Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Rabu, 25 Februari 2015

Tuhan, terimakasih.



Hari ini saya sedang sakit. ISPA saya membuat kondisi tubuh saya semakin memburuk. Tapi kali ini saya masih menyempatkan diri untuk membuka buku diary berwarna merah jambu yang lembarannya banyak hilang disana-sini. Saya terseyum getir, dari banyak tulisan yang saya buat nyatanya saya hanya menuliskan rincian tentang laki-laki yang saat ini mampu membuat tangis saya tumpah ketika mengingatnya. Demam saya yang mencapai 43 celcius ternyata tak berdampak banyak, tidak membuat tangis saya berhenti ketika berharap kali-kali dia akan mengirimkan saya sebuah pesan apa kabar atau semacamnya. Tapi mana mungkin? Itu hal ternihil dalam hidup. Dan saya merasa semakin bodoh kali ini.
Cermin besar dihadapan saya kali ini membuat saya menghela nafas berat. Mau dibawa kemana sakit hati yang berkepanjangan ini? Meski pada nyatanya ketika saya menulis ini, tidak ada tangis sesenggukan yang menyelinginya. Mungkin, hari ini saya sudah menyerah untuk mencintainya. Mungkin saya sudah lelah setelah patah. Atau mungkin, saya sudah bahagia dengan tidak ada dirinya didalam hidup saya. Karena pada faktanya, ketika menatap foto dia bersama gadisnya tidak lagi membuat tangis saya tumpah. Saya hanya memandangnya kosong, dan menutupnya kembali kemudian melanjutkan hidup lagi. Tak ada yang banyak berubah kali ini. Ketiadaan dirinya sudah bisa saya terima dengan lapang. Saya tidak akan pernah bisa melupakannya, tapi saya bisa untuk mengikhlaskannya.
Jadi, ketika tenggukan terakhir teh manis yang saya minum berakhir. Saya berharap cinta saya juga berakhir. Karena untuk senyum saya, kali ini… saya sudah mampu bahagia tanpa adanya dia. Tuhan, terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar