Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Kamis, 24 Desember 2015

Perang Bintang (Satu)

Kafe Wish and D yang tergeletak di daerah Keranji, bernuansa biru laut dan cokelat pastel disetiap garis vertikalnya. Kalo kamu merhatiin lebih detail lagi, ada tulisan putih dan gambar macam aneka dibalik tembok hitam yang terdapat disetiap ujung sisinya. Aku gak bermaksud untuk mendeskripsikan bagaimana otak sengklek Geva berlabuh untuk tetap meneruskan usaha kuliner ini.


Geva gak seperfect yang Anggun bilang- dia gak bisa masak dan bodoh matematika. Jangan bilang soal ini kalo kamu gak mau di damprat dia habis-habisan ya? Karena masalahnya tentu aja gak sesederhana itu. Dia penggila kayu dan pecinta kopi yang lagi bisa kamu tahu- berkaca mata dengan tubuh tegap. Ada lesung di kedua pipinya, matanya bulat terang berwarna cokelat muda. Bener-bener muda! Nyaris percis mirip karamel yang sering aku makan di snack bensbens. 

"Aku pesen Carebian Nut nya sama waffle ice soffgenelt." Janet menyorongkan daftar menu ke mba-mba manis bercelemek hitam tersebut dengan gaya yang terlewat jutek. Pelayan itu berlalu kayanya dengan bibir mengerucut.

"So, explain to me the purpose of all this?" Setelah mengucapkan kalimat itu dia menatap ku dengan garang.

"Kamu tahu kan kalo Ragis baru aja di putusin sama makhluk astral itu? Kita harus balas dendam Jan!"

"Gak usah ngebanyol deh Lu" Dia mendelik dengan sebal.

"Aku gak ngebanyol. Ini soal harga diri temen kita Jan." Aku mengepalkan kedua tanganku dengan bersemangat.

"Kita gak semestinya ikut campur terlalu jauh Luwis. She can solve their own problems."

"But she was my friend. I don't want her sad, Janeta." Aku menggenggam kedua tangannya.

Ini konyol. Aku tentu aja tahu maksud Janet. Dari awal kita berdua udah sering banget bilang kalo Geva bukan makhluk yang patut untuk dijadikan belahan jiwa, ermm maksudku pacar. Tapi Ragis yang kelewat polos itu justru malah gak mau denger. Ya, semestinya dia tahu apa yang harus di tanggung setelah dirinya sama sekali gak mempercayai sahabat baiknya ini. Harusnya sekarang Ragis yang di juluki polos, bukan aku!

"Lo terlalu polos untuk ukuran anak kuliahan." Dia mengambil permen karet dari balik saku jins biru pudar celananya.
Tuh kan kan! Apa ku bilang, sepolos apapun Ragis dimata Janet dan yang lain aku tuh jauh lebih polos. Padahal nih ya mereka gak tau aja kalo aku suka banget nonton film pembunuhan. Pssst, jangan bilang bilang oke?

"Sekarang gue tanya, apa dia ngasih ultimatum ke kita untuk ngasih ganjaran ke cowok tengil itu?" Mata bulatnya melotot, membuatku setengah merinding dan menggeleng dengan cepat

"Apa dia nangis dan ngabisin dua pak tisu dirumah lo?" Jawabanku tentu aja gelengan.

"Terus kalo gitu gimana bisa lo tau dia sedih? If she suffers. She should have been aware of it from the beginning."

Aku termanggu. Masalahnya gak se klise ini, aku kenal Geva-banget. Karena waktu kecil kami pernah tetanggan. Tapi menjelang perpisahan SD laki-laki itu mendadak harus pindah ke rumah yang lebih besar lagi katanya. Ragis, perempuan dengan mata sipit dan rambut panjang sepunggung itu sahabatku di waktu aku naik kelas tiga SMP. Cantik, berbakat dan ramah. Aku gak begitu yakin tentang takdir Tuhan yang mempertemukan aku dengan mereka di saat laki-laki itu pergi. Yang aku pahami, Geva berubah menjadi sosok ambigu yang gak aku kenali. Tubuh kurus kerempengnya mendadak  berubah, mirip model yang sering muncul di iklan not fat not too thin. Mata bulat karamelnya tertutupi frame kacamata minus, dan jangan lupakan soal lesung pipi yang semakin dalam itu. Bagiku, Geva yang suka manjat pohon jambu berkulit keling dan suka mengalungkan katapel jauh lebih lebih keren.

"Sebagai sahabat, kita hanya bisa mendukung sesuatu yang benar dan nasehatin dia kalo salah. Teritori percintaan dia gak perlu lah kita ubek-ubek Lu. Dia udah dewasa, kita juga." Janet menepuk tanganku. Mata hitamnya menatapku teduh. Kali ini, dia benar.

Pesanan kami datang, bersamaan dengan bunyi nyaring dari speakerphone. Janet mulai menyeruput minumannya dengan tenang. Aku jadi merasa bersalah karena menggaet Janet dengan paksa dan membuat rencana kencannya gagal. Padahal hari ini nemu dua tahunnya mereka bersama. Fahmi sih oke-oke aja waktu aku nge bbm dia dengan kata maaf yang di ulang berkali-kali, tapi siapa juga yang tahu hati orang? Kayanya aku harus nraktir dia dan ngebawain donat J-cups kesukaannya deh.

"Selamat malam guys. Ini kayanya malem minggu makin rame aja nih ya." Laki-laki dengan rambut jabrik itu bersuara, disisinya ada perempuan berbehel dengan rambut yang di kuncir kuda, kayanya dia juga pembawa acara deh.

"Gue ngeliat di sini ada yang nge kongkow bareng temen, ada juga yang lagi makan bareng mantan pacar, mantan gebetan sampe mantan suami nih kaya mba-mba baju ijo diseberang sana."

Para pengunjung yang berada jauh di depan reflex  noleh kearah mata host konyol itu. Dasar edan. Mempermalukan seseorang ilegal, hukumnya do-sa tauk!

"Ada juga yang kayanya lagi curcol-curcol gitu sama sahabatnya nih Jo." Aku meringis pelan, perempuan kuncir kuda itu menatapku dengan senyum lebar.

"Jan, suruh Fahmi kemari aja."  Aku menyeruput kopi gelatin ini. Moccacino floats emang gak ada duanya di tenggorokan ya?

"Terus lo jadi kambing gitu? Gue gak sejahat itu kali Lu."

"Aku gapapah kok. Swear! Lagian tadi mba Dahlian sms aku ngajakin buat ketemu di bebek januk pangpalasa. Kayanya sih ngerayain ultahnya, aku lupa soalnya." 

Gak bohong, aku baru aja inget soal sms itu. Mba Lian emang suka gak jelas ngajak makan setiap dia ulang tahun. Mas Galih juga sama aja, kalo ditanya kenapa kumpul-kumpul jawabannya cuman 'emang kenapa? Kan seru Wis.' Mereka itu udah punya dua anak, tapi masih aja romantis-romantisan dan suka ngebanyol. Terakhir aku liat, BBMnya mba Lian nampilin display picture bunga dan cincin emas putih. Yakin se-yakinnya kalo itu kado di umur tiga puluh tahunnya. Dan sekarang bbm group Hasmana Jaya, perkumpulan dari keempat kakak geblek berserta keponakan-keponakan cunguk memenuhi notifikasi di ponselku.

"Serius?" Dia membulatkan matanya.

"Sorry." Cengiranku melebar.

"Yaudah. Gue bm deh ya." Matanya bersinar terang meski ucapannya berbeda jauh. Dasar Janeta!

"Jan, mending gelang atau buku antologi puisi?" Aku memakan banana pancake ku setelah memberi ucapan selamat kepada Talita lewat bbm. Duh, gak di SMP gak di kampus Tata tetep aja tenar.

"Buat siapa dulu?" Matanya menatapku sekilas sebelum dia melanjutkan ketikan chat di ponsel genggamnya.

"Talita."

"Tata? Sejak kapan lo deket sama dia?" Janet menaruh ponselnya kembali keatas meja. Mata bulatnya membesar.

"Gak deket sih, ya kami satu fakultas terus sering dapet mata kuliah sama. Dia gak segalak yang kamu kira kok."

Enggak sebelum kamu tahu kalo wajah cantik dan tubuh langsingnya mampu mengangkat bangku dan melemparkannya ke Risa- perempuan osis yang punya senyum jahanam. Tapi setelah aku telaah lebih dalam, Tata gak seburuk yang orang fikir kok. Dia ramah, friendly dan juga apa adanya. Hanya aja, kata-kata munafik yang sering di ganti dengan munafuck dan sejumput ucapan kasarnya ngebuat kamu sering berfikir keras untuk memutuskan apa dia lebih pantas untuk jadi malaikat atau iblis. Oh dan satu hal lagi, Tata sahabat SMK Geva. Akhir-akhir ini kok aku baru sadar ya kalo hidupku gak jauh dari nama laki-laki itu?

"Buat orang polos kaya lo sih macan macem Tata emang bisa di jinakin." Garpunya menancap waffle cream itu dengan sempurna.
Janeta juga macan. Mereka itu sebelas dua belas tauk. 
Aku inget banget waktu tante Winda ngewawancarain aku soal kenapa kancing seragam anaknya copot semua. Tentu aja aku gak bisa bohong, lagi pula tante Winda gak sebodoh itu untuk percaya kalo anak perempuan satu-satunya itu jatuh dari bajaj, bukan berantem sama anak laki-laki lagi untuk yang kesekian kali.

"Oke jadi lagu apa nih yang mau lo bawain bang?"

Aku kembali fokus ke acara panggung. Laki-laki yang baru aja jadi topik utama itu ada disana! Menjulang dengan gitar akustik yang terselempang sempurna di tubuh bidangnya. Ini konyol, Geva gak sekeren itu! Dan sejak kapan dia bisa main musik? Setahuku dia cuman bisa bikin gambar benang kusut doang. Aku melirik Janet, sementara perempuan itu justru kembali meminum carebian nya.

"Geva ganteng kan Lu?" Senyum iblis Janet tergantung sempurna. Aku menggeleng keras.

"Kapan terakhir kali ngeliat?"

Waktu ada penggalangan dana antar sekolah junalasbak bersama pas kelas dua SMA. Itu juga cuman sepintas karena aku kebagian untuk jaga pos. Aku gak begitu tertarik dengan Geva, bukan karena tubuh hitam legam buluknya aja, melainkan karena kami dulu sering nangkepin keong dan ngambilin kangkung di sawah untuk kelinci peliharaanku. Bagiku laki-laki kaya gitu gak lebih dari temen kecil yang suka banget nimpukin mangganya pak Moto dan ngegedor-gedor kaca jendela kamar ku hanya untuk ngajakin main perang bintang. Meski sekilas tubuh yang kelewat padat berotot dengan kacamata minusnya masih bisa aku save di memori jangka panjang. Makanya aku bisa membanding-bandingkan Geva kecil dengan Geva besar. Mungkin salahku juga yang waktu itu gak dateng ke acara ulang tahun Ragis, tapi budeh Esni meninggal di Jogja.

Masa iya aku milih untuk bersenang-senang sementara keluarga lagi dirundung duka? Aku masih punya hati kali.

"Hey hey baby you’ve been on my mind I knew you for a long time

but I’ve been thinkin baby that you should know oh oh yeah eh uh

Hey hey baby can we compromise I really want you to be mine

I’ve got a million places that we could go o, oh yeah uh"

Aku melihat dia tanpa tendeng alih. Geva terlihat berbeda, aku bahkan gak percaya kalo laki-laki itu bisa mengubah sesuatu yang gak semestinya dia miliki.

"Aku mah nanti nikah sama Zain. Suaranya cakep, bisa nina boboin aku tiap malem." Jari jemariku masih sibuk memetik kangkung sawah.
"Ngarep kowe nduk! Yoyo aja belum tentu mau sama kamu." Geva memasukan kembali kodok buduknya yang baru saja keluar dari kantong kresek hitam besar. Geva bodoh! Berani-beraninya dia ngejodohin aku sama cowok penggila layangan itu 
"Pa, aku ini cantik kok. Liat nih rambut ku aja kata mamah mirip iklan sampo." 
"Selain suara cakep mau kaya apa lagi?" Geva mengabaikan ucapanku.
Laki-laki berkulit sawo matang itu mengelap keringat di pelipisnya. Kemudian kembali memetik kangkung dengan cepat.
"Aku maunya dia jago main gitar kaya penyayi Duza di band Peterpan7 itu loh pa yang suka di setel sama mba Lian."
"Mimpi mu jauuuuh."

Suara melengking dari loudspeaker membuat aku tersadar kembali. Fahmi udah duduk manis di sisi Janet. Hah, sejak kapan laki-laki berambut keriting itu datang?

"Loh Mi, kapan dateng?" Mataku membulat. Sementara pasangan dihadapanku ini tersenyum kecil.

"Ngelamun mulu sih lo!" Janet mengetuk keningku pelan. Aku meringis.

"Yaudah gih sana, mau dianterin Fahmi sekalian gak?" Aku menggeleng. Janet gila dasar.

"Aku bawa motor kok Net." Satu sedotan lagi mocca ku tandas. Satu suapan lagi pancake ku bersih. Finished.

"Yaudah ati-ati jangan ngebut lo ya."

"Siap bos. Laksanakan!" Hormatku ngebuat keduanya tertawa.

Setelah menyelempangkan tas hello kitty  yang baru dibeli mamah kemarin sore aku berpamitan dengan kedua mempelai tersebut.
Aku berbalik. Lantai marmer, lampu kerlap-kerlip yang melingkari pohon palem, dan sofa beludru warna pastel itu membuat sisi luar kafe terlihat cantik. Pintu kaca dengan bunyi lonceng disaat kita membuka pintu ngebuat kamu merasa di sambut. Jangan lewatin juga lahan parkir yang luas dan gratis. Kayaknya aku bakalan sering main kesini deh!

Aku menutup pintu tersebut sebelum menuruni dua undakan tangga sebelum suara bass menginterupsi kesadaranku penuh.

"Luwis?"

Laki-laki berkemeja flanel biru hitam sesiku itu menatapku dengan satu telunjuk yang mengacung.

"Geva? Apa kabar?"

Aku tersenyum lebar sementara laki-laki di hadapanku juga memberikan senyum yang sama. Kami bertemu disaat aku mau memaki dirinya habis-habisan. Ugh, ini gawat.

"Kamu yang apa kabar Lu." Dia mengacak punuk rambutku. Ini gak lucu! Aku selalu aja gugup saat laki-laki menyentuhku. Padahal kalo di ingetin makhluk ini orang asing. Dan juga, dia emang punya kebiasaan seperti ini sedari kecil. Aku fikir setelah bertahun-tahun gak bertemu akan ngebuat kami canggung satu sama lain. Tapi ternyata salah, awal mula sederhana itu ngebuat semuanya terasa lebih baik.

"Kamu banyak berubah Va." Suaraku terdengar seperti bisikan. Ini bener bener konyol! Alam bawah sadarku mulai ambil kendali. Darurat darurat!

"Kamu juga, tapi lihat deh tinggimu gak lebih dari telinga ku." Aku mendelikkan mata dengan sebal sementara Geva tertawa. Aku bener-bener gak nyangka kalo laki-laki yang saat ini tergelak adalah pencuri mangga dengan sendal jepit yang sering kali copot.

"Aku ini sahabat Ragis yang waktu itu mau di kenalin ke kamu loh. Gak nyangka ya dunia sempit begini." Aku tersenyum kecil, sementara Geva menghadirkan wajah yang gak bisa aku tebak. 

Kehadiran bendera perang berkibar meski aku sama sekali gak mau terjadi, tapi masalahnya sebagian diriku mengingat Ragis dengan mata sembabnya menyusut di balik selimut tebal. Sehebat apapun Geva, sedekat apapun kami dulu dia adalah penyebab kenapa sahabat dekatku menangis tersedu-sedu. Dan fakta ini ngebuat aku berani untuk mengambil keputusan. Geva harus tau bagaimana rasanya di sakiti.

"Kami udah putus."

Tiga kata itu membuat aku dan dia sama-sama berdiri canggung. Meski aku tahu lebih dulu tapi tetep aja rasanya aneh kalo yang ngucap kalimat jahanam itu adalah tersangkanya langsung. Ponselku bergetar hebat. Mba Dahlian. Oh bagus, dia menyelamatkanku!

Aku mengangkat setelah mengkodekan ke arah laki-laki dihadapanku ini untuk menunggu sebentar. Dia mengangguk.

"Ya mba?"

"Dimana?"

"Baru mau jalan."

"Cepet. Lama amat sih kaya siput."

"Iya iya bawel. Udah ya. Daaah."  Aku mematikan sebelum mendengar cerocosan mba Lian lagi. Dasar nenek rombengs.

"Aku harus pergi. Dan aku turut berduka- ermm maksudku semoga kalian bisa bersatu kembali. See  Va."

Aku berlalu tanpa di cegah. Rawut wajahku semakin menegang. Ini bukan pertanda baik. Kedua sahabatku sama-sama menyakiti, dan aku yang mengenal keduanya justru bingung harus berbuat seperti apa. Aku gak mau hanya tau satu versi, mungkin aja Ragis juga salah dari perpisahan itu. Dan Geva gak sepenuhnya brengsek seratus persen.

"Dia cowok yang gue taksir selama setahun penuh Lu."

Membayangkan semua cerita Ragis tentang Geva membuatku menghela nafas berat. Ini bukan masalahku, tapi entah kenapa keadaan memaksaku untuk terus ikut kedalamnya.



***

Aku memakan mie pangsit ku dengan lahap. Tenda berwarna biru dengan gerobak mang Karman yang berdiri gagah di samping deretan meja dan kursi plastik adalah tempat makan kesukaan ku di kampus. Harganya murah dan rasanya maknyos! Gak heran kalo para mahasiswa kere harus berebut untuk mendapatkan semangkok mie ini.

"Daritadi Lu?" Aku menengok kearah perempuan yang baru menepuk pundakku pelan dan duduk di sisiku.

"Baru kok. Kamu mesen juga?" Dia mengangguk setelah meletakkan tas cangklongnya kedalam pangkuan.

"Kemarin aku ketemu Geva" Satu suapan lagi mendarat dimulutku. Pelajaran Metodologi ngebuat otak mengebul panas dan butuh asupan yang banyak.

"Dimana?"

"Di kafenya."

"Lo ngapain kesana?" Suara Ragis terdengar naik satu oktaf.

Loh loh kok dia marah?

"Makan sama Janet. Kafenya enak loh Ra"

"Lo gak berbuat macam-macam kan?" tanyanya penuh selidik dengan mata yang mirip induk kucing waktu anak yang baru dilahirinnya dipegang sama manusia. Sangar.

Aku mengerucutkan bibir dengan sebal. Aku gak sebodoh itu untuk mempermalukan diri ku sendiri halooo? Lagi pula rencanaku untuk menyatukan mereka berdua kembali tersusun rapih di dalam otak cantikku ini kok.

"Lo gak ngapa-ngapain kan?" Ragis menggoyang-goyangkan bahuku.

"Enggak kok Ra. Aku cuman makan terus mendadak mba Lian nyuruh ke pangpalasa, yaudah deh aku langsung caw."

"Gue gak mau lo berurusan sama Geva lagi ya Lu. Kita udah putus dengan baik kok. Guenya aja yang memang kelewat masih cinta."

Suapanku terhenti, aku berbalik kearah Ragis dan mata sipitnya di kelilingi dengan bulatan hitam. Oh apa yang kamu perbuat Geva kuprets!

"Kamu gak mau balikan lagi sama Geva?" Dia menggeleng pelan. Sementara aku beneran gak jago sama sekali untuk menghibur seseorang yang lagi patah hati.

"Kalian masih cinta tapi kan?" Tangan Ragis hangat. Aku tahu itu.

"Lu, dengerin ini ya? Geva gak salah. Perpisahan dari suatu hubungan itu bukan hanya karena salah satu, tapi keduanya. Hubungan itu ada karena dua orang, bukan satu apalagi tiga."

"Tapi sering kali kandas karena orang ketiga kan Ra?" Dia tertawa, sementara aku bingung sendiri.

Mas Hasbi cerai dengan mba Fani karena mba Yara. Aku gak bisa sepenuhnya menyalahkan mas Hasbi karena bagaimanapun juga dia kakakku, tapi itu bukan berarti aku gak benci atas kesalahannya yang ngebuat Dito dan Arman berpisah.

"Orang ketiga gak akan pernah hadir kalo salah satunya memperbolehkan." Dia kembali menggenggam tanganku.

Pesanannya datang, aroma mie Yamin menguar dan menelusup ke dalam perut ku. Oh Tuhan, aku bahkan mengabaikan mie Pangsit nikmat di hadapanku ini.

"Geva cakep ya? Padahal dulu tuh ih buluknya minta ampun deh Ra."

"Oh ya? Gue jadi penasaran." Ragis tersenyum lebar.

Tentu aja dia gak tahu, karena waktu dulu aku gak mengira kalo Gevanya itu adalah sahabat kecilku. Lagi pula salah dia kenapa memanggilnya dengan Gege. Udah tau aku ini telmi.

"Nanti aku bawain album foto waktu aku sama dia masih kecil. Dulu kan rumahnya di sampingku makanya kita sering banget foto bareng." Teh manis hangat emang lengkap deh untuk nemenin mie pangsit mang Karman.

"Lo pernah nyari dia gak waktu pindah dulu?" tanya Ragis dengan intonasi yang, ermm agak hati-hati keliatannya.

"Enggak." jawabku singkat, tentu saja sebelum mencoba untuk menyuap gulungan mie di garpuku ini.

Dulu dia bilang harus pindah karena om Fahri dapet kerjaan di tempat lain dan baru nyelesaiin rumah besarnya. Makanya aku gak sedih karena aku fikir Geva bakalan sering-sering main kemari mengingat rumah bercat putihnya di kontrakin. Tapi setelah setahun berlalu dan dia juga gak datang aku mulai sangsi, apa kelak dia akan kembali lagi. Popoy dan Momoy- kelinci ku mendadak mati karena aku udah malas mengurus mereka dan juga kelewat tua. Tangisku tumpah waktu itu, aku bahkan mengunci diri selama tiga hari karena Geva gak juga nongol di balik pintu. Dan sepolosnya, gak mungkin kan aku bilang hal ini ke Ragis? Dia bisa salah kira kalo aku juga suka sama mantannya itu.

"Kalo nanti Geva mendadak datang jadi tetangga lo lagi gimana?"

"Bagus malah. Aku jadi lebih mudah untuk menyatukan kalian lagi." Cengiranku semakin melebar setelah Ragis mendelik.

"Gue lagian udah punya gebetan baru kok Lu. Natan namanya. Nih fotonya liat, ganteng kan?" Aku menatap wajah laki-laki di layar ponsel Ragis. Gak seganteng Geva. Fikiran itu yang pertama muncul. Tapi aku berharap semoga aja laki-laki ini jauh lebih baik dari mantan teman kecilku dulu.

"Kalo ngomongin wajah gak akan kelar. Dia baik gak?" Ragis meminum es jeruknya sebelum menjawab pertanyaanku.

"He is so perfect. He wasn't more handsome than Geva. But he relented when arguing with me." Ragis tersenyum lalu kembali memakan mie Yaminnya.

"Syukurlah. Aku bahagia dengernya."

"Lo sendiri gimana? Masih aja sih seneng sendiri." Telunjuknya menoyor kepalaku pelan.

"Belum ada yang nge pas sih."

"Lo kata sendal." Ragis tertawa. Aku meringis.

"Pasangan itu emang mirip sendal kan Ra? Makanya ada judul lagu yang namanya sepatu."

"Terserah apa kata lo deh. Tapi yang jelas jangan benci sama Geva ya Lu. Dia gak salah kok, putus pacaran itu hal wajar."

Gak wajar bagiku, bagi perempuan yang sama sekali gak pernah pacaran dan menjunjung tinggi kata cinta. Masalahnya cowok yang sering kali mau pedekate sama aku kelewat sangsi karena harus melewati serumpun introgasian ketiga kakak laki dan satu perempuanku itu dengan suasana yang di buat setegang mungkin. Ini gak ngibul loh, aku pernah liat Radin ditanya-tanya pas lagi mau ngejemput aku berangkat bimbel.

"Terus kenapa kamu kaya bayi bagong yang meringsuk mirip janin waktu putus sama dia?" Aku menantangnya, dia nyaris tersedak.

Bohong kalo dia bilang semua udah selesai dan baik-baik aja soal perpisahan. Toh gak akan ada yang namanya pisah kan kalo emang baik baik aja? Ragis itu cantik tapi suka gak ngotak kalo nyari alasan.

"Kan di bilang wajar Lu. Lagian lo dateng pas banget gue baru udahan." Ragis meminum es jeruknya kembali hingga tandas setengah.

"Terus sekarang udah gapapah gitu? Ini baru sebulan tauk Ra." Waktu tau dia putus, aku langsung nyari info soal siapa Gege itu sebenernya. Dan nyatanya emang dasar aja kelewat lelet, aku baru tahu setelah dua minggu perpisahan mereka berlalu dan segera menghubungi Janet untuk minta bantuan. Tapi Janet sama sekali gak tertarik untuk ikut campur seperti apa yang udah aku duga sebelumnya. Ini makin komplex dan rumit.

"Udah lebih kali, hampir dua bulan malah."

Oh ya? Masa sih. Perasaan waktu itu masih masanya libur massal deh.

"Terus kamu udah gak suka lagi sama dia Ra?"

"Bohong kalo itu sih." Sendokan sambal keempat yang Ragis tuang kedalam mangkoknya.

"Seperti apa yang lo bilang. He's handsome. Banget malah. Gak akan ada yang bisa nolak pesonanya meski tau kalo dia jenis cowok bodo amatan dan tukang nyakitin perempuan." Dia menyuap mie yaminnya kembali. Sementara aku masih menunggunya untuk melanjutkan kalimat tersebut.

"Ada sesuatu yang gak bisa orang liat kalo lo udah kenal dia lama Lu. Tampangnya mirip kaya padang oasis emang, sama sama bikin kering tenggorokan. Tapi lebih dari itu, dia punya kekuatan untuk membuat lo takluk sebelum bener-bener mau ngajak dia ribut."

Geva gak seperti itu. Tapi apa sih yang aku tahu dari dia? Waktu mengubah segalanya. Dan bodohnya- masih aja aku berfikir bahwa mengenal dia di masa kecilnya sama dengan mengenalnya hingga sekarang. Aku jadi semakin kesal sama otak dan hati yang sering kali gak singkron.

"Gak tahu yah lo bakal nganggep gue murahan atau gimana. Tapi tiga bulan aja udah cukup buat gue mengingat kalo dapet cowok highquality itu menakjubkan. Suara merdunya dan dekapan tubuh bidangnya bakalan ngebuat lo gak mau bermimpi lagi. Karena mimpi itu sendiri udah dia buat nyata." Ragis menghabiskan mie yaminnya kemudian menyeruput minuman tersebut hingga benar benar tandas

Apa barusan dia bilang? Suara? Tubuh? Ya Tuhaaaan!

"Kamu masih perawan kan Ra?" Aku melotot. Sementara dia tergelak.

"Lo beneran harus cari pacar Lu." 

Setelah tawanya mereda. Aku memutuskan untuk berlalu dan mengabaikan kalimat terakhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar