Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Kamis, 17 Desember 2015

Hujan Hingga Februari (Satu)

Janu berbeda dari yang lainnya. Dia tidak memiliki wajah tampan yang mencolok atau mobil mewah yang terparkir di halaman kampus. Ranselnya berwarna hitam, nyaris pudar. Buku-buku yang di keluarkan dari dalam ranselnya tak lebih dari karya Shakespears, Kafka, atau George Elliot. Asli jawa, berlesung pipi dan memiliki mata yang teduh. Kebanyakan orang mengira, dia adalah satu diantara banyak mahasiswa cerdas yang hanya berteman dengan tumpukan buku tebal.

 
"Saya asli Petinggen."

Suaranya lembut dan memiliki iringan bass yang baik. Setiap kali perempuan-perempuan sastra ingin menyalami, jemarinya hanya sekedar mampir, sedikit menyentuh ujung jemari.

"Saya lulusan liceum."
Laki-laki jawa itu mencintai sejarah penjajahan jaman belanda dulu. Bibir tipisnya banyak menyinggung tentang volksraad, indische partij atau barang obrolan sederhana tentang taman siswa. 

"Dia macam orang chauvinisme."

Kasak-kusuk terdengar di balik sekat dinding pergaulannya. Meski demikian, nilai bahasa asingnya tak pernah menurun, hanya saja setiap kali mendengar orang-orang di sekelilingnya mencampurkan dua bahasa seperti apa yang saat ini marak terjadi. Dia hanya tersenyum, lalu menatap seolah tak mengerti. Hingga meminta seseorang untuk mengulangnya kembali.

"Bang Janu, ada salam dari Yani."
Janu terkenal bukan karena dia memang ingin terkenal. Alam membuat dirinya sudah terlihat berbeda. Tapi siapa sangka, laki-laki kalem yang selalu berjalan menunduk itu ternyata menyukai perempuan yang berada di ujung belahan benua sana. Perempuan cantik yang berbeda jauh darinya. Jika ditanya, dia hanya barang sekedar menjawab,

"Dia adik kelas saya dulu."
Sorot matanya datar, kegiatan membacanya tak urung berhenti. Tidak ada efek berlebih. Laki-laki itu mungkin memiliki cara yang lain untuk mencintai. Menjaga tanpa perlu menyentuh. Merindu tanpa perlu bertemu. Dia laki-laki dengan warna yang berbeda. Janu Pratama Kijang Hartono, anak kedua dari lima bersaudara.
****
Asap kendaraan angkutan umum yang mengebul, panas terik matahari di siang bolong juga suara pedagang kali lima di sekitar pinggir jalan membuat matanya menyipit dalam-dalam. Keringatnya yang mengalir dari ujung pelipis di usapnya dengan punggung tangan. Sepatu hitam Brioni yang sudah berubah warna menjadi abu-abu dengan merk yang terhapus dan jaket berwarna burgundury karya Alexander Mc Queen hadiah adik perempuannya dulu, empat tahun silam membalut tubuh kecoklatannya.

"Nu, laper. Makan dulu ye." Laki-laki dengan tubuh kurus di samping menepuk pundaknya pelan. Penampilannya tak berbeda jauh. Sandal Eiger hitam dengan celana jins yang warnanya pudar karena terlalu sering dicuci. Rambut ikal panjangnya di ikat dengan karet gelang berwarna oranye. Teman laki-laki terdekatnya di kampus. Qinal Mahesa.

"Udah ngekopi banyak jurnal aje sih lu Nu."

Keduanya memilih duduk di bangku kayu paling pojok. Strategis, untuk melarikan diri jika sekiranya lupa membawa uang. Tapi tentu saja bukan itu alasannya. Panas terik membuat keduanya lebih memilih berteduh lebih jauh.

"Iseng doang Nal"

"Maren gue nonton film The Bucket List. Sedih bener dah." Qinal memasukan dua sendok sambal kedalam soto babatnya yang masih mengepulkan asap.

"Tentang dua orang yang sama kena kanker paru-paru?"

"Ho-oh yang ntu, nonton ama Dahlia gue. Eh iya punya novel A Walk To Remember kagak?"

"Nicholas Sparks?"

"Iyee. Dia kepingin banget punya katanya. Di senen kira-kira ada kaga ya?" Janu menuangkan kecap botolan lalu mengaduknya kembali.

"Itu kan udah lama banget. Suruh cari di perpus aja."

"Gue ceritanya pen beliin buat kado Nu. Pacaran udah dua taon belon ngasih apa-apa pisan. Malu gue."

"Tumben." Qinal menoyor kepala laki-laki di sampingnya.

"Ngomong kaga di ayak bee lu ah. Serius gue ini Nu."

"Foto copy aja."

"Buset dah. Lu kata bukunya pak Umar" Janu meringis pelan. Di hirupnya kuah soto itu pelan-pelan. Rintik hujan mulai bersahutan, hingga beberapa orang berlari-lari di sepanjang jalan, berebut untuk mendapat tempat berteduh. Menghindari diri dari kebasahan. Mungkin ini yang orang sebut hujan orang mati.

"Alika kabarnya gimana Nu?" Suapannya terhenti dalam beberapa detik, namun wajah jawanya masih tanpa ekspresi. Kembali ia menyuap soto ayamnya dengan tenang.

"Gak tau. Tanya lah sama dia."

"Gue gak deket sama dia pan. Dari dulu tuh dede gemes fansnya segambreng. Kalo aja dia masuk jeketi laris lah tuh."

"Perempuan lebih cakep berjilbab."

"Iye dah ah kang ustad."

"Kenapa nanyain dia?"

"Enggak. Tadi pagi gue liat di efbi dia ulang taon. Masih banyak aje yang ngucapin. Dulu lu sempet di cengin ama dia gara-gara pernah ke toko buku berduaan pan."

"Dia junior di pena karya Nal."

"Iye tau-tau. Lu ah dari dulu kaga berubah-ubah. Ya pan kaget aja gitu Janu yang anti cewek, Alika yang gak pernah jalan sama cowok tiba-tiba beduaan. Emang sih ye yang baik dapet yang baik."

"Nal-"

"Iye-iye tauk gue. Mau belajar mop on kan dari dia?" Janu menoyor kepala sahabat karibnya dengan gemas. Sementara yang ditoyor justru tergelak gemas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar