Kamu pasti tahu bagaimana
saya begitu lama telah mendambanya. Seberapa banyak doa dan semoga yang
mengambang hanya demi kebahagiaannya. Merindukannya seperti meminum secangkir
cokelat panas dibawah rintik hujan sore itu. Hangat,dan nikmat. Tapi sepertinya
dibalik bulir airmata yang setiap malam sering kali merembes keluar, saya hanya
dipertemukan dengannya. Tidak untuk dipersatukan, apalagi diperjuangkan.
Kali ini, kamu pasti
mengerti betapa rapuhnya saya tanpa dirinya. Setiap hari saya berjuang melawan
kesesakkan, berharap semua bisa baik-baik saja. Tanpa ada celah yang terlewat,
saya selalu menyamarkan keberadaannya. Saya sudah mencandu tanpa sempat tahu. Saya
selalu merindu, lalu mencumbu dibalik taburan harap yang saya selipkan ketika
berbincang dengan Tuhan.
Tentu, kamu sudah paham
bagaimana saya harus berdiri tegak. Berakting sesempurna mungkin, untuk
menyamarkan luka dan sesak yang akhir-akhir ini sering kali saya selipkan
dibelakang tawa. Usaha kali ini sedikit berbuah, meski nyatanya saya masih
terluka parah. Mungkin, namanya sudah saya ukir sangat dalam, sehingga sulit
untuk menghapusnya. Dibalik matahari pagi, saya selalu menengadahkan tangan,
berharap saya masih bisa bahagia dengan atau tanpa dirinya.
Ketergantungan saya memang
sudah mencapai stadium akut. Tapi, tidak ada yang bisa disalahkan. Dia memilih
bahagia, dan pergi untuk menggenggam jemari yang lain. Sementara saya memilih
sendiri dan setia untuk berteman sepi. Padahal, sudah berkali-kali saya
tekankan untuk membuka hati agar bisa jatuh cinta kembali. Tapi nyatanya, waktu
belum meperbolehkan. Saya masih harus bertahan seperti ini. Seperti yang
sudah-sudah, memendam tangis agar raungannya tak terdengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar