Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Rabu, 25 Februari 2015

Setelah Berbeda

Hari ini sama seperti kemarin. Langit yang memayungi kita masih berwarna biru keputihan. Tapi, aku menemukan hal yang berbeda. Kita, tak lagi berjalan bersama. Aku harus kehilanganmu. Tidak ada lagi pesan-pesanmu yang menggunung diponselku, dan tidak ada lagi ucapan-ucapan manis yang membuat senyum dihariku. Kamu mengubah tawa, kebahagiaan dan pelangi diduniaku menjadi duka dan mendung yang kelabu. Aku menyadarinya, semua memang salahku. Tapi kamu tahu? Bahkan sampai saat ini pun aku masih saja merengek pada Tuhan untuk mengembalikanmu lagi kepadaku. Tapi katanya, kamu telah menemukan sosok yang baru. Yang mengerti betapa tidak pekanya dirimu, yang sabar dengan kerendahan kasih sayangmu dan sesederhana jiwamu. Maka, haruskah aku sekarang mengubah doa yang setiap hari ku panjatkan untukmu? Haruskah aku mendoakan yang terbaik bagimu, sementara aku memang diciptakan bukan yang terbaik bagimu. Haruskah aku menjadi perempuan munafik, yang terlihat bahagia dan baik-baik saja yang padahal ada luka yang masih terus saja bertambah parah?


Tapi aku bisa apa? Kamu tidak lagi mencintaiku, tidak lagi ingin kembali ke "kita" yang seperti dulu. Tapi mungkinkah sejak dulu hanya aku yang merasakan cinta? Yang melawan sesak karena rindu yang begitu tak mau tahu, dan yang terus saja berdoa akan ketakutan jarak yang menjadi penghalangnyaa? Ah, bahkan rasanya terlalu muluk ketika aku menyebutkan kita, terlalu sakit untuk mendendangkannya, karena sekarang kamu dan aku hanya dua manusia yang saling mengenal, yang akan sekedar memberi senyum ketika berjumpa, yang akan berjabat tangan selayaknya teman.
Kita sekarang memang teman. Tapi sepertinya hatiku belum siap untuk menerima seutuhnya, aku menginginkan kamu yang dulu. Yang sangat ingin menggenggam tanganku, yang akan mengusap air mataku dan yang akan berucap bahwa semua baik-baik saja. Bisakah kita kembali pada penyatuan?


Tidakkah kamu lihat seberapa parah keadaanku ketika aku harus bersusah payah terlihat baik-baik saja ketika kamu meninggalkanku. Aku bisa apa dengan semua kenangan yang tidak mungkin pernah bisa aku lupakan? Aku bisa apa, dengan rasa yang masih saja menumpuk setiap harinya?


Tapi, aku harus berhenti mencintaimu. Bagaimana caranya agar aku bisa sepertimu sayang? Katakanlah padaku. Bagaimana aku bisa melihatmu sebagai seorang pengganggu seperti kamu melihatku, bagaimana caranya aku bisa melupakan semuanya dengan mudah tanpa ada lagi luka yang masih terus saja berdarah.
Aku pernah berjuang untukmu. Pernah bertahan, dan menunggu meski semua masih terasa maya. Aku pernah tidak percaya pada orang yang katanya, kamu telah menemukan cinta yang baru. Tapi, ternyata ketidak percayaanku adalah alasan aku yang terlalu kuat mencintaimu. Alasan yang aku gunakan ketika aku teguh, ingin memilikimu.


Pada akhirnya, aku lah yang paling bodoh. Aku lah yang kalah, meski tahu bahwa kamu menjadikan semuanya seperti permainan, yang sudah jelas-jelas tercatat bahwa kamu pemenangnya. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, tidak mengerti bagaimana caranya memberi tahumu bahwa kasih dan sayang tidak punya sifat menyakiti. Apakah kamu tidak pernah tulus menyayangi seseorang? Yang kamu tahu dia tidak menyayangimu, yang acuh dan tidak pernah melihat perjuangan dan keberadaanmu. Meski dia tahu, bahwa itu semua demi kebahagiaannya. Hatimu mungkin sudah mati, atau belum sepenuhnya percaya bahwa wanita bodoh sepertiku juga layak untuk mencintai laki-laki hebat sepertimu.


Bukankah katanya rindu itu hanya ungkapan berlebihan yang dibuat oleh seseorang yang sedang jatuh cinta? Yang baru tahu, bahwa ada perasaan paling beda diantara ketidak jelasan status. Lalu, bisa disebut apa perasaan aku ini? Yang hampir setiap malam tak ada habisnya berharap kamu memberikan kabar, atau meminta Tuhan agar menunjukan kamu yang belum benar-benar melupakan aku. Memang, aku hanya hidup di masa lalumu, terlalu muluk jika meminta untuk tinggal di masa depan yang katanya adalah bentuk kebahagiaan dari proses perjuangan. Siapalah, aku ini. Hanya sekedar wanita bodoh yang terlalu bermimpi untuk menjadikan kamu tetap berada disampingku, yang terlalu hina untuk tetap meminta kamu melihat keadaanku. Lukaku memang tidak begitu terlihat parah, karena mungkin tidak berdarah. Tapi, kalau saja aku bisa memilih, aku pasti lebih memilih luka yang terlihat. Luka yang bisa diobati dengan mudah, yang bisa dibalut oleh siapapun dan akan hilang hingga tidak berbekas lagi. Andai, kamu lebih bisa mengerti. Bagaimana rasanya menjadi aku, yang ingin bercerita agar orang lain tahu. Bahwa memang hanya benar-benar kamu, yang aku rindukan sedalam ini.


Sekarang, aku hanya bisa bercerita kepada beberapa orang yang sempat mengenalmu lebih dekat. Seolah-olah dulu masih sama seperti sekarang. Kamu tahu? Aku menceritakan banyak hal kepada ibu. Menceritakan betapa lugunya kamu, baiknya dirimu, tulusnya hatimu dan kerendahan diri yang terkadang membuat aku sempat malu, kenapa aku bisa tidak lebih baik darimu. Maaf, maafkan aku. Karena hanya cara itu, yang masih tetap bisa membiarkanmu hadir kedalam duniaku. Yang mengobati sedikit luka yang pasti juga akan mengering dengan sendirinya.


Karena aku, belum cukup punya waktu. Untuk benar-benar bisa menyembuhkan luka yang aku buat sendiri. Jadi sekarang, bahagialah dengan tenang. Hari-harimu pasti akan lebih damai tanpa ada sosok pengganggu sepertiku. Bukankah dulu kamu sempat bilang bahwa aku ini hanya pengganggu? Jadi, bersenang-senanglah sepuasmu. Tertawalah sesuka hatimu, ketika kamu melihat keadaanku seperti ini. Sebodoh dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar