Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Sabtu, 21 Januari 2017

Me and Crocodile



Day 4. Cerita Pertemuanmu dengan Doi

Sebenernya malu-maluin banget sih kalo gue nge-post soal ini. Tapi karena memang tema dan perintahnya begitu ya mau gimana lagi toh?


Jujur sih, gue bukan orang yang begitu senang mengumbar kemesraan. Memamerkan betapa gue menyukai si – doi. Maksudnya ya, gue nggak begitu ingin orang-orang banyak tahu tentang gue dan doi.

Nggak enak banget kayanya deh nyebut dia dengan sebutan ‘doi’, gimana kalo gue menyebutnya dengan onta? Ah nggak, dia nggak cukup mirip dengan onta. Gimana dengan buaya? Gue lagi suka sama binatang yang satu itu sekarang. Dia nggak playboy kok, asal lo tahu aja sih bahwa buaya itu hewan yang setia loh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama sepuluh tahun, ditemukan fakta tujuh puluh persen buaya betina kembali lagi ke buaya jantan yang sama untuk bereproduksi. Dan itu konsisten terjadi dari tahun ke tahun. Makanya, rasanya nggak adil kalau menyebut tukang selingkuh sebagai ‘buaya darat’. Secara aslinya, buaya nggak demen gonta-ganti pasangan.
Jadi, ya mari kita sepakat dengan menyebut doi sebagai ‘buaya’.


Pertemuan gue dengan buaya terjadi cukup lama, sekitar tujuh tahunan yang lalu. Jaman gue masih pake rok putih biru dan doyan ngoleksi foto Gu Jun Pyoo. Dimasa itu, gue juga masih jadi cewek freak yang rela nggak jajan demi mendapatkan sebuah novel. Ya lo boleh anggep itu adalah masa-masa dimana gue sering sakit dan kena tipus.
Jadi pada intinya dimasa itu adalah awal dimana gue ikut organisasi remaja masjid disekitar perumahan yang gue tinggali, gue cukup berbakat nabok marawis dan mulai latihan tari saman pada zaman sebelum gue menjadi langsing seperti sekarang. Perlu diingat bahwa masa itu gue juga cukup malu karena masih menggunakan ejaan alay yang disempurnakan. Jadi kebayang banget kan masa PDKT gue dengan doi dibumbui dengan tulisan gede kecil gede kecil dan angka serta S menjadi Z yang bisa dibilang keren. Seperti misalnya…

Buaya: AniZ. . .

Gue: yA

Buaya: L9 nGapain?!. . .

Gue: L9 nOpi

Buaya: oWh. . . L9 di HoZ ya?. . . 

Begitulah kiranya chat-an gue dengan si doi. Inget nopi disitu, bukan Nopi tetangga sebelah gue. Tapi singkatan dari nonton telepisi. Dan Hoz bukan kuda macam horse, tapi rumah yang diambil dari reinkarnasi house. Percaya deh, gue pun cukup malu karena harus mengakui bahwa gue pernah mengalami masa alay. Sejujurnya fase alay nggak ada di pelajaran psikologi perkembangan, kalo pun ada paling cuman macam fase oral, phalic atau sebagainya. Kalo gue bisa mencetus sebuah fase alay dan menyumbangkannya kedalam ilmu psikologi, kira-kira gue bakalan ngalahin ke populeran engkong Erikson dan uwa Piaget nggak ya?



Entah itu minggu atau sabtu, gue nggak ingat dengan jelas. Maksudnya, dipertemuan gue dengan buaya – gue belum cukup tertarik dengannya. Sebab dia nggak ganteng seperti oppa Jong Kii atau Al Ghazali. Ya maksudnya, setiap orang pasti selalu tertarik dengan wajah dan penampilan diawal pertemuannya bukan? Jadi anggap aja pertemuan gue dengannya cukup samar di memori ingatan gue. Intinya sih, kami bertemu karena remaja masjid diperumahan gue ngadain mabit, dan dia hadir sebagai salah satu anggota dari remaja masjid lain yang ada di dekat rumahnya.
Gimana gue bisa kenal dia sementara gue nggak tertarik?

Bisa dibilang dia tertarik sama gue sejak kami pertama bertemu. Entah karena jilbab hitam yang gue pake bisa ngebuat kulit gue jadi keliatan cemerlang, atau karena mata sipitnya yang ngebuat dia ngeliat gue jadi seperti cewek menarik di pertemuan pertama kami. Singkat kata, dia minta nomor ponsel gue ke temennya yang kebetulan juga temen gue.
Dia satu SMP dan sekelas sama temen depan rumah gue. Dan jadilah temen gue ngasihin nomor ponsel gue ke dia.



Awalnya gue nggak begitu tertarik dengannya, lama kelamaan gue cukup berhubungan intens via ponsel dengan buaya. Kami berteman cukup baik. Entah itu acara Maulid, Isra miraj atau Muharam yang digelar di masjid deket rumah gue atau di masjid deket rumah dia, kami bertemu. Seperti kebanyakan anak-anak SMP polos, gue dan si buaya cuman sekali lirak-lirik dan mencari tanpa perduli apa ustad atau habib yang ceramah datang nyaris tengah malam. Berdosa lah gue karenanya.

Jadi begitulah awal pertemuan gue dengan doi. Kalau pertemuan lo dengan doi, gimana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar