Merelakan tidak pernah sepaket dengan mengikhlaskan. Kuatlah.

Kamis, 27 Juni 2013

Pengharapan


Ketika matahari berhenti untuk memberikan cahayanya, dan bintang seolah menjadi penggantinya, aku selalu terdiam terpaku, memikirkan banyaknya praduga yang ku olah sedemikian hebatnya. Awan seolah tak ingin lagi memayungi kita atau mungkin kita yang enggan tetap menetap pada tempatnya. Ah, bagaimana bisa kamu mengerti apa yang ku buat untuk tetap berdiri dengan semestinya. Yang kau tahu hanya soal logaritma dan rumus-rumus kimia anehmu yang sama sekali tak dapat ku pahami. Dulu, kau sering menanyakanku banyak hal, tentang sesuatu yang sungguh aku malu, karena sama sekali tidak mengetahuinya, dan kamu akan bilang bahwa aku payah, tidak cermat dan bodoh! Itu menyebalkan untukku, dan sungguh, bagimu amat sangat menyenangkan dapat menertawaiku dengan terbahak-bahak sembari memegang perutmu.

Aku benci ketika ku dapati handpone ku bergetar, berharap bahwa pesan yang ku terima dikirim darimu. Dan ketika benar itu terjadi, ada rasa deg-degan mewarnai dadaku, seolah itu adalah sesuatu yang paling menyenangkan dalam hidupku. Aku membacanya berulang-ulang kali dan dengan senyum yang mengembang dibibirku aku akan menekan tuts handponeku dengan cepat, dan ketika aku menyadari bahwa kalimat yang ku balas membuat otakmu berfikir aku aneh, aku akan menghapusnya kembali, memikirkan dengan cermat, seolah balasan itu harus ku tulis dengan senatural mungkin, tanpa ada kesan membosankan didalamnya. Dan aku tak pernah menyadararinya, bahwa hari semakin berjalan, dan ketika kamu bilang
“Gue suka lo.”
Tiga kata.
Satu kalimat.
Sembilan digit
Dan seolah efectnya seperti bom atom yang meledakan sesuatunya. Keheningan mewarnai degup jantungku. Ada rasa senang sekaligus bersalah didalamnya. Aku takut kau akan marah bila benar yang ingin kusampaikan akan tercapai dengan semestinya, tapi sungguh! Percayalah. Bahwa aku jauh lebih takut Tuhanku marah karena aku tak mau menuruti perintahnya. Aku berjanji aku tak akan bilang” sayang ” untuk kedua kalinya lagi. Dan aku melanggarnya karenamu, aku berdosa karenamu dan kau bilang kau akan pergi dariku karena aku yang inginkan seperti itu. Sekali lagi tidak! Aku tak ingin kau pergi dariku, lantas harus begitukah jalan indah yang dilalui oleh para wanita pilihan sebelumku? Begitukah sakitnya mereka? Begitukah tawaduknya mereka?
“Kalo gak bisa ngasih kesungguhan, jangan pernah kasih harapan ukh”
Dan aku merunduk. Mengingat kata-kata saktimu yang sering kau lontarkan untukku, sehingga aku menangis karenanya. Aku memilih jalanku, membiarkan Tuhan melepas genggaman tanganku. Dan akhirnya kau bebas dariku. Aku sakit. Tetapi aku percaya sesaknya akan membuahkan hasil yang indah. Aku percaya, Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik lagi, meski pada dasarnya, kau mungkin yang terbaik untukku dan kufikirkan itu sedemikian matangnya.
Yang terbaik menurutmu, belum tentu yang terbaik menurut Allah kan?”
Dan sekali lagi aku menangis, meratap karena kebodohanku yang menjadi. Aku durhaka pada Tuhanku. Dan ketika pantulan wajahku terpampang dihadapanku, aku sungguh merasa malu pada kain yang kugunakan untuk menutupi rambutku. Aku malu karena tak bisa sedikitpun menjaga izzahku, aku malu karena keburukan yang sering ku ratapi dengan sedemikian seringnya. Aku malu karena kesombongan rupaku. Aku malu pada janji yang tak pernah kutepati, aku malu karena masih mengharapkanmu. Sosok yang sesungguhnya tak mengerti aku. Sosok yang sesungguhnya telah menguasaiku. Sosok yang sesungguhnya  tak pantas untuk ku miliki, kamu masih tetap menjadi milik-Nya. Menjadi sosok yang harusnya terjaga dari fitnah cinta, dan izzahmu sebagai laki-laki yang sering melangkahkan kaki kerumah Tuhan. Dan aku mungkin jengah karena semua seperti mimpi yang tak kunjung usai.
Dan ketika hari itu tiba, aku sungguh tercengang kaget karena nyata yang ada bukan sebuah dugaan indah yang sering aku rancang karenamu. Ada sepasang tangan yang bertaut, yang saling tertawa dan tersenyum bersama. Benarkah kamu sedang membahagiakannya? Benarkah penantianku yang bertahan menunggu kau jadikan alasan untuk memilih yang lain?
Aku menunduk dalam, dan lagi tangisku pecah karenamu. Ucapan kasarmu dulu membuatku menduga-duga, benarkah aku wanita termunafik yang ada didalam hidupmu? Benarkah aku tak pantas untuk berjalan beriringan denganmu? Aku terpaku dan lagi, meminta ampun pada Tuhanku. Benarkah begini adanya? Cinta yang orang bilang belum halal? Aku benci ketika mereka sering menyebutku sok suci, bukan! Sungguh, bukan begitu maksudku! Aku hanya ingin menjagamu, menantimu, mendoakanmu dan membiarkanmu menjalani hidupmu tanpa ada pengganggu. Tapi benarkah ini adanya?
Ya! Aku tahu, menunggu itu sangat menyebalkan! Melelahkan dan membosankan. Tapi dalam menunggu itu, ada banyak harap dan nyata yang bisa kita rangkai didalamnya. Apakah kamu tak bisa seperti aku? Untuk sebentar saja menungguku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar