Hari ini sama seperti kemarin. Langit yang memayungi kita masih berwarna
biru keputihan. Tapi, aku menemukan hal yang berbeda. Kita, tak lagi
berjalan bersama. Aku harus kehilanganmu. Tidak ada lagi pesan-pesanmu
yang menggunung diponselku, dan tidak ada lagi ucapan-ucapan manis yang
membuat senyum dihariku. Kamu mengubah tawa, kebahagiaan dan pelangi
diduniaku menjadi duka dan mendung yang kelabu. Aku menyadarinya, semua
memang salahku. Tapi kamu tahu? Bahkan sampai saat ini pun aku masih
saja merengek pada Tuhan untuk mengembalikanmu lagi kepadaku. Tapi
katanya, kamu telah menemukan sosok yang baru. Yang mengerti betapa
tidak pekanya dirimu, yang sabar dengan kerendahan kasih sayangmu dan
sesederhana jiwamu. Maka, haruskah aku sekarang mengubah doa yang setiap
hari ku panjatkan untukmu? Haruskah aku mendoakan yang terbaik bagimu,
sementara aku memang diciptakan bukan yang terbaik bagimu. Haruskah aku
menjadi perempuan munafik, yang terlihat bahagia dan baik-baik saja yang
padahal ada luka yang masih terus saja bertambah parah?
Tapi aku bisa apa? Kamu tidak lagi mencintaiku, tidak lagi
ingin kembali ke "kita" yang seperti dulu. Tapi mungkinkah sejak dulu
hanya aku yang merasakan cinta? Yang melawan sesak karena rindu yang
begitu tak mau tahu, dan yang terus saja berdoa akan ketakutan jarak
yang menjadi penghalangnyaa? Ah, bahkan rasanya terlalu muluk ketika aku
menyebutkan kita, terlalu sakit untuk mendendangkannya, karena sekarang
kamu dan aku hanya dua manusia yang saling mengenal, yang akan sekedar
memberi senyum ketika berjumpa, yang akan berjabat tangan selayaknya
teman.
Kita sekarang memang teman. Tapi sepertinya hatiku belum siap untuk
menerima seutuhnya, aku menginginkan kamu yang dulu. Yang sangat ingin
menggenggam tanganku, yang akan mengusap air mataku dan yang akan
berucap bahwa semua baik-baik saja. Bisakah kita kembali pada penyatuan?
Tidakkah kamu lihat seberapa parah keadaanku ketika aku harus
bersusah payah terlihat baik-baik saja ketika kamu meninggalkanku. Aku
bisa apa dengan semua kenangan yang tidak mungkin pernah bisa aku
lupakan? Aku bisa apa, dengan rasa yang masih saja menumpuk setiap
harinya?
Tapi, aku harus berhenti mencintaimu. Bagaimana caranya agar aku
bisa sepertimu sayang? Katakanlah padaku. Bagaimana aku bisa melihatmu
sebagai seorang pengganggu seperti kamu melihatku, bagaimana caranya aku
bisa melupakan semuanya dengan mudah tanpa ada lagi luka yang masih
terus saja berdarah.
Aku pernah berjuang untukmu. Pernah bertahan, dan menunggu meski
semua masih terasa maya. Aku pernah tidak percaya pada orang yang
katanya, kamu telah menemukan cinta yang baru. Tapi, ternyata ketidak
percayaanku adalah alasan aku yang terlalu kuat mencintaimu. Alasan yang
aku gunakan ketika aku teguh, ingin memilikimu.
Pada akhirnya, aku lah yang paling bodoh. Aku lah yang kalah,
meski tahu bahwa kamu menjadikan semuanya seperti permainan, yang sudah
jelas-jelas tercatat bahwa kamu pemenangnya. Aku tidak tahu harus
berbuat apa lagi, tidak mengerti bagaimana caranya memberi tahumu bahwa
kasih dan sayang tidak punya sifat menyakiti. Apakah kamu tidak pernah
tulus menyayangi seseorang? Yang kamu tahu dia tidak menyayangimu, yang
acuh dan tidak pernah melihat perjuangan dan keberadaanmu. Meski dia
tahu, bahwa itu semua demi kebahagiaannya. Hatimu mungkin sudah mati,
atau belum sepenuhnya percaya bahwa wanita bodoh sepertiku juga layak
untuk mencintai laki-laki hebat sepertimu.
Bukankah katanya rindu itu hanya ungkapan berlebihan yang
dibuat oleh seseorang yang sedang jatuh cinta? Yang baru tahu, bahwa ada
perasaan paling beda diantara ketidak jelasan status. Lalu, bisa
disebut apa perasaan aku ini? Yang hampir setiap malam tak ada habisnya
berharap kamu memberikan kabar, atau meminta Tuhan agar menunjukan kamu
yang belum benar-benar melupakan aku. Memang, aku hanya hidup di masa
lalumu, terlalu muluk jika meminta untuk tinggal di masa depan yang
katanya adalah bentuk kebahagiaan dari proses perjuangan. Siapalah, aku
ini. Hanya sekedar wanita bodoh yang terlalu bermimpi untuk menjadikan
kamu tetap berada disampingku, yang terlalu hina untuk tetap meminta
kamu melihat keadaanku. Lukaku memang tidak begitu terlihat parah,
karena mungkin tidak berdarah. Tapi, kalau saja aku bisa memilih, aku
pasti lebih memilih luka yang terlihat. Luka yang bisa diobati dengan
mudah, yang bisa dibalut oleh siapapun dan akan hilang hingga tidak
berbekas lagi. Andai, kamu lebih bisa mengerti. Bagaimana rasanya
menjadi aku, yang ingin bercerita agar orang lain tahu. Bahwa memang
hanya benar-benar kamu, yang aku rindukan sedalam ini.
Sekarang, aku hanya bisa bercerita kepada beberapa orang yang
sempat mengenalmu lebih dekat. Seolah-olah dulu masih sama seperti
sekarang. Kamu tahu? Aku menceritakan banyak hal kepada ibu.
Menceritakan betapa lugunya kamu, baiknya dirimu, tulusnya hatimu dan
kerendahan diri yang terkadang membuat aku sempat malu, kenapa aku bisa
tidak lebih baik darimu. Maaf, maafkan aku. Karena hanya cara itu, yang
masih tetap bisa membiarkanmu hadir kedalam duniaku. Yang mengobati
sedikit luka yang pasti juga akan mengering dengan sendirinya.
Karena aku, belum cukup punya waktu. Untuk benar-benar bisa
menyembuhkan luka yang aku buat sendiri. Jadi sekarang, bahagialah
dengan tenang. Hari-harimu pasti akan lebih damai tanpa ada sosok
pengganggu sepertiku. Bukankah dulu kamu sempat bilang bahwa aku ini
hanya pengganggu? Jadi, bersenang-senanglah sepuasmu. Tertawalah sesuka
hatimu, ketika kamu melihat keadaanku seperti ini. Sebodoh dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar