagai mahasiswi paling tak tahu malu. Aku, benar-benar tidak perduli.

Dalam tumpukan buku-buku yang sudah ku beli dengan susah payah, mengantri tiket-berdesakkan dengan para penumpang-menangis dipinggir jalan karena takut tersesat. Aku memilih untuk membuat buku-buku tebal itu tersudut didalam meja, seolah-olah kesusahan dalam memperolehnya ku jadikan kebencian yang menggelegar. Aku tak akan pernah mau, dan rela membacanya di jam kosongku. Aku tak pernah sudi, membiarkan buku itu mengisi kekosongan jam tidur panjang-ku.
Dalam lampu baca- yang semakin meredup di kamar pengapku. Aku merasakan benci yang semakin hari, semakin bertambah. Dan itu justru membuatku semakin patah hati.

 29 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar