Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Kamis, 17 Desember 2015

Sekolah Terserah Murid

Waktu sebelum aku masuk STM. Aku sempet ngerengek untuk di masukin pesantren atau lebih memilih masuk SMA. Tapi ibu tetap memaksa dan pada akhirnya aku tetap tes disana.

"Aku mau ngambil teknik gambar bangunan kalo gitu."

Nope. Ibu dan bapak ngelarangku, mereka tetep nyuruh aku untuk masuk ke jurusan komputer dengan dalih "biar gampang nyari kerja kaya mas mu."
Padahal, setiap orang punya mimpi dan kesukaan yang berbeda.
"Do something because you love it, not because you want to look great doing it."
Kakak bilang, aku harus mencobanya. Seiring berjalannya waktu, semua pasti bakal baik-baik aja. Dan akhirnya bapak tetep ngambil map hijau, seberapa banyak pun aku bilang kalo aku sama sekali gak suka sama komputer.

Tes yang aku jalani dengan khidmat itu setengah asal aku kerjain.
"Nanti katanya kalo gak masuk komputer kamu bisa masuk bangunan." Tentu aja aku seneng. Yang harus aku lakuin hanya setengah ngasalin jawaban supaya gak masuk komputer, tapi Tuhan punya rencana lain. Aku masuk. Keterima.

Kalo ditanya what is your special talent? Tentu aja aku cuman bisa ngejawab, aku bisa baca novel empat ratus halaman cuman dalam beberapa jam. Aku lumayan bisa ngegambar. Dan aku suka banget nonton barbie. Tapi bukan itu yang waktu itu kakak minta. Dia nanya apa cita-cita ku. Aku mau jadi perawat atau enggak penulis novel. Kalo gitu bagus, komputer diperlukan untuk mengetik bukan? Hell yeah. Gak begitu juga kaliiii!

What is your biggest fear?
Dari dulu aku cuman punya temen deket perempuan, laki-laki sedikit membuatku gak nyaman. Dan STM yang jumlah laki-lakinya mendominasi adalah mimpi terburuk buat ku. MOPD pertama berlangsung, aku nyaris pingsan dua kali. Bagiku MOPD STM beda banget sama SMA atau SMEA. Gak ada senior jahat atau senior baik. Karena semua senior disana seolah-olah dibangkitin dari alam baka yang tugasnya nyiksa adik kelas.
Mimpi burukku semakin berlanjut. Awalnya aku mau masuk pramuka atau PMR tapi mengingat bahwa yang namanya baris berbaris itu mengerikan akhirnya aku justru melangkahkan kaki ke Rohis yang ternyata personil perempuannya cuman empat orang termasuk aku.

Setiap kali masuk gerbang STM ada perasaan aneh yang menggelitik. Tanganku berkeringat detak jantungku lebih cepat dari biasanya. Sekali lagi. Karena STM banyak cowok, sepanjang perjalanan di koridor aku cuman bisa nunduk dan setengah berlari. Karena gak tau kenapa beberapa kali namaku di panggil cuman barang buat godaan. Bukan. Bukan karena aku cantik, tapi mau sejelek apapun kamu sebagai perempuan. Kamu bakalan di jadiin objek ledekan.
Semester pertama ku gak berjalan dengan baik. Setiap hari aku ngerengek minta pindah dan nangis di depan ibu.

"Belum terbiasa. Lama-lama juga biasa."
"Gaapa-apa biar strong kalo temennya laki-laki semua kan?"

Aku cuman gak habis fikir kenapa kedua orang tuaku yang tahu kalo aku setengah takut sama laki-laki justru masukin aku kesana. Semakin berjalannya waktu aku terbiasa dengan ledekan senior dan milih alternative muterin jalan kalo ketemu "teteh-tetehan." Beberapa kali aku harus lompat jendela supaya gak ngelewatin kelas Teknik Permesinan yang berkali-kali suka ngusilin aku. Naik kelas dua, aku milih buat jadi anggota osis. Aku mulai di kenal banyak orang. Aku ngegalang dana di setiap jalan untuk korban banjir dan palestine. What I love to do matter much more than what I am good at; what makes me happy matters much more than what makes other people happy. Mampir di beberapa yayasan yatim piatu dan ngeliat korban banjir secara langsung nyadarin aku bahwa STM semakin lama terasa sebagai tempat terbaik untukku.

Meski, beberapa kali aku harus diejek temen rumah karena nebeng sama temen "cowok." Oh betapa mereka gak tau kalo di rohis itu cuman ada aku, Juli dan Laras yang bagusnya sama-sama gak bawa motor.

"Pacar lo banyak banget sih Nis."

"Lo mah sama kambing di bedakin aja mau ya?"

Kalo aja mereka tau betapa perbedaan STM dengan SMEA itu jauh mungkin kataan hina itu gak akan terlontar. Tapi, setiap orang berhak untuk nge judge. Gak perduli bahwa aku udah bersikeras untuk tetap jadi "Annisha yang baik." Semua berubah, menjelma menjadi sesuatu yang makin hari makin buruk. Dan sialnya, aku gak perduli. Aku justru menyukai pulang ba'da maghrib, sabtu dan minggu masuk sampai mabit. Aku menyukainya lebih dari apapun itu.

"Pulang maghrib mojok dulu ya Nis?"

"Itu siapa lagi Nis? Pacar yang keberapa?"

Makin hari omongan temen-temenku makin menjadi sampai kadang aku nangis dan curhat sama kakak. Just because you're think it's good, doesn't mean it is good for people. Kadang apa yang aku fikir nebeng sama temen lebih bagus ketimbang harus jalan kaki pulang sendirian ngebuat nilai diriku makin rendah.

Setelah perpisahan yang diadain di Jogja aku mulai sadar bahwa STM adalah tempat terbaikku. Di kenal ngebuat kamu semakin menjaga diri kamu untuk gak berlaku seenaknya. Beberapa kali aku mutusin untuk gak berpacaran karena tau bahwa aku di kenal sebagai Nisha yang baik seolah-olah jika aku berpacaran ngebuat pamor "baik" ku tercoret. And then- aku memiliki teman laki-laki yang menumpuk. Gak habis fikir aja kalo aku punya pacar berapa kali kami bakalan bertengkar hanya karena aku lebih sering main sama temen cowokku.

Be who for who you are, because someone wants to be like you and they might just lose their star.
Waktu itu aku sempet di tarik sama anak-anak cowok sekolah lain hanya karena pake seragam STM. Beberapa kali di hina "bau negeri" atau barang sekedar dikatain "cabe-cabean negeri" meski aku gak tau salahku apa sama mereka. Tapi makin hari aku makin merasa bangga sama seragam ini. Gak semua orang punya kesempatan untuk jadi anak satoe bekasi. Look for happiness. Life is meant to be enjoyed- but hard work and achievements are still necessary in order to gain respect from others.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar