Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Rabu, 04 Mei 2016

Spica Hester


Spica Hester
Tulisan itu tertera pada selembar papan kayu yang tergantung di atas langit-langit bangunan berwarna coklat madu. Beberapa bunga kertas berwarna putih terjejer rapih di sisi kanan, pintu dan jendela yang terbuat dari kaca memperlihatkan klasiknya bangunan tersebut.
Aku menaiki undakan tangga yang terbuat dari beton, disamping pintu kaca terdapat kursi kayu panjang berangka warna tembaga. Ketika membuka hendel pintu, dentingan lonceng berbunyi memberikan kesan ucapan selamat datang dengan riang. Harum biji kopi dan campuran esense vanilla menguar dengan sempurna, senyumku mengembang ketika seorang perempuan disudut kanan sisi melambai dan memperlihatkan senyumnya yang riang.

“Lamm..ma deh.” Fae merajuk, sementara aku hanya tertawa.

“Maaf ya, tadi Bunda minta dianter dulu kestasiun.” Aku duduk berhadap-hadapan dengannya.

“Jadi gimana Sha, masih tetap jadi berangkat?” Fae bertanya dengan mata yang berbinar. Rambut lurus sebahunya dibiarkan terurai. Aku memilih untuk mengangguk sebagai jawaban setelah duduk dikursi kayu yang terbalut dengan bahan berwarna biru tua.

“Kamu memang gak pernah berubah. Gak mau menikah dulu? umurmu sudah 23 loh Sha”
Pertanyaan yang diajukan Fae sering kali bermunculan, dia tentu bukan orang pertama yang mempertanyakan dan meragukan hal tersebut. Bunda dan Ayah jelas sedikit menentang keputusanku untuk mencoba beasiswa master ku di Swedia. Alasannya sederhana, hanya soal umur dan juga “Mengki sing ana calon-calon mu minder yen ngerti kamu S2. Saiki iku isi langka toh Sha, jurusan lanang master yang ana kang.” Bunda berkata dengan logat jawa yang fasih sembari menjahit sore itu. Selalu kembali mengulang kata-kata saktinya jika Ayah mempertanyakan kesiapan ku soal Beasiswa tersebut.

“Jodoh biarlah Tuhan yang atur, kalo memang waktunya pasti terjadi kok” aku tersenyum kecil.

Seorang pelayan laki-laki bercelemek hitam datang menghampiri meja kami, dia meletakkan dua cangkir kopi dan dua potong soufflé coklat. Latte, yang kuyakini untukku dan Moka untuk perempuan di hadapanku. Altair D.B, nama itu terbordir rapih di sisi kanan seragam kerjanya. Laki-laki itu bermata bulat dengan bulu mata tebal yang menaunginya. Kulitnya kecoklatan, hidung bangirnya melengkung sempurna dihiasi dengan bibir mungil tipis yang berwarna agak kemerahan, sebingkai kaca mata berpangkal di hidungnya. Seorang pelayan yang merangkap menjadi bartender ahli dengan senyum sejuta watt, begitulah sosok itu terpatri didalam memori otakku selama dua tahun ini. Setiap kali aku melihatnya, ada rasa yang sedikit berbeda mencokol didalam diriku, seperti debaran jantung tak menentu dan tingkah yang tak terorganisir dengan baik jika dia menanyakan bagaimana rasa kopi racikkannya. Terlalu pahitkah? Terlalu panaskah? Atau justru malah terlalu dingin dan terasa hambar? Mungkin rasa itu hadir karena wajah tampan dan kopi buatannya yang terbilang nikmat. Atau karena tragedi memalukkan dua tahun yang lalu, entahlah.. aku tak pernah hebat dalam hal menerka-nerka.

“Apa ada yang kurang dari kopinya nona?” suara bass seraknya mengalun dengan sempurna. Fae meniup-niup kopi tersebut lalu mencecapnya sedikit. Dengan setengah kaget aku melakukan hal yang sama.

“Panasnya sempurna kok. Makasih.” Fae tersenyum kemudian meletakkan cangkirnya kembali.

“Kopi mu selalu enak.” Jawaban pertanyaannya yang selalu ku ulang-ulang setiap kali dia yang terpilih untuk menjadi bartender kopiku mengalun.

“Terimakasih. Jika ada yang kurang, silahkan panggil saya kembali. Permisi.” Senyumnya mengembang, menampilkan sepasang lesung pipi yang membuat mataku ingin berlama-lama untuk melihatnya. Dia membungkukkan badan, lalu segera berlalu menuju meja barnyatempat para barista tersebut sibuk meracik kopi.

“Jangan dilihatin mulu La. Pinta nomor handponenya dong sesekali. Cinta kok diam-diam” Fae menyenggol lenganku, aku menengok wajah usilnya lalu beralih untuk menyendok soufflé coklat yang sepertinya baru saja keluar dari dalam panggangan. Pipiku memanas. Kurang ajar.

 “Aku gak cinta sama dia Fa. Aku cuman suka, ya siapa juga sih yang gak suka sama wajahnya itu.” Aku menyuap soufflé ku kembali setelah menjawab ucapannya.

“Suka yang membuat kamu nyaris setiap hari datang kemari selama dua tahun itu? Aku yakin semua staff disini kenal kamu Sha.”

“Gak setiap hari kok Fa. Berlebihan kamu tuh.”

“Seenggaknya seminggu tiga kali kan? Ya Tuhan Sha, sampai kapan kamu terus mencintainya diam-diam seperti itu? Usahalah untuk meminta pinnya.” Setengah berbisik Fae menjelaskan, seolah-olah ini adalah rahasia yang benar-benar harus terjaga dan tidak boleh pun seorang tahu.
****
Sore itu hujan turun dengan lebat, aku terduduk di kursi kayu kedai kopi tersebut dengan setengah gelisah. Besok adalah keberangkatanku menuju Swedia, tapi tentu bukan itulah yang membuat ku gelisah. Aku ingin membuat satu langkah maju dalam area percintaanku, tapi setelah beberapa kali ku pastikan pesananku jatuh pada laki-laki beralis tebal itu, degup jantungku kian makin memacu, sensasinya sama seperti ketika aku melakukan sesi interview mengenai beasiswa atau saat-saat dimana sidang skripsiku terjadi. Aku kembali meneguhkan diri untuk meminta nomor ponselnya atau pin bbmnya hari ini. Aku tak ingin mencintai sendiri, atau biarlah ia juga ikut menerka-nerka mengapa perempuan yang selalu datang ke kedai tempatnya berkerja meminta nomor ponselnya dengan gamblang.

Aku mengedarkan pandanganku pada bangunan berwarna coklat tua dengan garis vertikal berwarna putih gading tersebut yang pastilah nantinya akan sangat ku rindukan. Refrigerator yang tercemantel tepat diatas kabinet berwarna cokelat tua, deretan coffe brewer, glassware, jigger, pouree dan funnel itu tertata rapih diatas meja bar, juga serta beberapa peralatan dan perlengkapan bar yang memberi aksen manis itu berada. Ah aku memang benar-benar akan merindukannya!

“Bagaimana rasa frappe nya nona Sha?” pertanyaan itu mendayu, membuat setengah kesadaranku kembali.

“Ha?”

“Kayaknya nona melamun.” Tawa kecilnya mengalun, membuat pipiku memanas lalu kemudian menunduk. Sejak kapan pria ini berada disampingku? Ya Tuhan!

“Frappe nya dicoba nona. Biar kalau ada rasa yang kurang bisa saya tambahkan.”
Aku mengangguk kemudian menyeruput kopi ku. Pahit. Entah kenapa kopi buatannya kali ini terasa lebih pahit dari biasanya.

“Kopi mu selalu enak Al.” jawabku. Al tersenyum lalu membungkukan badannya.

“Al.” aku memanggilnya ragu sebelum dia kembali kemeja bar nya. Tanganku mulai basah, dan tenggorokanku mendadak terasa kering.

“Iya nona.” Matanya sedikit membulat, memberikan aksen pertanyaan yang tersirat dibalik wajah tampannya.

“Besok saya pergi dari Indonesia.” Aku mengigit bibirku, menahan diri untuk merutuk. Apa urusannya memang? Dan kalimatku itu… ah mengapa juga aku jadi terlihat menyombongkan diri!

“Beasiswa S2 di Swedia? Selamat ya nona.” Matanya berbinar, dan senyum lebarnya membuat lesung pipi itu terlihat semakin dalam, tangan kokohnya terulur memberi jabatan. Tuhan bisa-bisa aku terkena diabetes jika disuguhkan senyum super manis seperti ini!

“Ma.. makasih.” Aku menunduk malu-malu setelah menjabat tangannya. Detak jantungku tak karuan dan ketika aku sekilas melihat cincin berwarna tembaga itu melingkar dijari manisnya otakku serasa mati dan tak lagi bekerja. Sejak kapan dia memakai cincin? 

“Kamu sudah menikah?” suaraku nyaris tersendat ketika mengatakannya. Nafasku nyaris berhenti, aku seperti masuk kedalam dimensi yang hanya menyisakan ruang gelap. Duniaku seolah-olah runtuh kali ini. 

“Saya baru bertunangan kemarin, oh iya saya permisi dulu kalau boleh, masih banyak pesanan yang harus saya buat. Kalau perlu apa-apa silahkan panggil saya ya nona. Sekali lagi permisi.”

Aku mengangguk, dia berlalu. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku setelah menenggak kembali frappe ku. Setidaknya pahit tersebut menyadarkanku bahwa ada yang lebih pahit dari percintaanku ini.
Memang benar kata Fae, cinta diam-diam tak akan pernah berbuah manis. Cinta diam-diam membuat ku mencintai sendiri. Cinta diam-diam memang selalu berujung patah hati, dikecewakan, dan menangis sedih. Seperti saat ini, aku meletakkan uang seratus ribu diatas meja, mengusap mataku sesekali dengan kasar karena air mataku dengan lancang mengalir datang dan berlalu pergi dengan tergesa-gesa. Aku belum sempat mengatakan aku mencintainya, belum sempat pula ku tanyakan mengapa ia bisa tahu bahwa aku mendapat beasiswa masterku di Swedia. Tapi hati ini sudah patah dan mengatakan tak apa-apa pun aku tak bisa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar