Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Rabu, 02 September 2015

Aletha (Satu)

Aletha sibuk merapihkan berkas-berkas yang menumpuk dimeja redaksinya siang ini. Sesekali dia mengunyah permen karet mintnya yang sudah terasa hambar. Alih-alih AC yang terpasang tidak membuat keringatnya berhenti mengucur. Dia sudah sibuk sana-sini sedari tadi. Ada banyak artikel, psycho-test dan beberapa jurnal yang menunggunya untuk di edit. Dia mendesah pelan, kalau saja mba Meylan tidak mengambil cuti nikahnya saat ini dia pasti tidak akan harus seribet dan seabsurd ini.

"Ada yang bisa gue bantu Tha?"

Aletha tersenyum miris kemudian duduk kembali dibangku kerjanya.

"Lo bisa ngedit naskah novel yang kemarin pak Regar bilang gak?"

"Novel karya si penulis baru itu ya?"

Perempuan berbehel itu mengambil sebungkus permen karet mint milik Aletha yang teronggok diatas tumpukan kertasnya lalu mengunyahnya dengan pelan.

"Iya. Cuman sedikit doang kok salahnya. EYDnya masih sedikit berantakan, tapi selebihnya oke-oke aja."

"Bukannya gue gak mau Tha. Tapi lo tau sendiri kan, gue juga gak paham soal EYD EYD-an begitu. Mungkin gue bisa bantu lo selain ngedit naskah atau skript."

"Kerjaan gue kan emang begitu non. Ngedit ini ngedit itu. Kalo gak lo bantu gue buat ngeprint jurnal sama  artikel yang udah gue edit aja deh, gimana? Pak Roy gak mau soft copy soalnya."

"Okedeh sip. Mana sini flashdisknya?"

Aletha mengangsurkan flashdisk kemudian tersenyum.

"Thank's Jey."

"U're wellcome honey."

Perempuan berbehel yang memiliki nama Jessica itu pergi sementara Aletha maelanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Dia mulai mengetik kembali pekerjaannya yang membuat pundaknya sedikit kesakitan. Sepertinya dia akan meminta ibunya untuk memanggil tukang pijat langganannya dirumah nanti. Dan sepertinya juga- dia harus meminta sedikit kenaikan gaji karena harus kerja ekstra minggu ini.
Tanpa terasa bunyi bel berdering, tanda istirahat berlangsung. Aletha mendesah pelan, kemudian menggambil telephone kantor disisi kanannya. Sepertinya dia lebih memilih memesan makanan siap antar ketimbang harus turun kebawah- bergabung bersama teman-teman redaksinya untuk makan dikantin yang kayaknya akan menghabiskan waktu banyak. Dia gak mau kalau nanti tugasnya harus membuatnya bergadang hingga pagi seperti kemarin-kemarin. Oh No! Bahkan kalau dilihat-lihat penampilan Aletha saat ini hampir menyerupai mayat hidup. Rambut curly yang biasanya dibiarkan tergerai rapih atau dikuncir satu di biarkannya terjepit asal. Dua lingkaran hitam muncul disekitar kedua bola matanya, dan dia bahkan gak sempet mengoles lipstick dibibirnya. Meski seperti itu tetap saja, Aletha Kusuma Dewina adalah salah satu perempuan tercantik yang dipunyai Gomedia. Tanpa hiasan apapun atau make up dia tetap kelihatan seperti barbie berjalan. Bola matanya bulat dan memiliki bulu mata lentik panjang yang lebat. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Kalo kata Pak Fian, Aletha itu salah satu jelmaan putri Cleopatra. Soalnya siapapun yang melihat dirinya pasti sepakat kalau dia punya wajah Arab.

****

Laki-laki berkemeja putih itu berjalan tergesa-gesa. Bahkan dia memarkirkan mobil sport hitamnya ke sembarang arah. Setelah memasuki bandara Soekarno Hatta matanya mencari-cari seseorang yang sudah begitu ia nantikan kehadirannya. Diliriknya berkali-kali jam arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

"Abi!"

Laki-laki itu mencari sumber suara yang baru saja menyebut namanya. Senyumnya merekah setelah di dapatinya orang yang baru saja memanggilnya. Setelah jarak tidak lagi memisahkan, keduanya berpelukan erat. Seolah-olah pelukan itu mampu menghilangkan rindu diantara keduanya.

"Lo apa kabar bro?"

Laki-laki berkaca mata itu menepuk pundak Abi pelan.

"Gue baik. Lo yang apa kabar? Ausie gak akan ngubah lo jadi orang yang gak gue kenal kan?"

Keduanya terkekeh pelan. Laki-laki dihadapannya mulai menarik koper hitam besarnya.

"Gue yang justru takut kalo lo berubah. Gimana? Lo udah punya calon belom?"

"Calon apa? Calon babu?"

"Lo belum move on ternyata ya man dari..."

"Gue sibuk bisnis rumah makan jepang. Lo mau ikut gabung?"

"Gue maunya gabung, tapi bokap nyuruh gue megang perusahaan tekstil dia juga bro. Katanya udah tua, udah capek ngurus begituan."

"Oh iya. Apa kabar om Adi? Gue udah lama banget gak main kerumah lo."

Abi mengalihkan pembicaraan, sementara laki-laki berkaca mata yang menyandang nama Diko itu tau bahwa dia sudah salah bicara.

"Papah setau gue baik-baik aja, dia bahkan dua hari yang lalu nelfon gue buat nanyain kabar disana. Eh iya, ngopi dulu yuk. Pait nih lidah gue."

Abi mengangguk. Kemudian keduanya berjalan menuju coffe shopp.

"Entar lo mau ke apartement adek lo apa langsung balik pulang Ko?"

"Gue langsung balik. Lagian udah seminggu ini kok dia tinggal dirumah soalnya apartement tuh anak dalam renovasian katanya sih."

Pesanan Abi dan Diko datang bersamaan. Abi menghirup harum lattenya sementara Diko menyesap moccanya dengan tenang. Keduanya memang sama-sama penggila kopi. Sejak SD mereka sudah ditakdirkan untuk bersahabat. Hanya setelah lulus SMA lah, mereka harus berpisah sekolah. Diko memililih kuliah di Ausie sementara Abi tetap tinggal di Indonesia. Tidak ada yang cacat dalam persahabatan mereka. Semua terasa transparant, telanjang dan begitu apa adanya.

"Om Farhan akhirnya ngizinin lo buat tetep buka usaha?"

Diko menatap sahabatnya itu setelah melepas kaca mata hitamnya dan menyelampirkannya dikaus hitam polosnya.

"Mau gimana lagi? Usaha gue berkembang. Dan gue bisa ngebuktiin kalo gue bisa hidup makmur tanpa duit Papah."

"Lo masih gak minat buat jadi dokter? Ya alih-alih kerja sampingan gitu."

Abi menggeleng tegas.

"Gue udah terlalu sibuk sama bisnis taman bunga di bandung. Belom lagi rumah makan dan beberapa outlet pakaian. Semua udah cukup nguras waktu, tenaga dan fikiran gue Ko."

Diko menyendok fruitcakenya sementara Abi kembali menyesap lattenya.

Abi lulus menjadi seorang sarjana kedokteran dengan umur yang muda. Dua puluh satu tahun. Paras tampan dan wibawanya terlihat sejak dia menjabat sebagai ketua OSIS di SMAnya dulu. Abi memiliki mata sipit dan hidung mancung, rahangnya terlihat kokoh dan lesung pipinya membuat siapapun sepakat bahwa dia salah satu laki-laki tertampan yang ada dibelahan dunia ini. Berbeda dengan Diko yang memiliki wajah timur tengah. Matanya bulat dengan bulu mata yang lebat- hidungnya bangir dan kulitnya agak kecoklatan. Terlalu sering bahkan orang-orang menganggap bahwa Diko memiliki darah Arab. Bahkan dulu waktu SD, Diko sempat di panggil dengan sebutan "anak Arab."

"Sebelum kerumah, anterin gue ke toko bunga dulu ya. Gue mau ngasih surprise buat mamah nanti. Dia kan penggila mawar."

Abi tersenyum kemudian mengangguk.

****

Aletha menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, perasaan dia meletakkan buku novel terjemahan yang baru di belinya itu disini. Tapi kenapa tiba-tiba buku itu raib begitu saja?

"Teeet. Teeet."

Bunyi bel dirumahnya terdengar nyaring. Siapa sih yang namu maghrib-maghrib begini? Gak tahu sopan santun banget! Dengan rutukan didalam hati Aletha melangkahkan kakinya kearah pintu. Dan...

"Holla adikku yang cantik."

"Mas Abi?"

Diko melirik sahabatnya sekilas dengan dahi yang mengerut.

"Tuk!"

Satu jitakan pelan mampir dipuncak kepala Aletha.

"Lo tuh yaaa. Bukannya kaget gara-gara masnya dateng. Malah kaget nyebut nama orang lain."

Aletha meringis. Kemudian memeluk Diko dengan kencang.

"Lo bukannya salam dulu kalo masuk eh malah godain gue."

Selepas pelukan itu. Diko ngeloyor masuk sementara Abi masih ngerasa canggung dihadapan Aletha. Dia benar-benar gak nyangka perempuan yang dulunya sering banget di gendong kesana-kemari udah menjelma jadi bidadari yang kasat mata.

"Ayo mas, masuk. Udah lama gak kemari ya? Jadi rada malu gitu mau masuk."

Aletha mempersilahkan laki-laki dihadapannya itu dengan ramah, di sertai senyum manis yang membuat gigi gingsulnya terlihat.

"Mamah mana?"

Tau-tau saja Diko sudah meminum jus kemasan dan berjalan menuju ruang tamu. Sementara Abi mengikuti Aletha yang duduk di sofa panjang berbahan beludru halus itu. Sementara koper besar hitam milik Diko teronggok tidak berdaya disamping TV LCDnya. Aletha menggeleng-geleng kepala, setelah dua tahun gak ketemu. Ternyata gak ada yang berubah dari kakak semata wayangnya ini.

"Lagi dirumah tante Mira. Kan anak tante Mira ngelahirin."

"Si Revi?"

Aletha mengangguk kemudian berjalan menuju dapur untuk menyiapkan minum.

"Lo nginep disini aja man."

Samar-samar terdengar suara kakaknya dari balik dapur. Aletha menghembuskan nafasnya dengan lega. Berdekatan dengan Abi bukan hal baik bagi dirinya. Setelah lima tahun gak ketemu ternyata dadanya masih aja gak mau diajak kompromi, masih aja berdetak gak karuan kaya selesai lari marathon. Abi-cinta pertama Aletha. Cinta yang membuat Aletha harus bersusah payah untuk kelihatan tegar. Cinta pertama yang bertepuk sebelah tangan. Kalo diingat-ingat lagi, Aletha gak habis fikir kenapa dirinya dulu bisa senekat itu nyatain cinta ke temen kakak laki-lakinya. Dan gak tahu juga sejak kapan Aletha bisa se deg-degan itu tiap kali ketemu Abi. Yang jelas, hal yang paling diingat dari kejadian memalukan itu adalah kakak laki-lakinya gak berhenti buat ngecengin dia. Gak habis fikir juga kenapa Abi bisa sejahat itu ngaduin ke Diko.

"Lo tuh ya mas, ngajak tamu bukannya di sediain minum atau apa kek. Malah di biarinin gitu aja."

Aletha meletakkan jus jeruk itu di meja tamu beserta dengan martabak manis yang baru aja dia beli sepulang kerja tadi.

"Kan ada lo. Ngapain gue kudu repot-repot?"

Aletha mengerucutkan bibirnya kemudian segera menaiki tangga.

"Lo mau kemana dek?"

"Ke kamar lah. Kemana lagi?"

"Ini malem minggu. Lo gak jalan sama pacar lo?"

"Gue gak punya pacar."

Seketika tawa Diko meledak.

"Cantik sih, sayang jomblo."

"Sialan lo!"

Aletha segera balik badan kemudian menaiki tangga dengan cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar