Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Senin, 29 Desember 2014

Cerita Rayhan. (Satu)



Ini sudah menjadi rokok ketiga yang di habiskannya, bibirnya masih saja berceloteh panjang lebar meski dia tahu bahwa aku sama sekali tidak tertarik untuk mendengar ceritanya. Kaca jendela di sampingnya terbuka lebar, membuat asap yang keluar dari mulut dan rokok di sela jemarinya terbuang lewat celah tersebut. Vanila latte yang dibelinya sudah mendingin entah sejak kapan. Aku tak tahu mengapa laki-laki ini begitu senang mengadukan banyak hal kepadaku.

“Cantik kan Ca?”

Aku mendelik sebentar, dia menyodorkan ponsel genggamnya kepadaku. Cantik. Setidaknya begitulah pemikiranku.

“Lumayan.”

Aku kembali fokus pada tugas makalah yang harus dikumpulkan besok. Bahasa kerennya, deadline. Tapi bagiku tugas seperti ini sama saja membunuh mahasiswa secara perlahan. Apa di fikiran bapak tua itu mata kuliahnya adalah satu-satunya yang harus di kerjakan, satu-satunya yang harus di dahulukan, dan satu-satunya yang harus dipusingkan? Oh, yang benar saja!

“Cuman lumayan? Dia ketua Padus, lo harus tahu kalo suaranya berasal dari surga.”

Aku mendesah pelan, mataku bertemu tatap dengan mata sipitnya. Dia memasang wajah menyebalkan. Tuhan, bolehkah aku menonjoknya sekarang?

“Ya, cantik.”

Just it?”

Aku melirik ke arahnya, tubuhnya terlalu mencondong ke mejaku dan well aku benar-benar membenci itu.

“Udah jadi pacar?”

“Lagi proses Ca, lo kira gampang naklukin cewek kaya begini.”

Dia menyandarkan tubuhnya dan dengan santai memainkan ponsel genggam yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Aku bahkan tidak pernah habis fikir kalau pun perempuan itu mau menerima cintanya. Rayhan bukan satu-satunya cowok bagus di kampus ini, mengapa juga primadona mau bersanding dengannya? Aku yang memiliki wajah rata-rata dan otak pas-pasan saja harus berfikir dua kali.

“Lo boleh pamer, kalo dia udah jadi pacar.”

“Bentar lagi juga jadi pacar kok Ca. Lo liat aja ntar.”

Dia menaik turunkan alisnya, sementara aku hanya bisa memutar ke dua bola mata ini atas tingkah angkuhnya yang tidak tertolong.

“Lo sendiri, kenapa gak punya pacar sih Ca?”

Oh, haruskah laki-laki ini tahu betapa seharusnya aku tidak membiarkan waktuku terbuang sia-sia atas curhat konyolnya? And then, sekarang dia justru begitu ingin tahu masalah hidupku yang terbengkalai atas dasar penyebab-penyebab tugas yang tidak bisa terselewengkan ini.

“Gak ada urusan di elo kan Kak?”

Ah ya, umurnya berbeda tiga tahun denganku, dan aku tentu saja masih memiliki rasa sopan-santun yang tinggi untuk memanggilnya dengan alih-alih kakak. Tapi memang benar, ini hanyalah sebuah formalitas.

“Ya, bener juga sih. Mana ada cowok tulen yang seneng sama cewek macam kutu kupret kaya lo.”

Tawanya menggelegar, hingga beberapa anak di pojok belakang sana menoleh. Dan dia sukses 
menjadi pusat perhatian dalam beberapa detik. Aku menggebrak mejanya dengan kesal, sementara dia justru menyesap kopi panasnya yang tidak lagi mengeluarkan asap.

“Gue mau jumatan dulu yah. Bye.”

Dia melenggang pergi dengan meninggalkan beberapa putung rokok dan gelas sterofoam yang kopinya sudah tersisa separuh gelas dimejanya. Dan apa katanya? Jumatan? Yang benar saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar