Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Selasa, 01 Desember 2015

Selasa, 1 Desember

Sesuatu yang berasal dari bumi kelak akan tetap membumi.

Saya perempuan dengan banyak kakak, anak terakhir yang terlahir manja dan tidak mandiri. Satu-satunya dari sebuah keluarga yang masih sendiri. Menjadi seorang tante- bahkan sejak usia menginjak tiga tahun. Bulek kecil, begitu katanya.
Lima laki-laki dan lima perempuan. Mereka semua memanggil saya dengan panggilan yang sama. Menganggap saya sebagai salah satu bagian yang seharusnya memberikan amplop di hari raya.
Desember kali ini, hujan sudah mulai tiba. Tapi bukan masalah hujan yang menjadi pengantar dari cerita sedih kali ini.

Baiklah, saya akan memulai.
Jadi begini ceritanya,

Pagi ini, ibu dan bapak sibuk berdandan dan berkemas. Salah satu keponakan saya masuk ruang ICU. Begitu katanya.

Chaesar- keponakan saya yang kedua itu memang selalu berlangganan ke rumah sakit. Terhitung dari saya yang masih duduk di bangku SD dulu, yang lagi dengan jelas lebih memilih membolos karena harus menunggunya di ruang isolasi. Memory saya penuh dengan selang infus, jarum suntik, darah yang berceceran dan mata sembab kakak jika seseorang menyebut namanya kini.
Dia laki-laki bermata sipit, bertubuh gempal dengan suara bass yang berat.
Dia anak dari kakak pertama saya. Dari keluarga yang memiliki konflik klasik. Perceraian.

Jika kalian katakan ini adalah sebuah bentuk kesedihan seorang tante yang kehilangan keponakannya. Saya tak mengelak. Jika kalian katakan ini adalah bentuk suatu hukuman karena rasa tidak perduli. Saya terima.

Mungkin. Jika kali ini, Tuhan mengizinkan saya untuk bertemunya lagi. Setelah delapan tahun kami tak bertatap muka, dia pasti akan dengan polosnya mengatakan "Siapa teteh ini?"

Bukan. Saya mencintainya. Selalu. Sama seperti saya mencintai keponakan-keponakan saya yang lainnya. Tapi dia memang sedikit berbeda. Saya tak memiliki banyak cerita dengannya. Hanya rumah sakit, dan akan selalu rumah sakit sebagai latar saya mengingat dirinya.

Mungkin pula tak akan mengingat siapa yang menggandeng tangannya ketika dia merengek meminta perahu minyak dulu. Dia juga pasti tak mengingat soal peyek udang dan peyek kacang yang masuk kedalam daftar pokok makanannya. Dia tidak akan mengingatnya. Tentang seberapa banyak saya menggendong tubuh beratnya, menangis di saat ambulance membawanya, tertawa disaat suara seraknya mampu berbicara. Tidak dengan saya. Saya mengingat semuanya. Bahkan pada saat terakhir kali dia menginjakan kaki kerumah ini, saat dimana dia menatap saya dengan pandangan mata yang berbeda. Seolah-olah saya bukanlah orang yang menyayanginya. Seolah-olah kami adalah sepasang makhluk asing yang tak pernah berjumpa.

Jadi, kali ini. Dengan setengah tidak sadar, saya menuju stasiun. Menaiki salah satu kereta dengan modal info seadanya yang saya dapat. Saya tidak menangis. Belum. Setengah dari diri saya masih tidak menyadari bahwa kali ini dia memang benar-benar pergi.

Bahwa ruang IGD, UGD, Isolasi ataupun ICU tak mampu lagi mempertahankan detak jantungnya.

Mungkin. Saya masih bisa berdoa.
Mungkin juga. Saya masih bisa mengingat. Betapa dia akan selalu menjadi bagian penting dalam hidup saya. Sekeping puzzle berharga yang menjadi inti dalam sebuah gambar terbaik di dunia saya.

Kali ini saya membenci air mata, karena bacaan Yasin yang terpegang mulai memburam. Suara yang saya coba sebaik-baik mungkin terdengar dengan sempurna mendadak tersendat. Nama yang terpahat, tanah merah dan taburan bunga membuat kepala saya pening.

Ini bukan soal merelakan. Bukan juga tentang mengikhlaskan atau melepaskan. Dan tentu saja ini juga bukan sebuah perpisahan. Chaesar yang saya kenal akan tetap ada- berapapun lamanya. Kami hanya memiliki dunia yang berbeda saat ini. Karena kendati seberapa banyak pun saya memiliki ongkos untuk menaiki kendaraan bermobil, wajah dia tak akan pernah sampai kemari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar