Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Senin, 29 Desember 2014

Laki-Laki Sastra Inggris.



Di toko buku itu saya bertemu dengannya, kami berbincang seolah-olah sudah saling mengenal lama. Dia bercerita banyak hal, tentang novel-novel luar yang saya tidak ketahui, pengetahuan tentang biopsikologi, hukum-hukum adat yang tertuang dalam pelajaran Sosiologi hingga neurotic spectrum disorders yang katanya benar-benar menarik. Saya hanya menanggapinya dengan kalimat-kalimat pasif, seperti hem, benarkah? Wow, hingga ya atau tidak. Kami berjabat tangan. Dia mengenalkan diri dengan suara bass yang sedikit membuat saya merasa ada yang berbeda. Yang saya ketahui dia memiliki nama yang bagus, Abi.

Dia mengenalkan saya tentang code-frame switching, percampuran dua bahasa atau lebih dalam satu percakapan antara dua orang yang sama-sama menguasai banyak bahasa. Hati saya tergelitik sedikit, pria di samping saya ini tidak menggunakan kaca mata dan tidak pula menggunakan kemeja yang kancingnya tertutup hingga pangkal leher. Dia tidak tampan, tidak juga begitu buruk. Tapi kehebatannya dalam mengungkapkan kecintaannya pada sastra yang berbau gothic dan romansa yang tak melulu soal bahagia membuat saya sedikit tak mengerti, dia pria macam apa?

“Kamu itu cuman anak semester satu Sha, dan gak mungkin ada keturunan sinbyong kan?”

Saya memutar mata dengan sarkatik. Ini ketiga kalinya saya bertemu dengan dia, dan kebetulanlah yang selalu menjadi penyebabnya.

“Kamu gak tahu kalo saya ini bisa meramal masa depanmu?”

Dia tergelak, mata bulatnya menyipit. Saya meninggalkannya sendiri di jejeran buku-buku masak yang disekelilingnya tersebar beberapa wanita paruh baya.

“Coba ramal. Biar saya yakin kalo kamu ini beneran sinbyong.”

Saya melipat kedua tangan, mengerutkan kening seolah-olah sedang menerawang pria di hadapan saya ini.

“Kamu anak jurusan Psikologi universitas Negeri, ya kan?”

Dia tertawa kecil, kemudian mengambil buku yang berada tepat di sampingnya untuk memukul kening saya pelan.

“Saya minta kamu untuk meramal masa depan, bukan menebak.”

Saya hendak memutar badan, berbicara dengannya sama saja seperti berbicara dengan alien.

“Saya anak sastra Inggris, semester lima.”

“Universitas?”

“Kamu mau tahu saya di universitas apa?”

Oh ayolah, saya bahkan sebenarnya tidak terlalu ingin perduli siapa dirinya. Jadi, atas respon baik yang barusan ditanyakan kembali, saya hanya memilih mengedikkan bahu.

“Universitas Indonesia.”

Mata saya membola. Oh ya, kejutan apa lagi ini Tuhan?

“Pertama kali saya melihat kamu, saya fikir kamu juga anak UI.”

“Kamu lihat saya pertama kali dimana?”

“Inget gak waktu kamu ikut seminar di fakultas MIPA?”

Saya menerawang, itu sudah dua tahun yang lalu. Bahkan itu kali pertama saya menginjakkan kaki kesana.

“Kamu ada disana?”

Dia mengangguk, senyumnya menunjukan lesung di salah satu pipinya.

“Saya panitianya.”

“Gimana kamu tahu kalo itu saya?”

“Baju yang kamu pakai ditoko buku salemba tempo lalu, sama seperti baju yang kamu pakai waktu itu.”

Dia melewati saya, kemudian berjalan menuju rak-rak buku novel mellow yang terkesan begitu memilukan.

“Karya bang Bara bagus, saya pernah baca beberapa kali.”

Dia mengambil salah satu novel yang sedang hits akhir-akhir ini, membaca sinopsisnya dengan seksama lalu menyodorkannya kearah saya. Saya menatapnya dengan intens, berharap bahwa kemampuan saya dalam melihat apa yang sedang terjadi didalam benak seseorang melalui tingkah lakunya membuat saya tidak kelimpungan dalam menerka-nerka siapa dirinya.

“Kalo kamu di sastra Inggris, berarti kamu bisa berbahasa Inggris.”

“Gak begitu bisa, saya masih belajar. Gak semua anak-anak PTN sepintar yang kamu kira Sha.”

Dia meletakkan bukunya ketempat semula, buku yang tadi disodorkannya pada saya. Dan lagi, saya mendengarkan penuturannya, kali ini tentang sistem saraf dan otak, bagaimana caranya berkerja, hingga gangguan-gangguan yang bisa saja terjadi dengan gamblang. Seperti korteks serebrum, lobus pariental, korteks somatosensorik hingga neuron, dan sinaps, ia jabarkan dengan begitu lancar. Saya seolah-olah merasa bahwa dia memiliki keahlian seperti seorang koas, penjelasannya membuat saya merasa menjelajah. Pria disisi saya ini tentu bukan alien kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar