Spica
Hester
Tulisan
itu tertera pada selembar papan kayu yang tergantung di atas langit-langit
bangunan berwarna coklat madu. Beberapa bunga kertas berwarna putih terjejer
rapih di sisi kanan, pintu dan jendela yang terbuat dari kaca memperlihatkan klasiknya
bangunan tersebut.
Aku menaiki undakan tangga yang terbuat dari beton, disamping pintu kaca terdapat kursi kayu panjang berangka warna tembaga. Ketika membuka hendel pintu, dentingan lonceng berbunyi memberikan kesan ucapan selamat datang dengan riang. Harum biji kopi dan campuran esense vanilla menguar dengan sempurna, senyumku mengembang ketika seorang perempuan disudut kanan sisi melambai dan memperlihatkan senyumnya yang riang.
Aku menaiki undakan tangga yang terbuat dari beton, disamping pintu kaca terdapat kursi kayu panjang berangka warna tembaga. Ketika membuka hendel pintu, dentingan lonceng berbunyi memberikan kesan ucapan selamat datang dengan riang. Harum biji kopi dan campuran esense vanilla menguar dengan sempurna, senyumku mengembang ketika seorang perempuan disudut kanan sisi melambai dan memperlihatkan senyumnya yang riang.
“Lamm..ma
deh.” Fae merajuk, sementara aku hanya tertawa.
“Maaf
ya, tadi Bunda minta dianter dulu kestasiun.” Aku duduk berhadap-hadapan
dengannya.
“Jadi
gimana Sha, masih tetap jadi berangkat?” Fae bertanya dengan mata yang
berbinar. Rambut lurus sebahunya dibiarkan terurai. Aku memilih untuk
mengangguk sebagai jawaban setelah duduk dikursi kayu yang terbalut dengan
bahan berwarna biru tua.
“Kamu
memang gak pernah berubah. Gak mau menikah dulu? umurmu sudah 23 loh Sha”
Pertanyaan
yang diajukan Fae sering kali bermunculan, dia tentu bukan orang pertama yang
mempertanyakan dan meragukan hal tersebut. Bunda dan Ayah jelas sedikit
menentang keputusanku untuk mencoba beasiswa master ku di Swedia. Alasannya
sederhana, hanya soal umur dan juga “Mengki sing ana calon-calon mu minder
yen ngerti kamu S2. Saiki iku isi langka toh Sha, jurusan lanang master yang
ana kang.” Bunda berkata dengan logat jawa yang fasih sembari menjahit sore
itu. Selalu kembali mengulang kata-kata saktinya jika Ayah mempertanyakan
kesiapan ku soal Beasiswa tersebut.
“Jodoh
biarlah Tuhan yang atur, kalo memang waktunya pasti terjadi kok” aku tersenyum
kecil.
Seorang
pelayan laki-laki bercelemek hitam datang menghampiri meja kami, dia meletakkan
dua cangkir kopi dan dua potong soufflé coklat. Latte, yang kuyakini untukku
dan Moka untuk perempuan di hadapanku. Altair D.B, nama itu terbordir rapih di
sisi kanan seragam kerjanya. Laki-laki itu bermata bulat dengan bulu mata tebal
yang menaunginya. Kulitnya kecoklatan, hidung bangirnya melengkung sempurna
dihiasi dengan bibir mungil tipis yang berwarna agak kemerahan, sebingkai kaca
mata berpangkal di hidungnya. Seorang pelayan yang merangkap menjadi bartender
ahli dengan senyum sejuta watt, begitulah sosok itu terpatri didalam memori
otakku selama dua tahun ini. Setiap kali aku melihatnya, ada rasa yang sedikit
berbeda mencokol didalam diriku, seperti debaran jantung tak menentu dan tingkah
yang tak terorganisir dengan baik jika dia menanyakan bagaimana rasa kopi
racikkannya. Terlalu pahitkah? Terlalu panaskah? Atau justru malah terlalu
dingin dan terasa hambar? Mungkin rasa itu hadir karena wajah tampan dan kopi
buatannya yang terbilang nikmat. Atau karena tragedi memalukkan dua tahun yang
lalu, entahlah.. aku tak pernah hebat dalam hal menerka-nerka.
“Apa
ada yang kurang dari kopinya nona?” suara bass seraknya mengalun dengan
sempurna. Fae meniup-niup kopi tersebut lalu mencecapnya sedikit. Dengan
setengah kaget aku melakukan hal yang sama.
“Panasnya
sempurna kok. Makasih.” Fae tersenyum kemudian meletakkan cangkirnya kembali.
“Kopi
mu selalu enak.” Jawaban pertanyaannya yang selalu ku ulang-ulang setiap kali
dia yang terpilih untuk menjadi bartender kopiku mengalun.
“Terimakasih.
Jika ada yang kurang, silahkan panggil saya kembali. Permisi.” Senyumnya
mengembang, menampilkan sepasang lesung pipi yang membuat mataku ingin
berlama-lama untuk melihatnya. Dia membungkukkan badan, lalu segera berlalu
menuju meja barnya—tempat
para barista tersebut sibuk meracik kopi.
“Jangan
dilihatin mulu La. Pinta nomor handponenya dong sesekali. Cinta kok
diam-diam” Fae menyenggol lenganku, aku menengok wajah usilnya lalu beralih
untuk menyendok soufflé coklat yang sepertinya baru saja keluar dari dalam
panggangan. Pipiku memanas. Kurang ajar.
“Aku gak cinta sama dia Fa. Aku cuman suka, ya
siapa juga sih yang gak suka sama wajahnya itu.” Aku menyuap soufflé ku kembali
setelah menjawab ucapannya.
“Suka
yang membuat kamu nyaris setiap hari datang kemari selama dua tahun itu? Aku
yakin semua staff disini kenal kamu Sha.”
“Gak
setiap hari kok Fa. Berlebihan kamu tuh.”
“Seenggaknya
seminggu tiga kali kan? Ya Tuhan Sha, sampai kapan kamu terus mencintainya
diam-diam seperti itu? Usahalah untuk meminta pinnya.” Setengah berbisik Fae
menjelaskan, seolah-olah ini adalah rahasia yang benar-benar harus terjaga dan
tidak boleh pun seorang tahu.
****
Sore
itu hujan turun dengan lebat, aku terduduk di kursi kayu kedai kopi tersebut
dengan setengah gelisah. Besok adalah keberangkatanku menuju Swedia, tapi tentu
bukan itulah yang membuat ku gelisah. Aku ingin membuat satu langkah maju dalam
area percintaanku, tapi setelah beberapa kali ku pastikan pesananku jatuh pada
laki-laki beralis tebal itu, degup jantungku kian makin memacu, sensasinya sama
seperti ketika aku melakukan sesi interview mengenai beasiswa atau
saat-saat dimana sidang skripsiku terjadi. Aku kembali meneguhkan diri untuk
meminta nomor ponselnya atau pin bbmnya hari ini. Aku tak ingin mencintai
sendiri, atau biarlah ia juga ikut menerka-nerka mengapa perempuan yang selalu
datang ke kedai tempatnya berkerja meminta nomor ponselnya dengan gamblang.
Aku
mengedarkan pandanganku pada bangunan berwarna coklat tua dengan garis vertikal
berwarna putih gading tersebut yang pastilah nantinya akan sangat ku rindukan.
Refrigerator yang tercemantel tepat diatas kabinet berwarna cokelat tua,
deretan coffe brewer, glassware, jigger, pouree dan
funnel itu tertata rapih diatas meja bar, juga serta beberapa peralatan
dan perlengkapan bar yang memberi aksen manis itu berada. Ah aku memang
benar-benar akan merindukannya!
“Bagaimana
rasa frappe nya nona Sha?” pertanyaan itu mendayu, membuat setengah kesadaranku
kembali.
“Ha?”
“Kayaknya
nona melamun.” Tawa kecilnya mengalun, membuat pipiku memanas lalu kemudian
menunduk. Sejak kapan pria ini berada disampingku? Ya Tuhan!
“Frappe
nya dicoba nona. Biar kalau ada rasa yang kurang bisa saya tambahkan.”
Aku
mengangguk kemudian menyeruput kopi ku. Pahit. Entah kenapa kopi buatannya kali
ini terasa lebih pahit dari biasanya.
“Kopi
mu selalu enak Al.” jawabku. Al tersenyum lalu membungkukan badannya.
“Al.”
aku memanggilnya ragu sebelum dia kembali kemeja bar nya. Tanganku mulai basah, dan tenggorokanku mendadak terasa kering.
“Iya
nona.” Matanya sedikit membulat, memberikan aksen pertanyaan yang tersirat
dibalik wajah tampannya.
“Besok
saya pergi dari Indonesia.” Aku mengigit bibirku, menahan diri untuk merutuk. Apa
urusannya memang? Dan kalimatku itu… ah mengapa juga aku jadi terlihat
menyombongkan diri!
“Beasiswa
S2 di Swedia? Selamat ya nona.” Matanya berbinar, dan senyum lebarnya membuat lesung pipi
itu terlihat semakin dalam, tangan kokohnya terulur memberi jabatan. Tuhan
bisa-bisa aku terkena diabetes jika disuguhkan senyum super manis seperti ini!
“Ma..
makasih.” Aku menunduk malu-malu setelah menjabat tangannya. Detak jantungku
tak karuan dan ketika aku sekilas melihat cincin berwarna tembaga itu melingkar dijari
manisnya otakku serasa mati dan tak lagi bekerja. Sejak kapan dia memakai cincin?
“Kamu
sudah menikah?” suaraku nyaris tersendat ketika mengatakannya. Nafasku nyaris
berhenti, aku seperti masuk kedalam dimensi yang hanya menyisakan ruang gelap. Duniaku seolah-olah runtuh kali ini.
“Saya
baru bertunangan kemarin, oh iya saya permisi dulu kalau boleh, masih banyak pesanan yang
harus saya buat. Kalau perlu apa-apa silahkan panggil saya ya nona. Sekali lagi
permisi.”
Aku
mengangguk, dia berlalu. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku setelah
menenggak kembali frappe ku. Setidaknya pahit tersebut menyadarkanku bahwa ada
yang lebih pahit dari percintaanku ini.
Memang
benar kata Fae, cinta diam-diam tak akan pernah berbuah manis. Cinta diam-diam
membuat ku mencintai sendiri. Cinta diam-diam memang selalu berujung patah
hati, dikecewakan, dan menangis sedih. Seperti saat ini, aku meletakkan uang seratus ribu diatas meja, mengusap mataku sesekali
dengan kasar karena air mataku dengan lancang mengalir datang dan berlalu pergi
dengan tergesa-gesa. Aku belum sempat mengatakan aku mencintainya, belum sempat
pula ku tanyakan mengapa ia bisa tahu bahwa aku mendapat beasiswa masterku di
Swedia. Tapi hati ini sudah patah dan mengatakan tak apa-apa pun aku tak bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar