Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Rabu, 25 Februari 2015

Pengantar Hujan. (Cerpen)

Bekasi, adalah salah satu kota yang sedang dilanda pembangunan besar-besaran. Setelah kegersangan dan keringnya air dimana-mana, hujan di sore itu mendadak menjadi salah satu kebahagiaan tersendiri bagi para penduduk setempat.

Namun, ditengah ribuan tetes hujan yang menetes gadis berkerudung putih itu justru membencinya, ia sibuk menyingkirkan dirinya dari cipratan air hujan dihalte kala itu.

Asfa mendesah pelan, kalau saja dia membawa jaket hujannya, mungkin dia tidak akan kelimpungan seperti ini. Namun siapa juga yang akan mengira bahwa sore itu akan hujan? Diantara banyaknya pawang hujan yang berkeliaran dikota ini, tingkat hadirnya hujan di tengah-tengah kota menjadi satu hal yang mustahil.

Asfa mengedarkan pandangan keseluruh penjuru, dilihatnya semua orang sibuk menepi, menghindari dirinya dari kebasahan. Di sampingnya terdapat dua pasangan yang sibuk berbicara. Mungkin, bagi dua insan yang sedak di mabuk asmara, ini adalah hal yang terbilang romantis.

Asfa mendesah pelan, dilihatnya lampu-lampu lalu lintas yang menyorot tajam. Mau sampai kapan ia bergeming disini? Sampai ada sesosok laki-laki seperti di novel-novel yang sering ia baca mengajaknya berkenalan?
Apa yang diharapkan dari gadis yang lebih memilih memendam dirinya dikamar di banding berbaur bersama teman sebayanya?
Apa juga yang di harapkan dari gadis cengeng, yang sibuk dengan ke galauan-nya di dunia maya?
Ada toleransi memilih untuk gadis yang lebih memilih singgah di toko buku tanpa mau melihat film-film ternama yang sedang muncul dibioskop?
Sekali lagi Asfa menimang-nimang untuk pulang dalam kekuyupan atau tetap berdiam diri sendiri hingga hujan mereda.

Hujan selalu membuatnya mengingat satu hal yang tidak akan pernah bisa ia lupakan didalam memori ingatannya. Sekelebat kejadian seperti kaset kusut yang dihadirkan oleh ribuan tetes air dari langit, mulai muncul di dalam ingatannya.
Flashback on


“Hari ini kita harus nonton, gak mau tau pokonya!”

Karin yang berkulit putih bersih dengan mata bulat besar mendumel gak karuan.

“Tapi besok kita udah harus ikut try out Rin.” Alen mengingatkan.

“Loh emangnya kenapa? Sekali-kali gak masalah kan kalo ngerefresh otak sebentar aja? Gue rasa kalian semua juga pada empet sama soal-soal nyolot kaya gitu.”

“Setuju gue Rin!” Fahri dan Indra mengancungkan jempolnya. Kedua makhluk Adam itu Nampak setuju dengan usul Karin.

“Gue juga setuju.” Susul Dani.

“Gimana, pada mau nonton gak nih? Fa, La?” Tanya Karin yang memastikan bahwa kedua karibnya menyetujui usulnya.

“Jam berapa?"
Karla akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang seolah-olah menyetujuinya.
“Berangkat jam Limaan aja, ngambil yang bada maghrib.” Jawab Karin

“Jam Sembilan aku harus udah pulang.”

Suara Asfa terdengar pelan, tapi memang itu peraturan yang diberlakukan didalam rumahnya. Semua temannya mengangguk mengerti, meski mungkin hanya sebagian yang mau menerima ucapan yang ia lontarkan barusan.

“Hujan.”

Dani yang memang bertugas menjadi bahan tumpangan Asfa menggumam pelan, ia segera menepikan motor beatnya ke pinggir jalan. Dengan segera keduanya sudah menuju ruko sempit yang berada didaerah Agus Halim itu.
“Yah, kita sampe rumah jam berapa ini?
Raut wajah Asfa benar-benar di kelilingi kecemasan. Dia memikirkan ibu dan ayahnya yang akan menyambut kedatangannya dengan ribuan introgasian dan ocehan.
“Sms aja Fa, masalahnya Dani lupa bawa jaket hujan.”
Diambilnya ponsel tersebut didalam tas selempang kecil berwarna merah muda tersebut, ditekannya sederet angka, setelah nada sambungan berbunyi suara bass di seberang sana terdengar.
“Assallamualaikum.”

“Waallaikumussalam. Disini hujan Yah, ini Asfa lagi neduh. Soalnya Dani lupa bawa jaket hujan.”

Ucapan yang terdengar terburu-buru ini menggambarkan kekhawatiran yang dalam dibenak gadis bermata hazel itu.

“Kamu udah sampe mana emangnya?” pertanyaan Ayah memang terdengar begitu lembut, tapi entah kenapa hati Asfa masih diliputi kewas-wasan.

“Udah di deket Super Hero Yah.”

Asfa melirik Dani yang tak jauh berdiri di sampingnya. Tawa kecilnya membuat Asfa mendelik. Dasar aneh, batinnya.

“Udah makan belum?” terdengar logat jawa yang kental dari suara wanita paruh baya. Ternyata, handpone telah diambil alih oleh ibu.

“Udah kok bu.”

“Yowis, jangan hujan-hujanan yah. Kalo udah reda, baru pulang."

“Iya bu. Udah dulu ya, Assallamualaikum.”

“Waallaikumussalam.”

“Apa kamu ketawa-tawa?”

“Hahaha lucu aja, sampe segitu paniknya.”

Refleks, cubitan kecil Asfa layangkan di lengan laki-laki disebelahnya.

“Adaw.”

“Alay. Begitu aja sakit.”

Dani, laki-laki bermata sipit dengan lesung pipi yang menghiasi wajahnya adalah satu-satunya laki-laki yang membuat Asfa berani bertaruh, bahwa jatuh cinta itu adalah bahagia.

Dia adalah pundak tempat Asfa menaruh tangis. Dia adalah tangan yang selalu menarik Asfa berdiri tegak ketika jatuh. Dan dia adalah simpulan senyum dan tawa terbesar bagi Asfa.
Tanpa status, tanpa kejelasan, hanya pertemanan yang dibuat didalam kedekatannya. Membuat Asfa terkadang sadar, dia belum menjadi tujuan, tapi dalam balik-balik harapan yang bertabur dihatinya, semoga saja dia bukan hanya sebuah persimpangan ketika laki-laki itu bingung memilih jalan.

“Pake, biar anget.”

Disampirkannya jaket hitam ke bahu Asfa.

“Kamu juga pasti kedinginan, aku kan pake lengan panjang.”

Asfa mulai menarik jaket yang tersampir dipundaknya. Namun tangan besar yang berada disampingnya, mencegahnya.

“Enggak. Aku gak kedinginan kok, kan ada kamu.”

Digenggamnya tangan mungil itu, dari balik mata sipit yang didalamnya tidak pernah bisa Asfa telusuri. Kedua pipinya merona, dan hatinya selalu saja berdegup kencang.
Saat ini, untuk pertama kali Asfa ingin membahagiakan hatinya. Dia percaya, pasti ada cinta untuknya, dibalik hati laki-laki yang sedari tadi tetap menggenggam erat jemarinya.
Flashback off


Hujan masih saja terlihat enggan berhenti. Asfa mendesah pelan, diliriknya jam tangan putih yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Jenuh, diambilnya ponsel dari balik saku rok jins panjangnya. Tidak ada pesan yang muncul satupun. Dia tertawa hambar. Memangnya siapa juga yang akan meng-smsnya selain ibu dan ayah? Berharapkah bahwa laki-laki dibalik ratusan jarak tersebut merindukannya? Terlalu impressive, nihil, muluk dan bodoh!
“Maaf yah gara-gara aku kamu kehujanan.”

Telinga Asfa berdenging. Suara itu, suara yang Asfa sangat kenali.

Dibalik temaram lampu ruko tempat Asfa meneduh, ada wajah yang ia rindukan kehadirannya. Senyum yang saat ini muncul, benar-benar membuat kerinduannya semakin menggebu.
Ingin sekali ia berlari kearahnya, memeluk tubuh tingginya dan menenggelamkan kepalanya ke dada bidang-tempat ia dulu menumpahkan kesal dan sedih.
Tapi setelah dilihatnya genggaman erat jari-jemari yang saling bertautan ditelannya keinginan tersebut. Mungkin inilah alasan dia menghilang. Mungkin, ini juga alasan mengapa statusnya tak pernah lebih dari pertemanan. Tapi, kerinduan yang begitu menggebu membuatnya tanpa sadar merapal sebuah nama.

“Dani."

Suara Asfa seperti bisikan yang terhempas angin dengan begitu lembut. Gumaman kecil yang tidak tersampaikan kepemilik nama, menguap begitu saja seolah-olah tetes hujan yang jatuh meredam suaranya. Harusnya ia tak pernah habiskan air mata untuk sosok yang tak pernah menganggapnya akhir dari tujuan. Terkadang, pernah merasa dicintai memang bukan berarti benar-benar ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar